Bab 5. Bertemu Fardhan Lagi
Alena duduk di sofa seraya memakai sepatu hak tingginya yang berwarna putih. Sementara Irham sedang memakai sepatunya. Mereka sedang bersiap-siap, namun sebenarnya mereka tidak akan pergi bersama. Irham akan bekerja, sementara Alena akan pergi bertemu dengan Fardhan.
"Jadi kamu sudah janjian dengan temanmu untuk sarapan bersama?" Irham bertanya seraya mengambil tas kerjanya. Dia memeriksa isinya, memastikan semua dokumen penting ada. Alena sudah sedikit panik, namun sepertinya Irham tidak sadar dengan hilangnya surat mobil.
"Iya teman lama. Kemarin kami tak sengaja bertemu dan kami janjian untuk sarapan bersama hari ini," jawab Alena. Sebenarnya dia tidak berbohong untuk sekarang.
"Begitu kah? Kalian janjian ketemu di mana? Biar aku antarkan ke tempat janjiannya," ujar Irham. Alena menghela nafas pelan lalu berdiri menghadap Irham yang sudah siap untuk segera pergi.
"Tak perlu, Mas. Dia mau datang ke sini sebentar lagi untuk menjemputku." Alena menjawab lagi dengan sangat jujur. Irham manggut-manggut saat mendengar itu. Karena jelas pikirannya sekarang sedang bercabang, jadinya dia kurang fokus.
"Baiklah. Kalau begitu aku berangkat duluan. Bersenang-senanglah dengan temanmu itu. Sudah lama sekali sepertinya kamu tidak bersenang-senang dengan seorang teman," ucap Irham lagi. Alena tersenyum dan mengangguk kecil. Well, Irham tak menanyakan juga apakah teman yang janjian dengan Alena itu seorang perempuan atau laki-laki. Selama Irham tak bertanya, maka Alena pun tak akan memberitahunya.
"Aku pasti bersenang-senang dengannya karena sudah lama tak bertemu," balas Alena dengan sangat yakin. Irham tersenyum mendengar itu. Mereka pun berjalan beriringan keluar dari kamar. Tangan Alena menggandeng lengan Irham dengan mesra, berusaha berpura-pura. Walau sebenarnya, Alena sudah enggan berdekatan dengan Irham.
"Temanmu datang sebentar lagi?" Irham bertanya lagi setelah mereka berada di teras depan. Pintu sudah Alena kunci, dan dia tinggal menunggu jemputan dari Fardhan saja.
"Iya. Mas berangkat duluan saja. Nanti terlambat," ucap Alena.
"Baiklah. Mungkin kalau ada waktu lain kali kamu bisa kenalkan temanmu padaku," balas Irham. Alena tersenyum mendengar itu. Dia menatap Irham dengan senyuman yang sedikit misterius.
"Tentu saja, Mas. Suatu hari nanti aku akan mengenalkannya padamu," ucap Alena. Irham tersenyum lagi mendengarnya. Dia lalu mengecup singkat kening Alena dan berjalan masuk ke dalam mobilnya.
"Aku berangkat kerja dulu. Sampai jumpa nanti," ujar Irham seraya melambaikan tangan. Alena membalas lambaian tangan Irham dan tak lama kemudian mobil Irham pun menghilang dari pandangan. Alena tersenyum tipis, lalu berjalan mendekati gerbang rumahnya. Beberapa menit menunggu, terlihatlah sebuah mobil berwarna silver yang menepi di dekat Alena. Alena tahu siapa pemiliknya, karena kemarin dia juga menaiki mobil tersebut.
Pintu mobil tersebut terbuka, dan keluarlah seorang pria dengan setelan mewah berwarna abu tua. Alena tersenyum melihatnya, dan berjalan mendekati pria tersebut.
"Aku cukup penasaran kenapa Mas Fardhan mau bertemu denganku, bahkan sampai rela menjemputku ke sini," ucap Alena langsung. Fardhan tersenyum, memperlihatkan giginya yang berderet rapi.
"Aku sebenarnya tak memiliki alasan yang khusus. Tapi mungkin, aku bisa menjadi pendengar yang baik," balas Fardhan. Alena tertawa pelan mendengarnya. Ah, manis sekali.
"Suamimu sudah pergi?" Fardhan bertanya seraya melihat ke dalam halaman rumah Alena.
"Iya. Baru saja pergi."
"Suamimu tidak masalah kita bertemu?" tanya Fardhan dengan sebelah alis terangkat. Alena mengangkat kedua bahunya, tidak peduli.
"Aku sudah meminta izin padanya, dan ya dia tidak melarang. Hanya saja, suamiku tidak tahu kalau teman yang aku temui sekarang adalah seorang laki-laki," jawab Alena secara jujur. Fardhan yang mendengar itu malah terkekeh geli.
"Oh wow. Apakah kamu sedang membalas dendam pada suamimu? Tapi rasanya tak buruk juga menjadi selingkuhanmu," ucap Fardhan. Mata Alena melebar mendengar itu, merasa kaget. Jelas dia tak berpikiran ke sana. Tapi, tindakannya sekarang memang seperti orang yang sedang berselingkuh.
"Aku baru sadar tentang itu, Mas. Tapi, biarlah. Toh dia yang memulai semua ini," balas Alena. Fardhan tersenyum lagi mendengar itu. Lalu dia pun mengajak Alena untuk segera masuk ke dalam mobilnya.
***
Fardhan dan Alena sarapan bersama di sebuah restoran yang Fardhan pilih. Alena tak terlalu asing dengan restoran tersebut, karena dia juga pernah ke sana beberapa kali. Hanya saja, Alena ingat kalau restoran tersebut adalah tempat pertemuan pertama dirinya dan Fardhan enam tahun yang lalu saat dijodohkan.
"Apakah ada maksud tertentu hingga Mas mengajakku ke restoran ini?" Alena bertanya dengan sedikit penasaran. Fardhan tersenyum mendengar itu, lalu melihat sekitar.
"Hanya untuk mengingat pertemuan pertama kita saja dulu." Fardhan menjawab dengan jujur. Alena ikut tersenyum mendengarnya. Dia jadi ingat bagaimana kaku dan canggungnya dulu dia pada Fardhan. Alena bahkan ingat seserius apa dulu dia dan Fardhan membuat rencana untuk membatalkan perjodohan.
"Aku sebenarnya cukup sering datang ke sini. Hanya saja, ternyata rasanya agak berbeda jika datang denganmu, Mas," ucap Alena.
"Benarkah? Berarti kita merasakan hal yang sama." Balasan dari Fardhan barusan berhasil membuat Alena tertawa renyah. Sungguh, untuk sekarang dia lupa pada sakit hatinya. Dia lupa kalau rumah tangganya sedang bermasalah. Dan mengherankan lagi, interaksinya bersama Fardhan terlihat sangat alami, seolah mereka sudah lama bertemu dan sering bersama.
"Jadi, kamu sudah mendapatkan bukti apa saja?" Fardhan bertanya seraya menatap Alena dengan lekat.
"Foto-foto mereka. Baru itu saja. Aku harus mencari tahu hubungan apa sebenarnya antara mereka. Tapi, aku yakin sekali kalau Mas Irham menikahi perempuan itu secara diam-diam," jawab Alena. Helaan nafas panjangnya memperlihatkan bagaimana kacau hatinya sekarang. Semuanya sudah berubah. Rasa cinta yang tulus kini berubah menjadi sebuah perasaan kecewa, marah dan dendam.
"Kamu tidak menemukan bukti yang lain?" tanya Fardhan. Alena pun menggeleng lemah.
"Aku yakin dia menyembunyikan surat-surat yang penting. Semalam aku hanya mengambil surat mobilnya saja. Aku akan mengubah nama kepemilikan," jawab Alena lagi. Fardhan mengangguk kecil mendengar itu. Sebagai orang yang pernah diselingkuhi juga, Fardhan tahu bagaimana keadaan hati Alena sekarang. Perbedaannya adalah, dulu Fardhan tak harus banyak mencari bukti apapun. Berbeda dengan Alena yang memang harus mengumpulkan bukti sebanyak mungkin sebelum melaporkan suaminya ke polisi dan masalah ini masuk ke meja hijau.
"Kamu tidak bisa mencari tahu semuanya sendirian, Al. Mungkin kamu bisa membayar orang untuk memata-matai suamimu. Dengan keadaan yang seperti ini, menurutku kamu harus terjun mengurus perusahaan ayahmu lagi. Jangan sampai kamu semakin lengah, karena bisa saja Irham merampas segalanya," ujar Fardhan, memberikan sebuah saran. Alena terdiam mendengar itu. Ada benarnya perkataan Fardhan barusan. Dia harus kembali masuk ke perusahaan dan memantau semuanya. Satu hal lagi, dia harus terap bersandiwara di depan Irham agar jangan sampai suaminya tersebut tahu kalau sebenarnya Alena sedang berusaha menendangnya tanpa membawa apapun.
"Sepertinya aku memang harus mencari orang yang bisa aku percaya. Atau mungkin, Mas Fardhan punya kenalan yang bisa dipercaya?" Alena bertanya. Fardhan tersenyum dan mengangguk pelan.
"Ada, sepupuku. Seorang perempuan, namanya Gea. Kemampuannya mencari tahu banyak hal juga memata-matai orang tak perlu kamu ragukan lagi." Fardhan menjawab. Alena terlihat bersemangat saat mendengar itu.
"Boleh aku bertemu dulu dengannya, Mas?" tanya Alena.
"Tentu saja. Aku akan kirimkan nomornya padamu. Kamu bisa langsung menghubungi dia. Katakan saja kita saling mengenal," jawab Fardhan. Alena mengangguk dengan semangat. Saat ponselnya berbunyi, Alena segera mengeceknya. Nomor perempuan bernama Gea yang dikirimkan oleh Fardhan barusan. Alena tersenyum, tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya karena bantuan dari Fardhan. Alena menatap Fardhan dengan lembut dan melemparkan senyuman yang manis.
"Terima kasih sudah mau membantuku, Mas."