Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Kabar Buruk

Bab 1 Kabar Buruk

Suriah suatu sore

Suara mesin pesawat tempur memenuhi udara, Xin memantau pesawat yang dikendalikan Angin. Terkejut ketika sebuah peluru artileri mengarah pada pesawatnya dan akan menghantam badan pesawat dalam hitungan menit.

Dadanya berdegup cepat ketika drone yang ia kirimkan diam-diam merekam kejadian berikutnya. Angin yang bermanuver di udara ternyata sudah terkunci, ia tak akan bisa mengelak dari senjata itu jika tak keluar dalam waktu dua menit.

“Angin, segara pergi dari sana!” Xin berusaha menghubunginya, tapi Angin mematikan komunikasi dan berusaha menghindar.

“Sial, sial!” Xin membanting alat komunikasinya. Tangannya yang memegang kendali drone gemetar karena kemarahan yang tak bisa lagi ia tahankan.

“Apa yang kau lakukan!” teriaknya pada layar monitor yang menunjukkan pesawat Angin yang justru menyongsong peluru kendalinya.

‘Kenapa dia tidak keluar dari sana? Kenapa tidak menjauh? Kenapa membiarkan dirinya menjadi umpan?’

Sejuta kenapa bermain di kepala Xin saat pesawat Agin meledak berkeping di udara. Hening. Riuh suara pesawat tempur lain, riuh desingan mesiu dan peluru menjauh dari telinga Xin. Ia berdiri terpaku menatap bekas ledakan yang masih menyala di udara belasan kilometer dari menara. Asap hitam yang membuat hatinya ikut mengelam.

Apa yang harus ia katakan pada Jani sekarang?

Xin meraih mantelnya dan bergegas keluar menara, merampas begitu saja helikopter yang baru saja akan keluar dari markas. Beberapa mengikutinya, ia tak peduli lagi sekarang dengan semua protokol sialan yang membuatnya terkurung dalam markas.

Pesawat Angin jatuh di puing-puing rumah penduduk, Xin terhenyak begitu sampai di sana. Beberapa rekannya dari Pasukan Perdamaian berusaha mencegahnya mendekat, tapi mereka tahu pria itu tak bisa dicegah. Apalagi yang jatuh adalah pesawat yang dikendalikan oleh sahabat yang sudah seperti saudara baginya.

Mereka masih mendinginkan bangkai pesawat sebelum kemudian berusaha menarik tubuh Angin yang nyaris tak terbentuk di dalamnya.

Crimea, suatu senja

Bocah itu berlarian sepanjang bibir pantai, udara senja yang hangat membawa tawa riangnya menjauh dari sang ibu yang berusaha menyusulnya. Tapi perutnya yang membuncit membuat Jani kesulitan bergerak lebih cepat. Sky terkekeh ketika jarak mereka semakin jauh.

Xin menatap mereka dari kejauhan, ‘Kau keterlaluan Angin, meninggalkan mereka dalam keadaan seperti ini. Bahkan sebelum kau melihat bayimu,’ sungutnya dalam hati.

‘Apa yang harus kukatakan?’ ia masih belum berani menampakkan diri di hadapan sahabat dari masa kecilnya itu. Masih menyusun kata-kata untuk menyampaikan kematian Angin pada Jani.

Mereka begitu bahagia, pikirnya. Kenangan membawa Xin kembali ke masa dua tahun lalu, saat Angin akhirnya memberanikan diri untuk melamar Jani. Setelah begitu panjang perjalanan cinta mereka.

Perempuan itu, perempuan yang mengisi relung batin terjauhnya sejak remaja. ‘Mengapa begitu sulit bagimu untuk bahagia?’ pikirnya.

Xin semakin dalam menyuruk di antara bunga-bunga yang tumbuh di sekitar rumah mereka. matahari senja hampir tenggelam di Laut Hitam, Jani menggamit putranya untuk segera pulang setelah matahari bersembunyi di kaki langit. Bocah bermata cerah itu melompat-lompat hingga mereka mencapai tangga terakhir menuju pintu utama.

Matanya menemukan Xin yang berusaha bersembunyi dari pandangan mereka. “Uncle!” jeritnya, melompat ke pangkuan Xin dengan riang. Tangan mungilnya melingkari leher Xin ketika ia membawa bocah manis itu ke pelukannya.

“Xin?” Jani berdiri di depan mereka, tersenyum. Xin memaksakan senyum ketika melihat matanya yang penuh pengharapan.

“Kau sendirian?” tanyanya. Ia memutar kepala ke segala arah berharap ada kejutan untuknya. “Ah, ya. Belum waktunya dia pulang,” ujarnya kemudian, sedikit tertawa.

Mereka masuk dan Jani dengan riang menghidangkan makan malam untuk mereka bertiga. Xin menunggu Sky tertidur sebelum bicara dengan Jani tentang Angin. Wanita itu sudah merasakan firasat tidak enak saat ia melihat Xin sengaja menyembunyikan dirinya dalam rumpun bunga. Ia tak pernah seperti itu sebelumnya.

“Ada apa? Kenapa kau mendadak datang,” tanyanya setelah Sky nyenyak di kamarnya.

Xin menatap Jani sejenak. Menghempas nafas. “Maaf jika aku terpaksa membawa berita ini padamu,” ujarnya pelan. Jani menunggu dengan dada berdebar.

“Terjadi sesuatu padanya?”

Xin tahu, wanita di hadapannya bukanlah wanita lemah, ia sudah menghadapi begitu banyak kesulitan dan kesakitan. Dan dua tahun hidup sebagai istri prajurit membuatnya mengerti bahwa hal buruk bisa terjadi kapan saja.

“Pesawatnya jatuh,” jawab Xin pelan.

“Dan kau tak bisa membawa jenazahnya pulang?” ia terlihat biasa saja, meskipun Xin tahu, Jani sangat terguncang.

“Besok akan sampai di sini. Tapi Moscow ingin dia dimakamkan di sana.”

Hening.

“Aku sudah mengabari Jakarta. Mereka akan sampai besok,” ujar Xin. Ia tahu ini tidak penting tapi tetap saja, ia harus mengatakannya.

Entah reaksi seperti apa yang akan mereka terima nanti.

Hening lagi.

Jani masuk sejenak ke kamar dan kembali dengan mantel panjang. Xin bangkit untuk mengiringi langkahnya tapi perempuan itu menolak. “Aku ingin sendiri Xin,” pintanya.

Xin hanya bisa menatap langkahnya menjauh.

Jani menghirup udara malam yang hangat dengan hati kosong. Dua kali. Dua kali ia kehilangan suami. Dulu Segara, laki-laki yang masuk begitu saja ke dalam hidupnya terbunuh di depan matanya sendiri. Bahkan ia belum bisa melupakan hangat darah Segara di telapak tangannya.

Dan sekarang Angin. Laki-laki yang menghuni hatinya sejak remaja. Begitu panjang perjalanan cinta mereka untuk kemudian bersatu di Crimea. Meninggalkan keluarga dan semua orang yang mereka cintai. Ia baru saja mencecap kebahagiaan itu sebentar.

Membelai perutnya yang mulai membuncit, suara tawa Angin mengiang di telinganya. “Wanita hamil tidak boleh berjalan malam-malam sendirian,” suara itu mengejutkan Jani.

Rasanya seperti berhalusinasi ketika wajah pemilik suara akhirnya terlihat jelas di mata Jani. Tanpa sadar, ia memeluknya. “Xin bilang kau pergi,” sahutnya terisak.

Laki-laki itu memeluknya, membelai rambut sepinggangnya. Mengabaikan tatapan jengkel Xin dari seberang sana. “Aku di sini,” ia menjawab pelan. Lalu membawa Jani kembali ke rumah, memastikan dia tidur dengan baik sebelum menemui Xin yang berdiri dengan mata menyala di depan kamar.

“Jangan keterlaluan!” sentak Xin. “Kau bukan dia! Benar wajah kalian mirip, tapi kau bukan Angin, Drag!”

Dragon terkekeh, “Wah…wah, biasanya kau memanggilku Hyeong,” ujarnya sinis. Xin melengos kesal.

“Kumohon jangan mengacau lagi,” pinta Xin. Dragon menatap adiknya.

“Tidak. Aku sungguh tidak akan mengacau kali ini. Aku hanya tidak ingin melihatnya terpuruk kembali,” mereka duduk di teras rumah, menghadap Laut Hitam yang berkelap kelip dari kejauhan.

Xin terdiam, kehadiran Dragon hanya akan membuat Jani kebingungan. Di saat seperti ini, saat dia terpuruk dalam luka yang begitu dalam, kehadiran Dragon hanya akan membuatnya tak bisa keluar dari lubang dalam itu. Jika pun dia keluar, itu hanya akan jadi sebuah kepura-puraan.

“Aku tidak akan menjadi Angin kali ini. Aku hanya ingin menemaninya dalam kesedihan,” Dragon bangkit. “Jaga dia, aku akan menyiapkan pemakaman.”

“Moscow memintanya, kita tidak bisa membawanya pulang.”

“Kalau begitu, aku akan mempersiapkan perjalanan menuju Moscow,” ujar Dragon, ia menepuk bahu adiknya dan berlalu. Xin menatapnya dengan hati kosong sampai mobil sport Dragon hilang dari jangkauan pandangannya.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel