Bab 7. Bertemu Gea
"Mas, kita bertemu di restoran. Aku diantar oleh suamiku."
Alena mengirim pesan tersebut pada Fardhan, agar Fardhan tidak menjemputnya dan menunggu saja di restoran bersama dengan Gea. Tanpa menunggu lama, Fardhan pun membalas pesannya. Alena lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas saat Irham datang mendekat.
"Mau berangkat sekarang?" Irham bertanya. Alena tersenyum dan mengangguk singkat. Mereka pun berjalan mendekati mobil dan segera masuk ke dalamnya. Ah, Alena jadi ingat kalau dia harus mengurus pergantian nama kepemilikan mobil itu secepatnya.
"Mas mau ikut makan siang bersamaku dan teman-temanku? Sekalian kalian kenalan," ajak Alena. Matanya menatap lekat pada Irham yang duduk di sampingnya. Penasaran, Irham akan memberikan respon bagaimana.
"Mas ingin sebenarnya. Tapi siang ini Mas juga sudah ada janji dengan teman Mas. Besok-besok saja bagaimana?" Alena mendesis dalam hati mendengar itu. Santai sekali Irham saat berkata seperti itu, padahal Alena tahu kalau Irham berbohong. Pasti suaminya itu akan menemui wanita selingkuhannya.
"Begitukah? Baiklah. Tak masalah." Alena tersenyum, berusaha memperlihatkan diri yang baik-baik saja. Padahal rasa pedih itu kembali hadir dalam hatinya, saat sekarang dia sadar kalau Irham mulai memprioritaskan selingkuhannya.
Selama di perjalanan, Alena maupun Irham tak bicara. Ponsel Irham terdengar berbunyi beberapa kali, menandakan pesan yang masuk, namun Irham mengabaikannya. Alena yakin yang mengirim pesan adalah Indah, selingkuhan Irham. Makanya Irham mengabaikan pesan itu di depannya, karena takut ketahuan.
Beberapa menit di perjalanan, akhirnya mobil Irham sampai di depan restoran yang menjadi tempat pertemuan Alena bersama Fardhan dan Gea. Alena turun dari mobil, mengajak Irham untuk masuk sebentar ke dalam restoran dan menyapa temannya. Namun, Irham menolak dengan alasan buru-buru. Alena merasa kesal mendengarnya. Akhirnya dia langsung pergi dari hadapan Irham tanpa berpamitan.
Sesampainya di ambang pintu restoran, Alena berhenti sesaat. Dia memejamkan mata, berusaha menetralkan detak jantungnya yang cepat karena rasa marah barusan. Setelah di rasa emosinya berkurang, Alena kembali melangkah. Dia tersenyum, saat matanya langsung bisa melihat keberadaan Fardhan.
"Hai. Maaf sudah membuat kalian menunggu," ucap Alena setelah duduk di meja. Gea, sepupu Fardhan yang akan bekerja sama dengan Alena tersebut memasang sebuah senyuman.
"Tak masalah. Kami juga baru beberapa menit di sini, belum lama," jawab Gea.
"Al, pesan makanan dulu. Aku dan Gea sudah memesan lebih dulu," ucap Fardhan dengan suara lembutnya. Alena tersenyum dan mengangguk. Dia membuka buku menu, sedangkan Fardhan memanggil pelayan. Gea yang duduk di hadapan mereka menatap Fardhan dengan lekat. Senyum geli terukir di bibirnya, saat dia sadar kalau Fardhan menatap Alena dengan tatapan yang tak biasa.
Selesai memesan makanan, Alena pun menyimpan buku menu di atas meja. Lalu dia menegakkan punggung, menatap Gea yang memang sudah menunggunya untuk bicara.
"Fardhan bilang kamu sedang butuh bantuanku untuk memata-matai seseorang. Kalau boleh tahu, siapa yang harus aku mata-matai?" Gea langsung bertanya pada inti, tanpa basa-basi.
"Suamiku. Dua hari yang lalu aku melihatnya di rumah sakit dengan seorang wanita yang sedang menggendong bayi. Aku yakin sekali kalau suamiku sudah berselingkuh dariku. Entah mereka sudah menikah atau belum, aku juga tidak tahu." Alena menjawab. Gea manggut-manggut pelan mendengar itu.
"Kamu mengenal wanita selingkuhan suamimu itu?" Gea bertanya lagi. Alena pun langsung menggeleng.
"Tidak. Tapi, nomornya di ponsel suamiku di namai Indah. Entah itu memang namanya atau hanya sebuah sebutan kesayangan," jawab Alena lagi. Alena lalu merogoh tasnya, mengambil ponsel dan memperlihatkan foto-foto Irham bersama Indah pada Gea.
"Rupanya kamu punya foto mereka. Baguslah, aku tak akan terlalu kesulitan mencari tahu tentang mereka. Kamu kirimkan saja satu foto mereka agar aku mengenali wajah mereka," ujar Gea. Tanpa menunggu, Alena pun langsung mengirimkan foto barusan pada Gea.
"Boleh aku tahu jadwal kepergian suamimu? Agar mudah untuk mengikutinya," tanya Gea lagi. Alena mengangguk dan mulai menyebutkan jam-jam kegiatan Irham. Mulai dari berangkat kerja, jam istirahat, sampai jam pulang kerja.
"Oh ya. Tadi manager keuangan di perusahaan berkata kalau suamiku membeli sebuah rumah tiga bulan yang lalu di kawasan ini. Mungkin kamu bisa mendatangi rumah tersebut." Alena berujar seraya menyerahkan secarik kertas pada Gea. Gea membaca alamatnya dengan alis yang bertaut.
"Wah, kebetulan ya. Ini adalah kawasan perumahan tempat tinggal pacarku." Gea berkata dengan senyuman lebar, tahu kalau tugas yang diberikan oleh Alena akan semakin mudah dia lakukan.
"Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Mungkin pacarmu bisa tahu informasi tentang rumah itu sedikit," balas Alena. Gea menatap Alena dan tersenyum lebar. Ini adalah sebuah kasus perselingkuhan. Selain mendapatkan bayaran, Gea juga senang bisa membantu para istri yang disakiti suaminya. Dia senang para istri mendapatkan keadilan karena sudah dikhianati.
Pelayan datang, membawakan makanan untuk mereka. Mereka pun mulai menyantap makanan mereka seraya tetap membahas rencana yang akan dilakukan Alena. Gea paham, dan dia pun akan berusaha mencari informasi sedetail mungkin, agar memudahkan Alena membalas dendam nantinya.
***
Selesai makan siang, Gea pamit pergi dulu. Dia bilang akan berkunjung ke rumah pacarnya, sekaligus mencari tahu tentang rumah yang dibeli oleh Irham. Dan Alena senang karena Gea bergerak dengan cepat. Padahal dia belum memberikan uang sepeser pun pada Gea.
Gea pergi lebih dulu meninggalkan Alena berdua dengan Fardhan. Dia tahu dari tatapan Fardhan pada Alena, hingga memilih segera pergi agar mereka bisa berduaan. Well, Gea tak tahu apakah Fardhan dan Alena terlibat perasaan secara emosional atau tidak, yang jelas Gea tahu kalau tatapan Fardhan pada Alena tidaklah biasa.
Sekarang, Fardhan dan Alena hanya berdua saja. Makanan mereka juga sudah habis, dan Fardhan kembali membayar makanan mereka. Padahal Alena sudah menolak.
"Orang tuamu bagaimana kabarnya, Al?" Fardhan bertanya. Mereka berjalan beriringan keluar dari restoran karena sudah selesai urusan di sana.
"Baik-baik saja, Mas. Setelah perusahaan di pimpin oleh Mas Irham, orang tuaku memutuskan pindah ke Bandung. Ingin menikmati masa tua di desa katanya," jawab Alena.
"Begitu kah? Kupikir mereka masih di Jakarta."
"Tidak, Mas. Karena itulah, aku agak sedikit tenang. Semoga saja orang tuaku tidak tahu apa-apa tentang masalah ini. Memang sih, suatu hari nanti mereka juga akan tahu. Tapi, sebelum mereka mengetahui masalah pernikahanku, aku ingin menyelesaikan semuanya terlebih dahulu," ujar Alena. Fardhan mengangguk mendengar itu, paham maksud Alena.
"Kamu harus kuat, Al. Aku yakin kamu bisa melewati ini semua." Fardhan berucap, berusaha menguatkan. Tangannya bergerak menyentuh kepala Alena dan mengusapnya dengan lembut. Alena terpaku, menatap mata Fardhan tanpa berkedip.
Fardhan tertawa pelan melihat reaksi Alena yang menggemaskan baginya. Sebelum Alena sadar dari rasa kagetnya, Fardhan langsung meraih tangan Alena dan menggenggamnya dengan erat.
"Ayo kita pergi."