Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Keluarga

Bab 2 Keluarga

Pagi yang cerah, dengan embun sejuk yang menjadi kabut mata. Crimea selalu menyuguhkan pemandangan indah bagi siapa saja yang berkunjung ke sana. Dengan sapaan hangat sang mentari yang sedikit mengintip dari ufuk timur, seraya berseru untuk membangunkan umat manusia.

Jani bangkit dari ranjangnya, melihat ke arah samping dan tak menemukan siapapun di sana. Pikirnya kembali mengingat pada pernyataan Xin, jika suaminya telah tiada. Menghela nafas gusar, Jani membuka tirai jendela. Melihat pada laut lepas, yang selalu indah untuknya.

Tetap berada di posisi termenung seperti itu, sampai suara ketukan pintu membuatnya bertanya, 'siapa yang akan bertamu pagi-pagi seperti ini?'

Tak menunggu lama, Jani berjalan menuju ruang tamu. Memutar perlahan kunci rumahnya dan menarik kenop itu seraya membukakan pintu untuk sang Tamu. Namun yang didapatinya, sebuah pelukkan hangat yang tiba-tiba saja menyerangnya dari samping. Memberikan sedikit ketenangan, yang tak sama sekali ia dapatkan sedari malam.

“Hu? Kamu baik-baik, aja?” tanya Naina yang tengah menangis terisak dalam rangkulnya.

Jani mengangguk lirih, mengelus pelan punggung sahabat sekaligus iparnya yang tengah hamil itu. Mata Jani menangkap semua yang tengah berdiri di hadapannya. Entah apa yang harus ia jelaskan saat ini. Sesuai yang dikatakan Xin, keluarga Jani dan Angin datang dari Jakarta, pagi itu. Asyriah, Laila, Carl, juga Dave dan Naina yang tengah mengandung besar.

Mempersilahkan mereka masuk, Jani lekas beranjak ke dapur untuk membuatkan mereka minum. Tidak Asyriah, tidak Laila, ataupun Carl, ketiganya tak mengucap sepatah kata pun untuk Jani. Membuat wanita hamil itu merasa canggung dan terintimidasi sendirian. Pikirannya tentang Angin seakan kalah saat melihat raut wajah gusar mereka. Orang-orang yang paling dicintai keduanya.

'Apa Ibu akan marah?' tanya Jani membatin. Melirik pada Laila, 'Apa Mom akan kecewa padaku?', lalu kemudian pada Carl, 'Bagaimana dengan Dad? Apa mereka semua akan membenciku setelah ini?'

“Nak?” panggil Asyriah lembut yang cukup menyentak lirih tubuh Jani.

Wanita itu mengangkat wajahnya perlahan, melihat dengan tatapan bingung pada ibunya. Ibu yang selalu menjadi tameng dalam hidupnya. Ibu yang senantiasa rela menjadi pengganti Ayah baginya.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Asyriah dengan senyum tipis yang terlihat begitu sendu.

Menghela nafas, Jani tersenyum rapuh. Kemudian mengangguk pelan, meyakinkan bahwa ia sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Mereka yang melihatnya, seakan ikut merasakan kehancuran hati Jani.

“Ibu di sini untuk kamu, Nak. Kamu bisa kembali kapanpun kamu mau pada kami,” ungkap Asyriah tak kuasa menahan tangisnya.

Merentangkan tangan, seakan hendak menyambut kedatangan putrinya kembali, setelah sempat kehilangannya selama dua tahun ini. Tak kuasa menahan rindu dan sakitnya, Jani lekas bersungkur di bawah lutut sang Bunda.

Menangis dan terisak sejadi-jadinya, seraya memohon ampun atas apa yang telah ia perbuat dengan Angin. Menjadi pengkhianat keluarga, setelah mereka membantu dan menemaninya bangkit dari rasa sakitnya dahulu.

“Maafkan Jani, Bu,” isaknya setelah Asyriah meraih tubuh ringkihnya, memeluknya dalam pelukan sangat erat. “Maafkan kami,” tangis Jani pecah, seraya meminta ampun pada mereka.

Melihat itu, Asyriah dan Laila ikut menagis sesenggukan. Tak kuasa melihat kehancuran putri mereka, yang sekali lagi membuat keduanya merasa bersalah. Laila memeluk erat keduanya, menopang tubuh lemah Jani yang seakan tak lagi sanggup menahan tubuhnya sendiri.

“Cinta kalian menang,” isak Laila. “Maafkan Mom dan Ibumu, yang sudah egois selama ini. Memaksakan kalian berpisah, bahkan adatpun tak mampu memisahkan kalian,” timpal Laila memohon maaf.

Jani menggeleng kuat, masih bersama isak tangisnya dalam dekapan sang Bunda, Jani seakan menyadari sesuatu. “Ini salah Hujan, Mom. Salah Hujan karena tidak mendengarkan kalian. Hiks! Mungkin kalau bukan karena Hujan, tidak akan terjadi apa-apa sama Angin sekarang,” Jani tak kuasa menahan emosinya.

“Apa yang kau bicarakan, Sayang?” Carl mendekati ketiga wanita itu. “Semua sudah diatur oleh sama Yang Kuasa. Kita tidak bisa mengubah nasib dan takdir seseorang, Jani. Kita hanya bisa sabar dan menerima saat ini.”

Jani tergugu saat Asyriah dan Laila melepaskan pelukan. Dave menghampirinya dan menarik tubuh ringkih itu kedalam rangkulan. “Kau tahu Hu? Dia selalu menempatkan dirinya dalam bahaya, selalu begitu. Ini sama sekali bukan kesalahan siapapun, takdir sudah menentukan jalan untuknya.”

Dave yang tidak tahan jika melihat sahabat yang sudah seperti saudara kandungnya ini terpuruk begitu dalam. Beberapa tahun lalu, ia melihat Jani yang terpuruk akan kabar meninggalnya Angin. Kemudian dengan insiden yang diperbuat Ariana palsu. Lalu kehamilan Sky dan kematian Segara.

Dan disaat ia merasa, jika Jani mereka telah kembali pada kebahagiaannya, yaitu Angin, Tuhan seakan tak bisa membiarkan gadis itu diam dan baik-baik saja dalam kebahagiaan kecilnya. Hingga sekarang, ia harus benar-benar mengambil hambanya yang begitu berharga bagi Jani, sekali lagi, Angin.

***

Bandar Udara Sheremetyevo, Moscow.

Jarum jam menunjukkan pukul 09.18 pagi. Namun memang suasana yang terlihat apik, yang tidak membuat bosan para pengunjung, terkecuali Jani. Wanita itu terdiam sunyi sedari tadi. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Juga pada keenam orang yang bersamanya, kecuali Sky, yang memang selalu terlihat ceria. Bocah menggemaskan itu berada dalam gendongan Dragon, ayah biologisnya, yang juga mengikuti mereka.

Jujur saja, ada perasaan waswas dan juga aneh dari Asyriah, Laila, dan Carl saat melihat duplikat wajah Angin bersama mereka. Bagaimana tidak? Mereka berjalan untuk menuju acara pemakaman sang putra, namun melihat sosok putranya bersama mereka.

Dave dan Naina yang berjalan berseberangan, menggeleng pelan setelah bertukar pandangan. Kedua pasutri tersebut seakan mampu bertelepati melalui pandangan. Hanya dengan saling menatap, semua pertanyaan akan terjawab.

“Apa yang kau lakukan di sini?” cerca Dave geram. Dragon terkekeh pelan, ia tengah berusaha menjaga image dihadapan ibu Jani.

“Setidaknya, aku juga harus menghadiri pemakaman teman adikku, bukan?” jawab Dragon sembari berjalan meninggalkan Dave dan mendekat pada Jani.

“Cih! Teman adikmu atau rivalmu, huh,” dengus Dave kesal. Dragon mendengarnya, tapi bukan Dragon jika ia peduli pada kalimat semacam itu. Ia berdiri di sisi Jani yang terlihat bersusah payah bertahan di sana, tidak ada air mata tapi pandangannya sangat kosong.

“Kau lelah?” sapa Dragon yang hanya dijawab gelengan kepala oleh Jani.

“Aku bisa meminta supir untuk segera menjemput kita, tanpa harus berjalan keluar,” kata Dragon menyarankan.

“Tidak, Drag! Tolong tinggalkan aku sendiri,” sergah Jani mempercepat langkahnya.

Melihat tak jauh dihadapan, Xin telah menunggu dengan dua mobil hitam untuk mereka. Namun di sisi lain, Dragon juga telah menyiapkan mobil. Tanpa melihat sekeliling, Jani lekas masuk ke dalam mobil Xin, yang langsung disusul oleh Dragon dan Asyriah.

Sedang, Dave, Naina, Laila, dan Carl menaiki mobil satunya, yang memang telah Xin siapkan untuk Dave kemudikan. Setelah merasa siap, barulah Xin masuk ke dalam mobilnya, seraya mengenakan selfbelt. Namun, matanya menangkap sosok Dragon dari spion depan.

“Bukankah kau membawa mobil sendiri?” sindirnya seraya melirik tajam pada Dragon yang telah terduduk anteng pada kursi penumpang bersama Asyriah. Sky sibuk mengoceh di pelukannya dan Dragon tertawa kecil bersamanya.

“Ayolah, aku Hyungmu. Sky tidak mau bersama yang lain dan dia butuh Ibunya. Jika Hujan ikut denganmu, maka aku pun harus ikut denganmu. Terkecuali, jika Hujan ikut denganku, maka kau tidak perlu ikut denganku,” jawabnya dengan nada menyebalkan, membuat sang Adik mendengus kesal.

“Xin, kumohon?” Jani menoleh pada Xin dari kursi penumpang. Ia melempar tatapan sedikit mencela pada Dragon yang seketika menjahit mulutnya. Xin menggeram dan melajukan kendaraannya dalam diam.

Sepanjang perjalanan ke tempat pemakaman, Jani hanya menatap kosong pada ramainya jalanan. Bersandar pada kaca jendela mobil, sembari sesekali menghela nafas lelah. Asyriah yang melihat itu, hanya mengelus lengan sang Putri dari belakang, untuk menguatkan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel