Bab 5 Berdamai
Bab 5 Berdamai
Asyriah dan Laila tengah tersenyum sendu, sembari mengelus sayang rambut sang putri. Bertukar peluk dengan hangatnya, kedua wanita tengah baya tersebut tak kuasa menahan tetesan air mata.
“Kau yakin Sayang, akan tinggal di Crimea dulu?” tanya Laila ragu, tapi Jani mengangguk yakin.
“Yakin, Mom. Hujan minta doa kalian saja. Dari Mommy, Ibu, dan Dad,” ujar Jani meyakinkan.
“Kamu tidak perlu memintanya,” ujar Asyriah mengecup kening sang buah hati. “Doa kami tidak pernah putus untukmu.”
Tersenyum tulus, Jani memeluk tubuh ibundanya. Membawa Asyriah memeluknya kembali, dengan air mata yang lagi-lagi tumpah membasahi pipi. Setelahnya, Laila ikut memeluk Jani, kemudian Naina dan Carl.
Keempat orang tersayangnya tersebut harus pulang ke Indonesia terlebih dahulu. Tetapi Naina meminta Dave untuk tetap tinggal, karena Xin harus kembali ke Suriah sementara. Jani tidak bisa sendirian, terutama karena kehamilannya yang semakin besar.
“Aku tidak apa-apa, ada Mom dan Ibu,” ujar Naina meyakinkan saat Dave meminta ia juga tinggal. Asyriah yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya mengangguk untuk meyakinkan Dave.
“Hu, berkabarlah setiap hari. Jangan membuat kami khawatir,” ujar Naina sebelum melepaskan Jani dari pelukan eratnya. “Jika kau sudah memutuskan untuk kembali, jangan menundanya lagi,” sambungnya kemudian.
Mengangguk dengan senyum manis, Jani memberinya pelukan. Sedikit sulit bagi keduanya untuk mempererat, lantaran perut yang sama-sama buncit berisi. Naina terisak, seakan tak ingin meninggalkan sahabat serta kakak iparnya tersebut sendiri. Sejenak ia menatap Sky, yang membuatnya semakin merasa berat meninggalkan Jani.
Namun karena kehamilannya yang juga memasuki trimester akhir, mau tidak mau Naina harus menuruti kata Laila dan Asyriah untuk kembali ke Indonesia. Carl menghampiri menantunya yang sudah seperti anak sendiri sejak remaja. Mengecup sayang pada puncak kepala Jani, dan memeluk hangat tubuh ringkihnya. Berat sekali rasanya, melihat orang yang disayangi dan dijaganya sedari dulu harus menerima kenyataan yang teramat pahit.
“Jaga dirimu baik-baik, Sayang! Jaga Sky. Dad akan selalu mendukungmu setiap waktu. Maafkan kami yang terlalu egois selama ini,” ujar Carl seraya mengusap lembut kedua pipi tirus Jani.
“Ya, Dad,” sahut Jani merasa haru.
“Sampai kapanpun, kau masih akan menjadi putri kecil kami yang terhebat. Sama seperti Nai dan Angin,” pungkas Carl mengacak halus puncak kepala Jani.
Laila dan Asyriah melihat ke arah Dragon yang tengah mengendong Sky. Menghampirinya, Asyriah meminta Sky, sudah lama tidak bertemu membuat Asyriah merasa Sky mungkin melupakannya. Bocah itu membiarkan tubuh mungilnya berpindah tangan, ia hanya menatap neneknya tanpa bicara sepatah pun.
Sementara Laila menatap nanar pada Dragon. Merasa canggung, Dragon hanya tersenyum seraya menunduk memberi hormat. Ia mengerti jika Laila mungkin merasa sangat tidak nyaman dengan kehadirannya. Dan karena itu ia berniat pergi. Tapi Laila berjalan mendekat.
“Bolehkah saya memegang wajah Anda?” ia bertanya dalam nada ragu, tapi rasa rindu pada putranya membuat Laila tidak bisa menahan diri.
Bagaimana tidak? Wajah Dragon begitu mirip dengan Angin, walau tak dapat menyangkal itu hanyalah hasil dari operasi plastik. Obsesinya menjadi Angin untuk Jani dahulu teramat besar, hingga rela melakukan apapun untuk mencapainya.
“Ah, silahkan Nyonya,” jawab Dragon, sedikit terkejut. “Bahkan Anda boleh memeluk saya, jika ingin,” lanjutnya.
Tanpa basa-basi, sosok ibu yang merindukan putranya itu memeluk erat tubuh Dragon. Mereka begitu mirip, bahkan sangat mirip. Terisak dalam pelukan Dragon, Laila begitu rindu akan putra sulungnya, Angin.
“Tolong jaga Hujan, jangan sakiti dia,” pinta Laila berbisik pelan ke telinga Dragon.
Permintaan yang sangat menikam batinnya. Bagaimana wanita itu bisa percaya padanya? Pada pria yang dengan teganya membiarkan putri mereka terluka. Walaupun kejadian itu sudah berlalu beberapa tahun silam, tetapi Dragon masih tak mampu memaafkan dirinya sendiri.
Pelukan dan isakan Laila terdengar merdu menyentuh gendang telinga Dragon. Pria kuat yang selalu merindukan kasih ibu selama bertahun-tahun dalam hidupnya, mengangguk lirih untuk menyetujui permintaan Laila. Dalam bisikan yang sangat serak ia meminta izin pada Laila.
“Boleh saya membalas pelukan Anda, Nyonya?” tawarnya ragu.
Laila mendongak menatapnya, dia sedikit lebih tinggi dari Angin. Tersenyum lirih dan mengangguk. Mengizinkan keduanya berbagi rindu, yang sejujurnya bukan untuk mereka sendiri. Namun peluk hangat itu, setidaknya sedikit pengobati luka yang begitu lama terpendam.
Momen mengharukan yang tak pernah diduganya, seolah membuat Dragon ingin berlama-lama berada di sana. Berada dalam peluk hangat seorang ibu, Dragon bisa merasakan dan melepaskan kerinduannya. Rasanya hangat. Sangat-sangat menenangkan.
Xin membuang muka dengan sudut mata berlinang. Ia tahu, Dragon pasti merindukan ibu mereka. Dan Laila, pasti melihat sosok Angin dalam diri Dragon, sekalipun hanya karena kemiripan mereka secara fisik.
“Aku...,” ungkap Dragon lirih, seakan menguatkan diri untuk tidak menangis. “Aku sangat merindukan Ibuku,” lanjut Dragon berbisik halus, hingga hanya Laila seorang yang dapat mendengarnya.
Tangannya menggapai wajah yang terlihat seperti menahan rasa sakit yang tak terperi Dragon. “Ah, anggap saja aku ibumu. Aku juga sangat merindukan putraku,” balas Laila yang semakin membuat Dragon sedih.
“Apa Nyonya tidak merasa terancam atas kehadiranku?” tanya Dragon ragu.
“Tidak. Kau memberikanku pelukan hangat yang sama dengan Angin, putraku,” ujar Laila. “Kau orang baik, Nak. Aku bisa merasakannya,” lanjut Laila jujur.
“Mereka tidak berpikir begitu,” ujar Dragon sedikit tersenyum. “Bagaimana bisa?”
“Insting seorang ibu itu kuat. Sama kuatnya dengan kasih sayang kami pada kalian,” jelas Laila.
Sejenak, Dragon terdiam. Pelukan yang begitu terasa lama, namun tidak seorang pun dari keduanya ingin melepaskan. “Kau boleh memanggilku Mom, jika ingin,” ujar Laila seolah paham akan apa yang dipikirkan Dragon.
“Sungguh, Anda tidak keberatan?” tanya Dargon memastikan.
Apa-apaan ini? Pria berhati baja itu terlihat luluh layaknya anak kucing dalam pelukan kasih sayang Laila. “Tentu saja,” ujar Laila yang menatap Dragon, tersenyum dalam rasa haru.
“Mom?” panggil Dragon gugup.
Laila tersenyum lirih, seraya mengusap sayang pipi Dragon. Matanya kembali berkaca-kaca, lantaran menampung genangan air mata. Mengangguk lirih, Laila seolah mampu meluluhkan hati Dragon seketika.
“Apa aku, terlihat menyedihkan?” tanya Dragon malu dan sedih. Laila tertawa kecil seraya mengusap sudut matanya yang basah. Ia menggeleng kuat-kuat.
“Tidak, Nak. Sama sekali tidak,” ujar Laila menenangkan.
Tersenyum lirih, Laila melepas pelukannya. Memberi kesempatan pada kakaknya untuk memeluk Dragon. Wanita tengah baya itu menatap canggung pada Dragon, dengan perasaan yang sama dengan Laila sebelumnya. Ragu, namun rindu. Walau bukan sebagai Dragon, setidaknya pria itu mirip dengan Angin.
“Maafkan saya, Nyonya,” ujar Dragon menunduk hormat pada Asyriah.
Mengingat kejadian yang menimpa Jani dahulu, membuat Dragon merasa bersalah pada ibu beranak satu itu. Asyriah, sebagai ibu kandung Jani sangat mungkin menaruh banyak kemarahan dalam dadanya untuk Dragon.
“Ibu sudah memaafkanmu, Nak,” ujar Asyriah menepuk pelan bahu kokoh Dragon. “Bahkan Jani bisa melupakan semua rasa sakitnya. Masa lalu, biarlah berlalu. Yang terpenting saat ini, Ibu hanya ingin kamu berubah, untuk tidak lagi mengulang kesalahan yang sama,” ujar Asyriah tulus.
“Ibu tahu, perasaanmu pada Hujan begitu dalam. Jadi Ibu mohon, jaga dan gunakan hatimu untuk Hujan. Jangan sakiti dia," kata Asyriah yang lekas mendapat anggukan pasti dari Dragon.
Menyalami tangan ibu dari wanita yang ia sukai, Dragon benar-benar merasa iri pada Angin. Bagaimana bisa ia hidup dengan begitu bahagia, dianugrahi keluarga, sanak saudara, kerabat, bahkan wanita sesempurna Jani yang selalu mencintainya?
“Terima kasih, Nyonya,” ungkap Dragon penuh haru.
“Ibu. Panggil aku Ibu, Nak,” ujar Asyriah tulus.
Perasaan haru semakin mengorak dalam dada Dragon, semakin menjadi-jadi. Rasa bahagia seolah membuatnya terlena. “Tapi, saya bukan Angin, menantu Anda,” tukas Dragon.
“Kami pun melihatmu bukan sebagai Angin, Drag. Kamu adalah kamu, dan Angin adalah Angin. Tak seorangpun dari kalian yang bisa menukar posisi masing-masing,” ujar Asyriah dengan seselip senyum. Bagaimanapun pria yang berdiri dengan luruh di hadapannya sekarang adalah ayah dari cucunya. Sky.
“Terima kasih, Bu! Terima kasih!” ungkap Dragon penuh haru.
“Ya, jaga dirimu baik-baik. Semoga kita bisa bertemu lagi di kemudian hari,” ujar Asyriah. “Dan lagi, Sky masih sangat membutuhkanmu.”
*Bersambung*