Bab 3 Pemakaman
Bab 3 Pemakaman
Perjalanan menuju pemakaman, benak Jani menayangkan kenangan manis bersama Angin. Sosok sempurna yang pernah ia miliki selama ini. Menjadi pengganti sang Ayah, menjadi sandaran, teman cerita, dan berbagi yang sangat baik.
Setelah berhasil mencuri hati sang kekasih semenjak SMA, Angin tak pernah sedikitpun membuatnya terluka atas adanya orang kedua. Dahulu, kabar kematiannya telah menghancurkan Jani. Membuatnya hancur dan sangat terpuruk. Saat itu, Jani merasa dunianya seakan runtuh, tapi kehadiran Segara mengubah segalanya.
Pertemuan mereka setelah begitu banyak rasa sakit Jani, akhirnya menyatukan mereka. Jani berharap mereka akan bersama dalam waktu yang lama tapi ternyata harapannya tidak mewujud. Dan kenangan itu seperti layar televisi dalam kepala Jani saat ini, ketika Angin meminta izin padanya untuk pergi.
Flashback On
“Kau merindukanku?" sapa Angin ketika ia datang setelah beberapa hari berada di Moscow. Sembari memeluk mesra tubuh sang Cinta dari belakang, Angin memberinya kecupan pdi bahunya yang sedikit terbuka.
“Kau baru pergi beberapa hari, haruskah aku merindukanmu?” goda Jani, ia memutar badannya, agar bertatap muka dengan Angin.
“Oh? Jadi begitu?” ia menggusal pipi Jani dengan hidungnya yang runcing. “Kau ingin aku jauh darimu dalam waktu yang lama?" goda Angin mengusap sayang pipi Jani.
“Kau sudah terlalu jauh dariku selama ini. Sekarang aku tak melihatmu sehari saja sudah tidak mampu rasanya. Apalagi lama?” dengus Jani memanja.
Tawa Angin berderai, “Bolehkah aku berbangga diri?" tanyanya.
“Kau tahu, aku hanya mencintaimu. Dan akan selalu begitu,” ungkap Jani jujur.
“Aku sangat bersyukur memiliki istri secantik dan sesempurna dirimu, Janiku,” timpal Angin yang lekas memeluk sayang tubuh Jani.
“Aku tidak sempurna, Angin,” kata Jani sendu.
“Bagiku, kaulah yang paling sempurna. Kau segalanya,” tegas Angin tidak.mau dibantah. “Yakini itu, Sayang. Karena sampai kapanpun, aku akan tetap mencintai mu,” lanjut Angin yang lekas diamini oleh Jani.
Larut dalam dekapan, Jani begitu tenang kelihatannya. Namun, dalam batin ia masih sempat bertanya, 'Bagaimana jika semua ini sirna begitu saja?'
Semua keraguan Jani terjawab , ketika Angin mengatakan sesuatu yang sangat memberatkan hati Jani. Terduduk bersimpuh, sembari menyandarkan dagunya pada pangkuan sang istri, Angin menatap dengan penuh harap. Layaknya anak kecil yang meminta izin pada ibunda, untuk bermain hujan.
“Aku tidak bisa menahanmu, bukan?” tanya Jani dengan senyum lirihnya.
“Aku tidak memintamu untuk melepaskanku, Sayang. Ini hanya untuk satu atau dua tahun dan aku bersama Xin,” tutur Angin lembut.
“Aku tidak akan melepaskanmu, Angin. Sampai kapanpun. Hanya saja, untuk tugas negara seperti ini, kau tahu jika perasaanku berat padamu, bukan?” sergah Jani dengan wajah sendu memanjanya.
“Percaya padaku, Sayang. Aku akan kembali, sebelum anak kita lahir nantinya,” ujar Angin menenangkan. Jani terdiam sejenak, menatap pada Angin yang tengah mengusap sayang perut mulai membuncit.
“Aku menunggumu. Jadi kumohon, kembalilah dengan selamat,” ujar Jani, dengan terpaksa mengizinkan. Ia tahu, ini adalah puncak dari semua yang diinginkan Angin selama ini.
Tersenyum manis, Angin memberikan cintanya melalui tautan bibir keduanya. Rasanya masih tetap sama. Hangat, dan menghanyutkan. Namun sayang, mereka tidak pernah tahu, jika itu adalah kali terakhir mereka untuk melakukannya.
Flashback Off
“Hu?” panggil Xin membuyarkan lamun Jani. Mengangkat kepalanya dari bersandar di pintu jendela, wanita itu benar-benar tanpa berekspresi saat ini. Hanya sesekali menghela nafas gusar, sembari menatap lurus pada ramainya jalan di depan.
“Kau baik-baik saja?” tanya Xin khawatir.
“Ya. Tidak perlu mengkhawatirkanku, Xin. Aku sudah terbiasa,” ungkapnya dalam helaan nafas yang malah menjadi irisan batin di dada sang Bunda, Asyriah.
Sejenak, kesunyian merajahi mereka. Hanya ada suara mesin mobil yang melaju kencang, juga suara-suara lirih dari kendaraan yang berlalu-lalang di sekitar. Sebelum akhirnya Dragon mengangkat suara.
“Tidurlah jika kau ingin. Kami akan membangunkanmu setelah sampai nantinya,” saran Dragon.
“Tidak. Aku tidak mengantuk sama sekali,” balas Jani datar. Ia menoleh ke belakang, menatap Dragon yang juga tengah menatapnya lembut. “Aku baik-baik saja Drag,” jawabnya pelan. “Dulu lebih menyakitkan dari ini, darahnya menggenang dalam tanganku,” sambungnya membuat Dragon ingin melempar dirinya ke Laut Hitam saat itu juga.
Sejenak, kesunyian kembali merajai mereka. “Drag,” panggil Jani tiba-tiba. Dragon yang melempar pandangan keluar menoleh dan menatap bagian belakang Jani.
“Ya?” sahut Dragon kilas.
“Boleh aku memegang tanganmu?” pinta Jani yang entah mengapa membuat Asyriah dan Xin terkejut.
“Hu?” Xin menoleh dengan wajah heran pada sahabat masa kecilnya itu. Menatapnya tak percaya. Jani memandangnya sekilas dan membuang pandang setelah itu.
“Ini bukan tangan Angin. Namun setidaknya, ada secuil ketulusan yang sama pada genggamannya,” pungkas Dragon memberikan tangannya ke depan.
Menggenggam tangan Dragon, Jani menyandarkan kepalanya di sana. Entah apa yang dipikirkan oleh wanita hamil tersebut. Namun, selagi untuk kebaikan Jani dan kandungnnya, Asyriah dan Xin tidak akan pernah mempermasalahkannya.
“Xin,” panggil Jani.
“Ya?” sahut Xin melirik sekilas, berharap Jani melepaskan tangan Dragon dan beralih menggenggam tangannya seperti biasa.
“Aku sudah merindukannya.”
Setibanya di tempat berkabung, banyak orang yang terlihat rapi mengenakan seragam, seolah tengah menghormati kepergian Angin di sana. Orang yang berpangkat, melelahkan berbeda dari orang biasa. Perjuangannya akan dibanggakan seluruh dunia dan kepergiannya pasti menjadikan duka bagi siapa saja.
Jani, Xin, Dragon, dan Asyriah lekas turun dari mobil. Disambut hormat oleh beberapa tentara, sembari sedikit merundukkan badan. Tak beberapa lama, mobil Dave pun tiba. Dave, Naina, Carl, dan Laila turun bersamaan. Mereka mencapai rombongan Jani dalam langkah cepat.
Tangis Naina dan Laila tak kunjung usai sedari perjalanan tadi. Bahkan sedari masih di pesawat dan di Indonesia pun mereka tak kunjung berhenti menangis. Tak heran, lantaran Angin adalah sosok kakak dan anak yang baik dan pengertian. Kehilangannya bagaikan kehilangan permata yang berharga mahal.
Menghela nafas gusar, Jani tetap berusaha terlihat normal. Suasana yang sangat akrab ditemuinya. Jani berjalan dengan langkah berat, mendekati jasad terbungkus yang mereka yakini adalah cintanya, Angin. Kain yang menutupi itu terbuka perlahan, menampakkan wujud Angin saat ini.
Tak terlihat, jika itu Angin. Membuat Jani terdiam beribu bahasa, seakan berpikir akan hal yang sama seperti kejadian beberapa tahun sebelumnya. Tak ada lagi tangisan. Tak ada lagi bulir bening yang menitik dari pelupuk matanya. Hanya sebuah kekosongan, yang menarik Jani dalam pada sebuah lubang hitamnya dahulu.
“Hu?” panggil Naina lirih dalam isakan. Jani berbalik dan memeluk tubuh adik iparnya yang sama buncitnya. Belum ada beberapa detik hitungan akhirat dan Tuhan sudah harus mengambil kembali Angin darinya. Membuat wanita itu frustasi saja.
Menangis sejadi-jadinya, Naina, Laila, dan Asyriah tak mampu menahan rasa perih akan kehilangan mereka. Namun tidak dengan Jani. Wanita itu hanya terdiam kaku dengan tatapan kosong yang teramat mengenaskan. Siapa yang akan menemaninya setelah ini? Dia tidak bisa menunggu apapun lagi sekarang.Angin saja sudah pergi, mungkin dia bertemu Segara Biru di sana.
“Drag, tolong bawa Sky menjauh. Kita akan melakukan pemakaman,” ujar Xin setelah para keluarga selesai berkabung.
“Tidak, Xin. Biarkan Sky ikut melihatnya. Ia juga perlu tahu, jika Angin, Papanya, telah terkubur di bawah tanah Moscow,” pinta Jani yang membuat mereka sedikit terkejut.
Namun Dragon tersenyum samar, kalimat itu sesungguhnya menggores luka dalam batinnya. Tapi Dragon sudah terbiasa menyimpan segalanya hanya untuk dirinya sendiri. Ia mendekati Jani dan berkata, “Kau harus yakin, Hu, jika Sky putraku, tidak selemah yang kau bayangkan,” tutur Dargon mengakui.
Jani terdiam, menatap manik biru palsu Dragon. Lalu beranjak mengikuti penggiringan jenazah tersebut. Kembali ia melihat dan memperhatikan dengan baik dan benar, bagaimana mereka memasukkan jasad tak bernyawa milik Angin, ke dalam liang lahat.
Menutupnya dengan papan, kemudian perlahan menguburnya dengan timbun-timbunan tanah. Jani melempar beberapa genggam tanah dengan tangannya, tapi tak mampu mengisi kekosongan dalam hatinya. Pandangan Jani tak berpindah fokus sedikitpun, hingga ia merasakan tangan-tangan lembut dari kedua wanita yang paling disayanginya memeluk.
Menoleh sekilas, Jani kembali menemukan sosok Asyriah dan Laila yang merangkulnya hangat. Tanpa terasa, bulir bening itu kembali berderaian dari ujung matanya. Membasahi pipi, hingga menghadiahkan Jani rasa sesak tersendiri.
'Katakan Angin, itu bukan kau. Dulu juga seperti ini dan kau membiarkan aku terpuruk sangat lama. Kali ini apakah kau juga akan kembali?'