Bab 4 Bimbang
Bab 4 Bimbang
Malam yang legam dengan angin yang bertiup kencang, hingga menerbangkan helai-helaian rambut Jani. Menatap langit hitam tak berbintang, dengan kumpul-kumpulan awan yang terlihat kelabu. Bahkan langit pun enggan berbagi keceriaan dengannya malam ini.
'Apa akan turun hujan?' batin Jani.
Pepatah mengatakan, jika langit akan ikut berduka karena kepergian orang baik. Tersenyum lirih, Jani mengingat sosok Angin yang tak lagi bisa dikatakan baik. Namun, lebih tepatnya adalah sempurna di mata Jani.
Kenangan bersama pria bermata biru tersebut begitu banyak. Tidak mudah melupakannya, bahkan mungkin Jani akan butuh seumur hidupnya. Cinta mereka yang melalui jalan sangat panjang dan menyakitkan sebelum bisa bersatu. Pun hanya sebentar, sekarang Angin hanya akan hidup dalam kenangan Jani. Maut memisahkan mereka.
Sedikit penyesalan menyeruak ke dalam kenangan Jani. ‘Mungkin seharusnya aku melarang dia saat memutuskan berangkat. Atau mungkin ketika ia memutuskan menjadi prajurit? Ataukah inilah karma bagi mereka karena berani menantang adat yang sakral dan bersembunyi dari orang tua mereka?’
Merasa gusar, Jani mengacak pelan rambut panjangnya. Atas permintaan Angin, Jani sudah membiarkan kembali rambutnya memanjang. Memilin ujung rambutnya dengan jari kelingking, Jani menyadari satu hal, apa yang akan ia lakukan sekarang?
Wanita itu mengusap lembut perutnya yang membuncit. Dulu saat mengandung Sky, ia sangat membenci setiap gerakan di dalam rahimnya. Tapi sekarang, Jani sangat menunggu bayi ini hadir. Angin selalu berangan membawa bayi mereka terbang dan berpetualang. Sekarang, semua berderai seperti serpihan kaca dan perlahan mulai menguap seperti embun.
“Ehm!”
Suara deheman itu membuat Jani memutar tubuh dan mendapati dua sosok di belakangnya. Sedikit senyum kecil muncul di ujung bibirnya saat Sky tertawa padanya. Tapi hanya sebatas itu, detik berikutnya Jani kembali terdiam dan menatap nanar pada nuansa legam di sekitarnya.
Dragon mengeluh melihat reaksinya, dengan sangat lembut ia menyentuh pundak Jani yang terlihat sedikit turun dalam pelukan jaket tebalnya. Jani kembali menoleh, pada Sky yang menyapanya dengan nada merindu.
“Untuk apa kau membawanya kemari?” tanya Jani, mengalihkan netranya pada Dragon. Pria itu menarik nafas panjang.
Dragon mendekat, seraya ikut bersandar pada sisi jendela yang berbeda dengan Jani, sehingga ia bisa menatap wanita kesayangannya itu tanpa jeda. Pria bertubuh kekar itu memeluk erat tubuh mungil Sky yang berada nyaman menempel pada dada bidangnya. Jani menatap putranya sekilas, setelah itu kembali dalam ruang sunyinya sendiri.
“Sky merindukanmu, dia bingung karena ibunya bersikap acuh padanya sejak pagi,” ujar Dragon. Jani menoleh kembali, menatap Sky yang juga menatapnya. “Kau bahkan tidak menyentuhnya sedari pagi,” kata Dragon.
Kalimat itu menyentuh nurani paling dalam Jani. Menghela nafas berat, Jani mengambil Sky dari pelukan Dragon. “Udara malam sangat dingin dan kau membawanya ke sini,” ujarnya seraya mendekap Sky erat. “Seharusnya kau tahu, cuaca seperti ini tidak baik bagi anak seusia Sky,” kecamnya sebelum kemudian berlalu meninggalkan Dragon.
“Hei, kau tidak lupa jika ia juga anakku, huh?” dengus Dragon, tapi Jani bergeming dan meneruskan langkah. Pria itu menatap nanar pada punggung Jani yang semakin menjauh. Namun sebelum wanita itu benar-benar hilang ditelan pintu, Dragon lekas menyusul langkahnya.
“Kau ingin menidurkannya” tanya Dargon, Jani seolah tak mendengar dan meneruskan langkah. “Hujan, tunggu! Kau tidak bisa membawanya menuruni tangga,” ia bergegas menyusul tapi Jani terlanjur menuruni tangga secara perlahan.
Menggendong Sky untuk kembali ke kamar inapnya, Dragon yang berjalan di belakang terlihat serba salah. Ia hendak membantu Jani tapi tahu wanita itu tidak akan bersedia dibantu. Ketika hendak membuka pintu, Xin, Dave, dan Naina menghampirinya. Tersenyum seolah memberikan kekuatan untuk sahabatnya tersebut.
“Pria macam apa kau? Membiarkan seorang wanita hamil menggendong putranya untuk menuruni tangga?” kecam Dave yang lekas mengambil alih Sky dari gendongan Jani. Dragon memeletkan lidah melihat lirikan sadis Xin.
“Dia sendiri yang merebutnya dariku,” kilah Dragon membela diri, dengan nada lemah.
“Kau memang tidak pernah peka,” ujar Xin seraya membukakan pintu untuk Jani.
Dragon hanya mendengus kesal, saat ketiga sahabat Jani itu menatapnya nyalang. Mereka ikut masuk ke dalam kamar Jani, Dave meletakkan pelan tubuh Sky yang terlelap lelah di kasur empuk ibunya.
Kelimanya duduk terdiam, memandang Jani yang menatap kosong pada lantai keramik di bawah kakinya. Seakan benda putih tersebut lebih menarik dari keempat orang yang berada di sekelilingnya saat ini.
“Hu, aku tidak bermaksud memaksamu. Tapi kau tidak bisa sendirian di sini, kuharap kau bisa segera memutuskan apa yang akan kau lakukan setelah ini,” ujar Xin dengan nada sangat lembut.
Mengacuhkan lirikan pedas Naina yang merasa bahwa seharusnya Xin tidak mengatakan itu. Jani melihat pada pria jangkung yang tengah bersandar lelah pada badan sofa. Memperbaiki duduknya, Jani menegakkan punggung.
“Entahlah, Xin. Aku belum bisa memutuskan,” ujarnya dengan nada sangat lelah. “Aku bahkan tidak bisa berpikir,” sambungnya.
Naina menggeser tubuhnya, merangkul hangat tubuh Jani. Bersandar pada bahu sahabatnya yang terlihat lemah, namun mampu memikul beban-beban beratnya selama ini. “Hu, aku mengerti perasaanmu. Hanya saja, tolong jangan terpuruk terlalu lama atas kepergian Kak Angin. Bayimu, membutuhkan kau dalam keadaan sehat dan juga Sky. Aku mengerti lukamu, tapi tolong Hu, bukan hanya kami, tapi Ibu, Mom dan Dad akan terluka melihatmu seperti ini. Dan aku yakin, Kakak tidak ingin kau seperti ini,” ungkap Naina yang membuat Jani tersenyum lirih.
“Aku sudah terbiasa, Nai. Jadi tenanglah,” sahut Jani, berusaha terlihat rileks tapi semua orang di ruangan itu mengerti betapa dalam ia terluka. Dave menatapnya dengan helaan nafas berat sebelum kemudian membuka suara.
“Tapi Xin benar. Kami tidak bisa meninggalkanmu di sini sendirian,” ujar Dave.
“Dia tidak sendirian,” ucap Dragon, tiga pasang mata langsung mendelik padanya dengan kejam. Pria itu mengangkat tangan tanda menyerah.
Jani terdiam, ia tahu bahwa ia tak bisa sendirian sekarang. Bukan karena tidak sanggup, tapi menyadari bahwa kesendiriannya hanya akan membuat semua orang khawatir. Tapi kembali ke Indonesia? Entah mengapa ia merasa sangat berat. Jani bangkit seraya berjalan mengitari tempatnya.
“Aku bingung, Dave. Aku masih ingin di Crimea, masih banyak yang harus kuselesaikan di sana, beberapa dokumen Angin. Tapi di sisi lain, aku juga rindu pulang ke Jakarta,” jawab Jani bimbang. Kerinduan yang sejatinya lebih karena ingin dekat dengan ibunya. Di saat ini Jani sangat membutuhkan sang ibu.
Ketiga sahabatnya saling pandang. Dragon yang menyimak sejak tadi menatap ketiganya kesal. “Kenapa kalian begitu memaksanya? Dia masih berkabung, air yang ia siram di atas pemakaman suaminya bahkan masih tersisa. Dan kalian bersikap seperti ini?” gugatnya.
Mereka saling bertukar pandangan, sebelum Xin yang memutuskan. “Aku akan menemanimu kembali ke Crimea sebelum kembali ke Suriah,” ujarnya kemudian. “Kita akan kembali ke Indonesia saat kau benar-benar sudah siap.”
Tidak ada yang menampik kata-kata itu, Dave mengangguk setuju dan memilih keluar dari kamar. “Biarkan dia istirahat,” ujarnya tajam saat Dragon masih bertahan di sana.
Setelah tinggal sendirian, Jani membuka tirai kamarnya. Menatap lampu-lampu yang terlihat ceria di kejauhan. Biasanya ia sangat menyukai malam, tapi saat ini ia merasa malam tidaklah membuatnya merasa tenang seperti biasa. Rasa sakit itu, membuatnya seperti terperosok sangat jauh.
“Apa yang harus kulakukan sekarang?” ia bertanya pada potret Angin dalam ponselnya. “Kau begitu egois, meninggalkanku di saat seperti ini. Mengingkari semua janjimu, apa kau benar-benar lupa?” keluhnya sendiri.
“Jawab aku, apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana aku harus hidup setelah ini?”
*Bersambung*