7. Menunggu
"Apakah Aaric memperlakukanmu dengan baik?"
"Kenapa Kakek bertanya seperti itu?" Ellaine sedikit heran dengan pertanyaan kakeknya.
"Kemarin Ibu mendengar beberapa wanita bergosip tentangmu dan Aaric. Salah satu dari mereka ada di restoran yang sama denganmu, tapi saat itu kau duduk dengan Krystal, sedangkan Aaric duduk di tempat lain dengan Shanon." Irene menjawab pertanyaan yang diarahkan putrinya pada sang kakek. "Wanita itu juga mengatakan bahwa kau dan Aaric terlihat sedang berdebat. Lalu Aaric kembali ke sisi Shanon dan beberapa waktu kemudian Aaric membawa Shanon meninggalkan restoran."
Jika sudah seperti ini Ellaine tidak bisa menyembunyikan kebenarannya lagi. Pada akhirnya ia masih tetap membuat orangtua dan kakeknya mengkhawatirkannya.
"Kakek, Ayah dan Ibu tidak perlu mengkhawatirkanku. Pertengkaran kecil di dalam sebuah hubungan adalah sesuatu yang wajar." Ellaine mencoba menenangkan tiga orang yang sangat ia sayangi di dunia ini.
"Ell, jika Aaric tidak memperlakukanmu dengan baik, atau pria itu mengkhianatimu, sebaiknya kau memutuskan hubungan dengannya. Dengar, Sayang, ada begitu banyak pria di dunia ini yang ingin menjadi pasanganmu. Kakek tidak bisa menerimanya jika kau disia-siakan oleh Aaric." Albert menatap Ellaine penuh kasih sayang. Pria tua itu bukan tidak pernah mendengar rumor mengenai Aaric yang memiliki hubungan dekat dengan Shanon, tapi Ellaine dengan cepat meyakinkannya bahwa hubungan Aaric dengan Shanon hanya sebatas kakak adik.
Ellaine juga telah menjelaskan kenapa Aaric begitu dekat dengan Shanon, itu karena janji Aaric terhadap kakak Shanon.
Sejujurnya ia masih tidak bisa menerima bahwa pasangan cucunya juga memperhatikan wanita lain, tapi karena ia tahu bahwa cucunya sangat mencintai Aaric maka ia mencoba untuk mengerti.
Ia pikir selama cucunya bahagia ia bisa mentolerir hubungan Aaric dengan Shanon.
Tidak hanya kakek Ellaine yang berpikir seperti itu, tapi juga orangtua Ellaine. Bagi mereka kebahagiaan putri mereka adalah hal yang sangat penting.
"Aku mengerti, Kakek." Ellaine menerima nasehat dari kakeknya.
"Ell, kau adalah satu-satunya anak kami, ayah dan ibu menginginkan yang terbaik untukmu. Kami membesarkanmu dengan kasih sayang dan cinta yang tidak terbagi, jadi kami juga ingin siapapun pasanganmu kelak harus bisa mencintaimu seperti yang kami lakukan.
Putri kami adalah permata berharga kami, tidak ada satu pun pria di dunia ini yang boleh menyia-nyiakannya dengan mementingkan wanita lain."
Hati Ellaine menghangat mendengar kata-kata ayahnya, tapi di sisi lain ia juga merasa sedih. Keluarganya memperlakukannya seperti permata yang sangat berharga, tapi bagi pria yang sangat ia cintai, ia tidak lebih penting dari seorang Shanon.
Bertahun-tahun ini ia telah membodohi dirinya sendiri dengan berpikiran bahwa ia bisa terus bertahan dengan sikap Aaric terhadapnya. Rupanya, bertahan dalam situasi itu sama dengan membunuh hatinya secara perlahan-lahan. Ia sekarat karena ilusi yang ia bangun sendiri.
"Sayang, Ayah dan Kakek serta ibu bukan ingin mencampuri urusanmu, tapi kami hanya tidak ingin bertahan dalam sebuah hubungan yang menyakitimu." Irene menambahkan.
"Aku mengerti, Kakek, Ayah, Ibu. Jika Aaric tidak cukup layak untukku, aku pasti akan memutuskan hubunganku dengannya." Jika Ellaine tidak sampai pada batasnya, ia pasti tidak akan mendengarkan nasehat dari keluarganya, tapi saat ini ia sudah cukup sadar bahwa perasaannya berharga untuk disia-siakan oleh Aaric.
Namun, saat ini ia masih belum bisa memutuskan apakah ia akan mengakhiri hubungannya dengan Aaric segera atau mencoba memperbaiki keretakan hubungan mereka.
Untuk saat ini ia ingin berpikir dengan tenang agar ke depannya ia tidak akan menyesali keputusan yang ia ambil.
**
Dua minggu berlalu, Ellaine melakukan hal yang sama seperti beberapa waktu lalu. Ia tidak menghubungi atau mencari Aaric sama sekali.
Tidak seperti sebelumnya, dua minggu ini tidak terasa terlalu sulit bagi Ellaine. Mungkin karena ia sudah mulai mencoba untuk melepaskan Aaric. Jadi, hari-harinya berjalan tidak terlalu menyiksa.
Seperti Ellaine yang tidak menghubungi Aaric, Aaric juga melakukan hal yang sama. Pria itu masih tetap pada pemikirannya bahwa Ellaine pasti akan datang mencarinya.
Pria itu tidak mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Ellaine sama sekali. Seperti ia tidak pernah menyakiti hati Ellaine.
Ego Aaric membuatnya bersikap seolah hari-harinya berjalan seperti biasa. Seperti tidak ada yang hilang darinya.
Ketika Ellaine terus menyibukan diri dengan pekerjaan dan bepergian ke berbagai tempat seperti robot, Aaric masih ditemani oleh Shanon yang terus mencari alasan untuk menemui Aaric.
Selama dua minggu itu Shanon menunjukan perhatiannya pada Aaric, menggantikan posisi Ellaine yang biasanya memperhatikan Aaric.
Sesekali Aaric melihat Shanon dengan cara berbeda, bersama Shanon ia merasa dibutuhkan. Nalurinya sebagai pria muncul untuk melindungi Shanon yang lemah lembut, tidak seperti Ellaine yang terlalu mandiri dan bisa melakukan semuanya sendiri.
Hari ini Aaric datang ke galeri seni milik Shanon, pria itu kebetulan memiliki urusan di dekat galeri Shanon, jadi ia memutuskan untuk mampir setelah urusannya selesai.
Aaric bersandar di dinding, memperhatikan Shanon yang saat ini sedang melukis dengan serius. "Lukisan yang indah."
Shanon terkejut mendengar suara Aaric, wanita itu segera memiringkan wajahnya dan menemukan Aaric dengan setelan jas berwarna abu-abu sedang tersenyum padanya.
"Aaric." Ia segera berdiri dan melangkah menuju Aaric. "Kenapa kau tidak memberitahuku jika kau ingin datang ke sini?"
"Aku kebetulan berada di dekat sini, jadi aku memutuskan untuk mampir."
"Ah, seperti itu." Shanon bersuara paham. "Duduklah, aku akan mencuci tanganku terlebih dahulu."
"Ya." Aaric melangkah menuju ke sofa. Sementara Shanon pergi ke toilet untuk mencuci tangannya.
Beberapa saat kemudian Shanon selesai, wanita itu mendekati Aaric. "Apa yang ingin kau minum?"
"Tidak perlu repot."
"Aku akan membuatkanmu kopi, tunggu sebentar."
"Ya." Aaric tidak bisa menolak Shanon.
Shanon keluar dari ruangannya lalu kembali sana dengan secangkir kopi favorit Aaric. "Kopimu." Shanon menyerahkan kopi itu langsung ke Aaric.
Saat Aaric hendak meraih cangkir itu, tiba-tiba saja cangkirnya terjatuh, kopi yang sedikit panas itu mengenai punggung tangan Shanon.
Suara ringisan Shanon terdengar segera. Aaric terlihat panik, pria itu segera meraih tangan Shanon dan memeriksanya.
"Apakah sakit?"
"Tidak apa-apa, airnya tidak terlalu panas. "
Aaric meniup tangan Shanon dengan lembut. "Apakah kau ingin pergi ke rumah sakit?"
"Tidak perlu. Dokter akan mentertawakanku jika aku pergi ke rumah sakit hanya karena terkena tumpahan kopi yang tidak terlalu panas."
"Namun, tanganmu berharga."
"Itu hanya sedikit merah, akan segera sembuh dengan diolesi obat."
"Di mana obatnya?"
"Ada di laci meja kerjaku."
Aaric segera melangkah ke sana, mengambil obat yang dibutuhkan oleh Shanon lalu kembali ke sisi Shanon. Pria itu meraih tangan Shanon lalu mengolesi obat di sana.
"Aku akan membuatkan lagi kopi untukmu."
"Tidak perlu." Kali ini Aaric menolak. "Air mineral saja sudah cukup."
"Baiklah kalau begitu."
Shanon duduk di sebelah Aaric, lalu kemudin menyadari bahwa jas Aaric sedikit basah karena kopi yang ia tumpahkan.
"Aaric, jasmu basah."
Aaric melihat ke jasnya, pria itu juga baru menyadarinya. "Tidak apa-apa, aku membawa pakaian ganti di mobil." Pria itu kemudian membuka kancing jasnya lalu menghubungi asisten pribadinya.
Tidak butuh waktu lama, asisten Aaric datang membawakan jas baru.
"Biar aku bantu." Shanon membantu Aaric masang jasnya. Posisi wanita itu kini berada sangat dekat dengan Aaric.
Jantung Shanon berdebar kencang, aroma tubuh Aaric begitu memikat. Ia memiliki keinginan untuk membuka semua pakaian Aaric sekarang. Namun, akal sehatnya mencegahnya melakukan hal itu.
Aaric mungkin akan berpikir bahwa ia wanita perayu jika ia melakukan hal itu.
"Sudah selesai." Shanon selesai mengancingkan jas Aaric.
"Terima kasih."
"Itu bukan apa-apa." Shanon tersenyum manis.
Aaric berada di galeri Shanon selama beberapa saat, tapi itu tidak lama karena Aaric memiliki jadwal yang padat.
Shanon menyentuh punggung tangannya setelah Aaric keluar dari ruangannya. Senyum bahagia tampak di wajah wanita itu.
Ia yakin Aaric juga memiliki perasaan yang sama dengannya, jika tidak kenapa Aaric bisa begitu perhatian padanya. Aaric pasti hanya keliru berpikir bahwa pria itu hanya menganggapnya sebagai adik. Ia perlu menyadarkan Aaric tentang perasaannya sendiri.
**
Kylian melihat ponselnya lagi, tapi tidak ada pesan masuk atau panggilan di sana. Pria itu tersenyum konyol. Ia telah melakukan hal ini selama beberapa hari. Tidak pernah sebelumnya ia menunggu seseorang menghubunginya.
Sudah dua minggu berlalu, tapi Ellaine tidak datang ke tempatnya bekerja atau menghubunginya. Apakah mungkin Ellaine tidak ingin menggunakan jasanya lagi karena terakhir kali ia menasehati wanita itu?
Wanita tangguh seperti Ellaine mungkin tidak mau menerima masukan dari orang lain mengenai hidupnya sendiri.
"Apakah aku harus menghubunginya terlebih dahulu? Tapi apa yang harus aku katakan? Meminta maaf?" Kylian bermonolog. Detik berikutnya pria itu menggelengkan kepalanya. Ellaine mungkin tidak akan senang jika ia menghubunginya lebih dahulu.
Lalu, apa yang sebenarnya harus ia lakukan? Menunggu saja seperti ini? Kylian mulai frustasi. Rupanya seperti ini rasanya menunggu sesuatu yang tidak pasti. Sangat tidak menyenangkan.
"Sial!" Kylian akhirnya mengumpat karena kesal.
"Menunggu wanita itu menghubungimu, Kylian?" Axelion mendekati Kylian. Pria itu sudah melihat sahabatnya yang melihat ke layar ponselnya sembari bicara sendiri.
"Sejak kapan kau ada di sini?" Kylian balik bertanya. Ia tidak melihat Axelion datang mendekatinya.
"Baru saja." Axelion duduk di depan Kylian. "Tampaknya seorang Kylian benar-benar dicampakan. Aku sangat penasaran wanita mana yang bisa memperlakukan seorang Kylian Lannister seperti lelaki tidak berharga."
Apakah isi pikirannya bisa dibaca dengan mudah oleh orang lain? Kenapa Axelion bisa tahu bahwa saat ini ia sedang menunggu Ellaine menghubunginya.
"Sepertinya kau senang melihat temanmu seperti ini."
Axelion terkekeh geli. "Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku harus jujur. Ya, aku sedikit senang. Akhirnya ada seseorang yang bisa membuat seorang Kylian sama seperti pria lain pada umumnya."
Kylian menatap Axelion bengis. Sepertinya ia telah salah memilih sahabat. Sudahlah, tidak ada gunanya menyesali hal ini.
"Kenapa kau datang ke sini?"
"Aku hanya merindukanmu."
"Kau menjijikan!"
Axelion terkekeh geli. "Kau harus datang ke acara ulang tahun perusahaanku besok malam."
"Ada atau tidak adanya aku di sana tidak akan begitu berarti untuk acara perusahaanmu, Axel."
"Kau sudah ada di kota ini, jadi tidak ada alasan bagimu untuk tidak datang."
Sebelumnya Kylian tinggal di luar negeri dan baru satu tahun ini ia kembali, berbeda dengan Axelion yang sudah kembali ke kota kelahiran mereka lebih dahulu dari Kylian.
"Apakah kau sedang menunjukan sisi dominanmu, wakil CEO Axelion?"
"Mana mungkin aku berani melakukannya pada penerus Lannister."
Kylian mendengkus. Ia tidak suka pesta seperti itu, tapi karena ia sudah ada di kota ini, maka ia akan datang ke acara ulang tahun perusahaan Axelion.
Ia sendiri sering tidak datang di acara perusahaan keluarganya, karena ia merasa terlalu merepotkan berurusan dengan orang-orang di dunia bisnis. Ia benci terlalu banyak berbasa-basi, itu akan menguras energinya.
tbc