Bab 6. Sebuah Info
Alena menikmati sarapannya bersama Fardhan dengan perasaan tenang dan damai. Sesekali dia dan Fardhan berbicara, membahas masa lalu mereka yang jika di pikir-pikir lagi sekarang terasa lucu. Maklum saja, enam tahun yang lalu mereka masih cukup muda, belum dewasa sepenuhnya.
Sekarang, secara usia maupun pikiran mereka sudah matang, sudah dewasa. Mereka sudah menghadapi berbagai macam masalah yang semakin mendewasakan sikap juga pikiran.
"Setelah ini, apakah kamu ada rencana lain?" Fardhan bertanya setelah makanan di piring mereka habis. Alena mengangguk lalu meneguk minumannya lebih dulu.
"Aku akan pergi ke perusahaan sepertinya, Mas. Aku sudah mengirim pesan pada sepupu Mas tadi, dan katanya kami bisa bertemu saat makan siang nanti. Jadi sekarang aku ingin melihat situasi kantor lagi. Sekaligus mencari tahu juga jika saja ada yang janggal atau mencurigakan." Alena menjawab dengan jujur. Fardhan mengangguk kecil mendengar itu.
"Aku hanya bisa berharap yang terbaik untukmu, Al. Aku tahu bagaimana rasa sakitnya dikhianati, dan kamu memang pantas mendapatkan keadilan," ujar Fardhan. Alena menatap lekat wajah Fardhan, karena dia belum tahu alasan apa yang membuat Fardhan bercerai dengan Syahla. Dan dari ucapan Fardhan barusan, sepertinya Alena bisa sedikit mengerti.
"Mas, aku belum mendengar cerita apapun darimu. Boleh aku jadi pendengar juga untukmu?" Alena bertanya. Fardhan menatapnya, lalu tertawa pelan.
"Ceritaku tak menarik, Al."
"Aku hanya ingin tahu dan akan mendengarkannya dengan baik." Fardhan terdiam mendengar itu. Dia menghela nafas lalu mengangguk kecil.
"Boleh saja. Bagaimana kalau kita bercerita di mobil saja? Sembari aku mengantarkanmu ke kantor," ucap Fardhan. Alena tersenyum dan mengangguk. Dia pun segera mengeluarkan dompetnya untuk membayar makanan. Namun, Fardhan melarang.
"Aku yang mengajakmu untuk makan. Jadi aku yang traktir," ucap Fardhan. Alena tertawa kecil mendengarnya. Tak menolak, Alena akhirnya membiarkan Fardhan membayar makanannya. Setelah urusan di restoran tersebut selesai, Alena dan Fardhan pun berjalan beriringan keluar dari sana. Mereka berjalan mendekati mobil Fardhan dan segera masuk ke dalamnya.
"Aku tak menyangka Mas Fardhan akan sampai bercerai dengan Syahla. Kalian sangat serasi," ucap Alena seraya memasang sabuk pengaman.
"Semua orang mengatakan hal yang sama sepertimu, Al. Hanya saja ya, kamu tahu kalau di dunia ini tak ada yang sempurna, termasuk diriku," balas Fardhan. Tangannya bergerak memutar kunci, menghidupkan mesin mobilnya.
"Kesuburanku bermasalah, dan itu membebani Syahla. Orang-orang menyalahkan Syahla yang tak kunjung hamil, padahal yang bermasalah adalah diriku. Syahla tertekan dengan masalah ini, hingga akhirnya dia memilih jalan yang cukup menyakitkan bagiku, agar aku bisa melepaskannya." Cerita Fardhan memang singkat, namun Alena tahu betul bagaimana sakitnya.
"Aku tidak bisa menyalahkan Syahla, karena aku tahu bagaimana sakitnya dicerca tak bisa hamil. Hanya saja mungkin Syahla mengambil langkah yang salah."
"Aku tahu itu. Mungkin, aku juga salah karena terus berusaha menggenggamnya, sedangkan dia ingin segera lepas dariku. Sampai dia mengaku hamil dengan pria lain pun, aku masih berusaha mempertahankannya. Dan ternyata hatiku tak sekuat itu menerima fakta kalau dia sudah disentuh pria lain, bahkan sedang mengandung anak pria lain. Akhirnya kami bercerai. Aku memutuskan untuk melepaskannya saja. Semoga saja sekarang dia sudah mendapatkan kebahagiaan yang dia impikan," lanjut Fardhan. Sorot matanya tak bisa berbohong, kalau semua itu masih terasa sakit walau sudah berlalu cukup lama. Alena menghela nafas pelan mendengar itu. Dia sedang berada di posisi Syahla, juga sedang di posisi Fardhan. Dan itu sangat menyakitkan. Irham tak benar-benar mendukung dirinya yang sulit hamil, dan malah memiliki anak dari wanita lain.
"Setiap orang berhak bahagia, Mas. Dan aku berharap Mas segera menemukan orang yang bisa menerima Mas Fardhan apa adanya," ujar Alena dengan lembut. Tangannya bergerak menyentuh lengan Fardhan dan mengusapnya pelan. Dia tersenyum, berusaha membuat suasana tak terlalu suram dan sedih.
"Terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku, Al. Aku merasa sedikit lega sekarang." Fardhan berucap. Alena tertawa pelan mendengarnya. Padahal dia tak melakukan apapun selain mendengarkan saja.
"Oh ya, kamu dan Gea sudah janjian bertemu kan? Boleh nanti aku ikut pertemuan kalian?" Fardhan bertanya. Mobilnya sudah dekat dengan area perusahaan ayah Alena, dan Fardhan memilih memarkirkan mobilnya sedikit jauh dari area kantor.
"Tentu saja, Mas. Nanti aku hubungi lagi. Mungkin kita bisa menemui Gea bersamaan," jawab Alena. Dia tak terlihat keberatan sama sekali. Alena melepaskan sabuk pengaman lalu menatap Fardhan lagi yang berada di sampingnya.
"Terima kasih sudah mengantarku, Mas. Sampai jumpa nanti siang." Alena berpamitan, lalu dia segera keliar dari dalam mobil Fardhan. Fardhan masih tetap diam di tempat, menatap kepergian Alena yang semakin hilang dari pandangan.
Sementara Alena, tanpa mau menunggu apa-apa lagi, langsung masuk ke dalam perusahaan. Sudah cukup lama juga dia tak datang ke sana. Saat datang pun, hanya menemui Irham lalu pergi lagi untuk makan siang.
Sesampainya di dalam kantor, para karyawan langsung menyapa. Walau tidak aktif di perusahaan, para karyawan tetap tahu kalau Alena adalah anak dari pemilik perusahaan, sekaligus istri CEO perusahaan tersebut.
Alena tidak berniat menemui Irham langsung, jadi dia mengunjungi dulu manager keuangan perusahaan. Dia ingin tahu laporan tentang keuangan perusahaan. Berharap saja Irham tidak menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi.
"Selamat pagi, Bu Alena. Lama tidak bertemu." Seorang pria berperawakan jangkung dengan setelan jas rapi berwarna hitam menghadap Alena dan menyapa dengan ramah.
"Selamat pagi juga, Pak Andreas. Perusahaan baik-baik saja kan? Sepertinya aku maupun Papa lama tidak mengontrol keadaan," ucap Alena. Andreas tersenyum mendengar itu dan mengangguk kecil.
"Semuanya baik-baik saja, Bu." Andreas menjawab. Dia lalu mengajak Alena masuk ke ruangannya dan mempersilahkannya untuk duduk.
"Boleh aku minta laporan pengeluaran perusahaan setahun terakhir? Ada yang harus aku cari tahu," ucap Alena. Andreas langsung mengangguk, dan meminta Alena untuk menunggu sebentar. Tak lama, Andreas datang lagi dengan sebuah map di tangannya.
"Ini laporannya, Bu." Andreas menyerahkan map tersebut dan Alena langsung melihatnya. Tak ada yang janggal sama sekali.
"Pak Andreas, apa Anda tahu kegiatan suami saya sejak satu tahun yang lalu? Mungkin saja ada yang tidak saya ketahui," tanya Alena.
"Tidak, Bu. Saya tidak tahu banyak tentang kegiatan Pak Irham. Tapi mungkin, Bu Alena bisa bertanya pada sekretarisnya." Andreas menjawab. Alena manggut-manggut mendengar itu. Dia menutup map di tangannya, dan menyerahkannya pada Andreas.
"Baiklah. Terima kasih," ucap Alena. Dia berdiri, dan berjalan pergi dari sana. Namun sebelum benar-benar keluar dari ruangan, Andreas berucap, membuat Alena berhenti melangkah.
"Saya dengar sekitar tiga bulan yang lalu Pak Irham membeli sebuah rumah menggunakan uang pribadinya. Apa Bu Alena berniat pindah rumah?" Alena terdiam mendengar itu, karena jelas dia tak tahu apapun. Akhirnya dia berbalik, menatap Andreas lagi.
"Kamu tahu suamiku membeli rumah di daerah mana?"