Bab 6 Transisi
Bab 6 Transisi
Setelah puas bertukar rindu bersama Jani dan Sky, mereka pun berlalu meninggalkan Moscow. Jani menatap kepergian mereka dengan helaan nafas. Sky yang kembali berada dalam dekapan Dragon menatap ibunya heran. Semua orang itu, kecuali Naina tidak ada dalam ingatannya.
Jani masih menatap tempat keempat orang yang dirindukannya itu menghilang ditelan pintu ruang tunggu, meninggalkan mereka yang harus berangkat mengenakan pesawat yang berbeda. Xin mendekati Jani, menuntunnya untuk menuju ruang tunggu pesawat mereka.
Berjalan perlahan karena mengimbangi langkah tertatih Jani, ia melirik kakaknya. Entah mengapa ia merasa ini sangat menyakitkan. Xin tumbuh dalam keluarga yang sangat mencintainya tapi Dragon tumbuh dalam banyak rasa sakit.
Tumbuh di daerah kotor yang penuh dengan serapah bersama seorang ayah yang lebih banyak menyakitinya. Ibu yang akhirnya memutuskan bunuh diri karena tidak sanggup menanggung beban hidup. Dan pergi meninggalkan negara kelahiran mereka untuk berusaha menemukan adiknya, Xin, yang dijual sang ayah.
Tetapi mereka tidak pernah bisa bersama, Dragon memilih jalanan untuk tempat bernaung karena salah paham pada Xin. Begitu lama dan mereka berakhir sebagai orang yang saling membenci. Tapi hari ini, Xin menyadari betapa Dragon sangat merindukan orang tua mereka.
“Kau terlihat sedikit menyedihkan, Hyung” ejek Xin melihat Dragon yang sedikit terisak tadi. Dia sendiri menghapus air mata dari sudut matanya. Dragon mendengus menatap adiknya.
“Terima kasih atas pujianmu,” cetusnya dengan nada menyebalkan. “Sebaiknya, cepatlah kembali ke Suriah dan selesaikan saja urusanmu!” umpat Dragon mendengus kesal. Sejatinya ia tengah mengingatkan Xin bahwa Jani membutuhkannya.
“Yah, setidaknya, kau bisa menjadi obat bagi Mom,” ujar Dave menyungging senyum, mengejek.
“Dan Mom bisa menjadi obat bagimu,” timpal Xin tak ada puasnya menggoda.
“Aku bisa menyumpali mulutmu dengan tanganku, Xin. Jadi berhentilah mengoceh,” ancam Dragon yang diterima kekahan oleh adiknya.
“Hah, baiklah. Kita berpisah di sini,” kata Xin mulai serius. “Dave, Drag. Aku menitipkan Hujan dan Sky pada kalian,” lanjutnya seraya berpamitan.
“Tanpa kau katakan juga, aku tahu tanggung jawabku sebagai Ayah,” kilah Dragon. Xin hanya mengerling kasar padanya.
“Hu, aku berangkat. Maaf, karena aku harus meninggalkanmu di saat seperti ini. Namun aku janji, Hu. Aku akan kembali untukmu,” kata Xin memeluk erat tubuh Jani. Wanita itu membiarkan dirinya sejenak dalam rangkulan Xin.
“Terima kasih, Xin. Aku pasti akan menunggu,” balas Jani dalam suara serak, tapi ia enggan menatap Xin. Melambai dan berlalu. Mereka pun berpisah sampai disitu.
***
Setibanya di Crimea, Jani lekas masuk dan mengurung diri di kamar. Duduk merenung di atas ranjang, sembari menatap laut lepas dari jendela kamarnya. Entah apa yang saat ini wanita itu pikirkan. Hanya ada kekosongan yang kembali menyelimutinya. Berbalik, saat merasakan tangan mungil menyentuh tangannya dengan ragu-ragu.
Tatapan mereka bertemu, Sky tersenyum sendu pada Jani. Sang ibu hanya membalas senyum lirih, lalu mengangkat tubuh Sky dan meletakkannya disamping. Persis di sisinya.
“Sky tidak lelah?” tanya Jani sembari mengelus sayang pipi sang putra. Bocah itu menatapnya dengan mata berbinar. Dua hari ia seperti tidak dihiraukan ibunya, membuat batin kecil Sky seperti merasa disingkirkan.
“Tidak, Sky tidak lelah. Mama lelah?” tanya Sky polos. Ia menyentuh lengan Jani dengan sangat hati-hati seolah sentuhannya bisa menyakiti sang ibu. Jani menatapnya seraya mengangguk kecil.
“Mama lelah, Sayang. Sangat lelah,” ungkap Jani sembari memeluk tubuh Sky yang hangat.
“Mama mau bobok? Sky peluk?” tawar Sky menepuk-nepuk kasur Jani, seolah mengajak sang ibu untuk berbaring dan dia akan mendendangkan lagu pengantar tidur. Tersenyum lirih, Jani mengangguk dan lekas menuruti kata sang buah hati. Mengambil posisi terlentang, dengan Sky yang memeluknya hangat dari samping
“Sky sayang, Mama,” ungkap Sky yang ditutup kecupan hangat pada pipi sang bunda. Tersenyum tulus, Jani merangkul tubuh anaknya.
“Mama juga, Sayang.”
***
Suriah suatu sore
Xin yang baru saja tiba di markas pusat, lekas memasuki ruang Komandan dengan perasaan dongkolnya. Tak peduli seberapa kuat para penjaga menahan, lelaki itu masuk dengan paksa.
Brak!
Xin mengembalikan sebuah dokumen yang diletakkan kasar pada meja komandannya. Laki-laki berusia 50an tahun itu menatapnya dengan sedikit menarik garis bibirnya. Alisnya terangkat melihat ketidaksopanan yang ada di hadapannya. Tapi begitu mengenali Xin, ia hanya menghempas nafas.
Xin mengambil bolpoin dari sakunya, menarik kasar dokumen itu menandatangani dengan tergesa. Pria berwajah arab setengah baya itu mengerutkan dahi, merasa heran dengan tingkah bawahannya tersebut. Setelah selesai, Xin menyerahkan surat dokumen di tangannya, seraya berbalik menuju pintu keluar.
Komandan mengambil dokumen yang baru saja ditinggalkan Xin. Melihat isi surat tersebut dan berjengit terkejut. Membuang tatapan nanar pada punggung Xin yang bergerak menjauh, pria itu bangkit.
“Tuan Xin!” suaranya mengguntur seolah bisa meruntuhkan dinding yang hampir saja membatasi mereka. Xin tidak menyahut, hanya mengangkat tangannya seolah melambai. Menahan langkah sebelum akhirnya berlalu ditelan pintu, Xin bersempat diri berkata,
“Maaf Komandan. Aku keluar, selamat tinggal!”
Komandannya menghempas kembali tubuh tuanya di kursi. Ia tahu tidak ada yang bisa menahan pria seperti Xin dalam pasukan. Dia juga bukan orang yang bisa dikendalikan hanya oleh komandan setingkat dirinya. Xin, berada langsung di bawah pimpinan tertinggi mereka dan tak ada yang bisa menahannya jika ia ingin pergi.
***
Xin mengibaskan mantel panjangnya sebelum turun, bandara yang sudah sangat akrab dengan netranya terlihat sedikit menyedihkan. Ah, sejatinya hati Xin-lah yang membuatnya terlihat menyedihkan. Pria berkulit putih tersebut, baru saja mendaratkan pesawat jetnya dari Moscow ke Crimea.
Mata tajamnya memperhatikan suasana sekitar, yang selalu terlihat sejuk walau cuaca terik. Melangkah lebar, Xin menuju sebuah mobil hitam yang memang sudah dipersiapkan untuknya. Seorang pria yang sebaya dengannya mengangguk hormat dan membukakan pintu untuknya.
Pria cerdik sepertinya, tak perlu khawatir akan kekurangan uang dan harta. Walaupun Xin telah mengundurkan diri dari pasukannya, lelaki itu masih memiliki usaha yang dikembangkan sedari dulu. Usahanya pun kini telah berdiri tegap dan menyebar luas di beberapa negara, salah satunya Crimea. Lantaran di sana, adalah tempat di mana ia dan para sahabatnya lebih banyak menghabiskan waktu.
Namun, mengingat hal menyenangkan tersebut, seakan membuat Xin merasa kepedihan sendiri. Bagaimana bisa, Tuhan begitu rela memberikan Jani dan Angin sebuah takdir yang selalu pahit? Bahkan jika ia berada di posisi Jani, Xin yakin sekali jika ia tak mampu bertahan.
Itulah alasan mengapa pria berdarah Korea ini memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya. Ia ingin menghibur Jani, berada di dekatnya dan menemani sang sahabat yang terpuruk atas kematian Angin, suaminya.
Bertanya dalam hati, apakah ia melakukan ini hanya karena merasa bersalah akan kecelakaan Angin? Atau karena ia merasa iba pada sahabatnya Jani? Ataukah, karena perasaan lain yang mungkin disimpan olehnya seorang?
Mobil Xin berhenti tepat di depan rumah Jani. Rumah Angin dan keluarga kecil nan bahagianya di sana. Keluar dari pintu mobil, Xin langsung mendapat sambutan hangat dari Dave dan Sky yang tengah bermin di halaman.
Xin mengangkat tubuh imut Sky, sang jagoan kecil mereka semua. Membawanya hangat dalam pelukan dan menghujani bocah tampan nan cerewet itu dengan kecup sayang di pipi gembulnya.
“Kau merindukanku, Jagoan?”" canda Xin menggelitik pelan perut kecil Sky. Bocah itu tertawa riang, sembari mengoceh tak jelas.
“Uncle, ayo masuk,” ajak Sky bersemangat, ia menarik Xin dengan langkah kecilnya yang bergegas.
“Ayo masuk dan temui ibumu,” ujar Xin yang mulai membawa langkahnya masuk. Tiba di dalam, ia mendapati kakak menyebalkannya tengah mengepel lantai. Menahan tawa sekuat tenaga, ia menatap Dragon. Ada rasa hangat dalam dada Xin, mereka sudah sangat lama terpisah dan baru-baru ini menjadi bisa sedikit lebih dekat.
“Oh, Dave! Kau tengah mempekerjakan cleaning service?” sindir Xin seolah tak melihat Dragon.
“Diam di sana, sebelum kupel juga mulutmu,” ketus Dragon sembari memeras kain pelnya. Xin tertawa.
“Oh, ayolah, Hyung, aku tidak tahu jika kau sedemikian cintanya pada Hujan, hingga rela menjadi asisten rumah tangganya,” goda Xin tidak ada puasnya.
Menatap datar pada sang adik, Dragon mengangkat tongkat pelnya seraya hendak mengetukkan pada kepala Xin yang bandel itu. Namun melihat hal tersebut, Sky menjerit. “No, no, no! Tidak boleh, nakal!” ujar bocah tersebut sembari menggerak-gerakkan telunjuknya pada Dragon, yang membuat ketiga pria berotot di sana lemah akan serangan wajah imutnya.
Dragon menurunkan tongkat pelnya dan menatap Sky dengan manis seraya meminta maaf, sementara Xin mengusap kepalanya lembut. “Ah, kau memang keponakanku yang manis dan pintar,” berkata begitu ia meninggalkan kedua temannya.
Dave dan Dragon saling bertukar pandang geli, sangat jarang melihat ekspresi itu dari Xin yang perkasa. Tak bertahan lima menit, keduanya bergidik ngeri, seraya meninggalkan satu sama lain.
***
Jani masih duduk merenung, menatap nanar pemandangan laut yang berkelap-kelip indah, memantulkan bentuk cahaya matahari. Mengusap perut buncitnya, berpikir, bahwa sebentar lagi bahkan ia akan melahirkan. Namun, mengapa harus tak ada Angin yang menemani harinya kelak?
Saat seperti ini, bahkan air matanya tak mau menetes setetes pun. Memalingkan tatapan pada perutnya, Jani seakan mengenang sosok Segara, suami pertamanya. Saat ia mengandung Sky, Segara-lah yang senantiasa setia menemani dan merawatnya dengan baik. Memberinya sebuah motivasi hidup, memeluknya saat gundah dan lelah. Pria yang begitu gigih hingga membuat Jani bisa menerima keberadaan Sky, bahkan sekarang sangat takut kehilangan anak itu.
Namun, bagaimana dengan sekarang? Bahkan Angin telah meninggalkannya. Segara pun tak mungkin bangkit dari kuburnya, bukan? Harry? Jani hanya bisa menganggapnya sebagai adik. Dan tidak akan mungkin bisa menggantikan posisi Segara untuknya. Bagimana dengan Dragon?
Akh! Kepala Jani terasa berputar setiap kali memikirkan mereka. Sempat ia bertanya, mengapa takdir begitu suka mempermainkan kehidupan juga kebahagiaannya? Mengapa untuk kata bahagia, terasa begitu susah baginya?
Masih berperang dengan segala pikiran dan masa lalunya, Jani dikejutkan dengan sapaan seseorang yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu. Memperhatikan apa yang dilakukan wanita hamil tersebut.
“Tak bosan, Ibu hamil? Melamun dan merenungi seluruh kelukaanmu?”
***