Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Pulang

Bab 7 Pulang

“Tak bosan, Ibu hamil? Melamun dan merenungi kelukaanmu?” suara itu membuat Jani menoleh dengan cepat. Sosok Xin, yang baru saja mencercanya melangkah mendekat. Sky berjalan dengan langkah bergegas di sampingnya.

Tersenyum tipis, Jani lekas membuka lebar tangannya untuk memeluk Sky. Seselip rasa bersalah, karena selalu cuek pada bocah semanis ini. Xin memeluk tubuh Jani dan Sky bersamaan. Mengecup kening Jani dan juga Sky, pun tidak lupa pada calon keponakan barunya.

“Kau baik-baik saja di dalam, Sayang?” tanya Xin, berlutut dan berbicara pada perut Jani. Membuat Jani terkekeh lirih melihat tingkah konyol Xin.

“Kau pikir, ia bisa menjawabmu?” ujar Jani yang disambut tawa oleh Xin.

“Setidaknya dia bisa mendengarku,” ujar Xin lembut.

Pria itu bangkit, seraya duduk pada kasur di samping Jani. Menatap wanita itu dengan perasaan penuh, seakan memberikan rasa hangat di hatinya saat melihat sepasang ibu dan anak tersebut. Sekilas, perasaan sedihnya kembali menaungi, seolah membuatkan rasa bersalah yang mendalam padanya.

“Kau tidak kembali ke Suriah?” tanya Jani dengan nada menyindir. “Biasanya sangat sulit bertemu denganmu.”

“Ah, tidak. Aku mengambil cuti panjang, Hu,” ujar Xin menutupi.

Tidak mungkin ia mengatakan pada wanita ini, bahwa ia keluar dari pasukan. Tidak akan memperbaiki keadaan dan justru akan menjadi semakin rumit nantinya. Jani terdiam sesaat, sebelum akhirnya bertanya.

“Jangan katakan kau berhenti. Aku tahu, kau sangat menginginkan berada di sana,” ujar Jani sedikit ingin tahu.

“Ahaha! Apa masalahnya? Lagipula, keinginanku bukan hanya itu, kok,” Xin memindah pelan anak rambut Jani ke belakang telinga. Menatap profil wanitanya dari samping sesaat, hingga membuat Jani berbalik melihatnya.

“Kenapa?” tanya Jani lirih. “Apa aku terlihat menyedihkan?”

Tersenyum, Xin membuang nafas gusar. Besar harapannya jika Jani akan merespon baik apa yang akan ia katakan. “Ibu dan Mom memintamu pulang ke Jakarta. Mereka ingin kau melahirkan dengan didampingi keluarga. Bagaimana? Kau mau?” tutur Xin lemah lembut.

Jani terdiam sejenak. Memalingkan wajah ke arah jendela, sembari menatap lurus pada pemandangan laut lepas di hadapan. Menghela nafas gusar, Jani kembali melihat Xin yang menunggunya dengan penuh harap.

“Mereka meminta padamu?” tanya Jani ingin tahu.

“Ya. Mereka meminta padaku dan juga Dave, untuk membawamu pulang,” jawab Xin dengan nada membujuk. “Aku tahu, berat bagimu meninggalkan rumah ini tapi kita masih akan bisa datang kapan saja,” bujuk Xin penuh kehati-hatian.

Pria ini tak ingin sama sekali merusak ataupun mengusik perasaan Jani. Ia tahu betul, jika sahabatnya sedari kecil ini pernah mengalami luka yang mendalam akan kepergian Segara dahulu. Dan kini harus kehilangan Angin kembali. Sudah kedua kalinya Angin pergi dan Xin masih senantiasa berada di sampingnya.

“Tidak. Kalau memang kita diminta untuk pulang, ya kita pulang saja. Toh, aku pun sudah lama tidak pulang, bukan?” jawab Jani, ada nada pasrah dalam suaranya. Seolah ia tidak lagi peduli pada kehidupannya sendiri saat ini. Membuat hati Xin seolah baru saja tertusuk tajamnya tombak.

“Hu, aku hanya akan membawamu pulang jika kau merasa pulang adalah jalan yang terbaik. Tapi jika kau merasa tidak nyaman, aku bisa mengatakan pada mereka untuk menangguhkan kepulanganmu. Kami melakukan ini semua, semata hanya untuk kebaikanmu, Hu,” jelas Xin sembari menggenggam erat tangan Jani, mencoba meyakinkan wanita tersebut bahwa dirinya tidaklah sendiri.

“Aku paham, Xin. Dan aku tidak keberatan. Kita harus hidup dengan melihat masa depan, bukan? Aku masih mempunyai Sky dan dia,” Jani mengusap lembut perutnya. “Jadi jangan khawatir, Xin. Aku baik-baik saja,” tutur Jani meyakinkan sahabat karibnya tersebut.

Xin tersenyum lirih, kemudian mengecup kening Jani dengan penuh kasih sayang. Memeluk sekali lagi, seakan melepas rindu yang tidak bertepi. Jani menahan rasa yang membuatnya sangat ingin menangis saat ini, mengalihkan tatapannya dari Xin.

“Terima kasih, Xin. Selama ini kamu selalu ada untuk kami,” tutur Jani, masih tanpa memandang Xin. Pria itu menghela nafas, ia mengerti sangat berat bagi Jani untuk memutuskan meninggalkan semua kenangan indahnya bersama Angin di sini.

“Tidak Hu, aku melakukan ini semua demi diriku sendiri. Karena kalian semua adalah bagian dari diriku. Dan aku tidak akan pernah bisa utuh, tanpa adanya kalian,” ucap Xin bijak.

Jani mengangguk paham, seraya mengusap sayang pipi lembut Xin. “Siapkan pesawat besok, aku sudah rindu Jakarta.”

***

Bandara Internasional Soekarno-Hatta, terlihat begitu ramai akan peminat yang hendak bepergian, juga baru saja pulang ke Jakarta-Indonesia. Salah satunya Jani, Xin, Dave, dan tentu saja Sky. Keempatnya baru saja tiba setengah jam lalu, sebelum akhirnya pergi meninggalkan bandara.

Dragon tidak ikut serta dengan mereka, lantaran masih memiliki urusan bisnis di Crimea. Namun, yakin sekali jika pria itu tidak mungkin berlama-lama jauh dari wanita idamannya. Dragon selalu punya alasan untuk berada di sekitar Jani.

“Dave, tolong bangunkan aku setelah tiba di rumah. Aku lelah, ingin tidur sebentar,” ujar Jani sembari menyandarkan tubuh berisinya pada badan kursi penumpang.

Dave dan Xin hanya melirik padanya sekilas dan mengangguk paham. Memandang sesekali pada Sky yang terlelap lelah pada bangku empuk nan nyamannya, ditemani sang Bunda yang menggenggam hangat tangan mungil sang putra.

Xin tersenyum tipis, membatin dalam hati seraya kembali fokus dalam kemudi. “Hu, aku berjanji, apa pun yang terjadi, kau akan aman bersamaku. Seperti janjiku pada Angin.’

Sebuah ruang bertema hitam, tanpa secercah cahaya didalamnya. Ruangan luas yang tidak berujung dan tidak memiliki batas. Tidak ada apapun didalamnya, kecuali seorang wanita lemah yang mengenakan baju putih layaknya sebuah gaun pernikahan. Jani melihat kesana-kemari, terlihat kebingungan mencari-cari sosok lain yang bersamanya di sana. Namun, sayangnya tidak ada seorangpun di sana. Hanya ia seorang diri, berdiri sendiri di tempat itu seolah tidak memiliki siapapun untuk menolong.

“Angin?” panggilnya dengan mata mulai merebak tangis. “Angin?” ulang Jani, ia mulai terisak. Berjalan perlahan, Jani seolah mencari-cari keberadaan seseorang yang sudah ia ketahui tidak akan ada.

“Angin? Apa kau mendengarku?” rengek Jani yang terdengar seperti anak kucing yang kehilangan arah. Ia begitu ketakutan, sendiri, dan tak dapat menepi. “Angin!” memanggil kembali dalam isakan yang semakin kuat. “Angin!” panggil Jani yang sama sekali tidak mendapatkan sahutan dari sang empunya nama.

“Angin, apa kau di sini? Tolong jawab aku, Sayang!” Hanya keheningan yang menjawab panggilan penuh tangis Jani.

Bruk!

“Ah!” pekik Jani lantaran terjatuh. Kakinya sakit namun tak ada seorangpun datang menolong. Tangisnya semakin pecah, hingga terdengar pilu mengambang di seluruh penjuru rungan. Ia merasa begitu pedih dan ketakutan. “Angin, kamu di mana?”sembari memanggil nama sang suami, Jani terus meringkuk ketakutan, seolah tak berdaya sama sekali.

Sebanyak apa pun dia memanggil, berteriak dan menangis tetap tidak ada yang datang. Ia semakin ketakutan. Tidak ada yang bisa membawanya keluar dari ruangan sangat gelap ini. Jani tidak bisa lagi menahan tubuhnya yang menggigil, antara takut dingin dan kesepian. Isaknya semakin menguat.

“Hu?” panggil seseorang. Suara itu, bukan suara Angin tapi seolah memberinya kekuatan dan menenangkan. Segara? Hanya Segara yang bisa memberinya rasa tenang seperti ini. Tapi, itu pun bukan suara Segara.

“Hujan?” suara itu kembali menggema di seluruh ruangan.

‘Siapa di sana?’ pikir Jani yang masih tak berani untuk membuka matanya.

“Hu, aku di sini,” ungkap sang suara, seolah membuat Jani tersadar.

“Ah?” Jani terkejut setelah membuka matanya. Ia masih berada di dalam mobil yang membawa mereka pulang. Xin menatapnya penuh tanya, terlihat khawatir saat Jani menatapnya bingung.

“Kau baik-baik saja?” tanya Xin memastikan. Jani mengangguk untuk membuatnya lebih tenang.

“Kita sudah sampai, ayo turun,” lanjutnya. Jani menatap ke sekelilingnya dan menyadari keadaan.

‘Ternyata hanya mimpi, ya?’ batinnya. “Menyedihkan sekali.”

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel