Bab 3
Orang ini adalah adik kembarku, Jane Kalista.
Sejak aku bisa mengingat, aku dan adikku tinggal di panti asuhan.
Wajah kami sama, tapi mulutnya manis dan diadopsi saat berusia enam tahun.
Sementara aku baru meninggalkan panti asuhan pada usia delapan tahun.
Setelah membeli ponsel, hal pertama yang aku lakukan adalah mencari kontak adikku dari kepala panti asuhan.
Namun tidak peduli berapa banyak pesan yang aku kirim, tetap tidak ada balasan.
Perlahan-lahan aku berhenti berusaha mengirimkan pesan untuk adik.
Bagaimanapun juga hidup kami sudah jauh berbeda sekarang, aku dan dia sudah tidak lagi menempuh jalan yang sama.
Kami harus menghormati hidup yang dipilih masing-masing.
Aku juga tidak pernah khawatir adikku akan hidup susah. Bagaimanapun juga waktu itu dia diadopsi oleh sepasang suami istri kaya yang penuh kasih. Jadi bisa memberikan dukungan mental dan materi yang cukup baik padanya.
Jika benar orang di buku nikah itu adikku, kenapa dia memilih pasangan yang emosional dan tampangnya biasa-biasa saja ini?
Apakah adik selingkuh? Di mana dia sekarang?
Berbagai pertanyaan membuatku bingung.
"Kalian pasti salah orang, aku bukan istri pria ini, kami hanya kebetulan mirip saja ...."
Kalimatku masih belum selesai, tapi dihentikan efek suara dari hadiah besar.
Silent Love yang telah memberikan tiga roket muncul lagi.
Kali ini dia langsung memberikan lima roket sekaligus dan menambahkan keterangan.
"Jangan bertele-tele lagi, lempar dia ke dalam sumur dulu. Kalau masih belum mati juga masukkan ke dalam keranjang bambu untuk ditenggelamkan dan aku akan tambah lima roket lagi kalau berhasil."
Kata-kata ini agak ekstrem, membuat pria itu sedikit ragu.
Bagaimanapun juga dia sebenarnya hanya ingin menangkap perselingkuhan, bukan mau menyebabkan kematian.
Kalau benar-benar membunuh orang, meski ada uang pun juga tidak bisa dipakai.
Orang itu berkata lagi seolah bisa melihat keraguan pria itu.
"Begini saja, Adik. Aku tidak bermaksud menyulitkanmu, aku hanya ingin membantumu meluapkan kemarahan."
"Beberapa tahun lalu aku juga dikhianati seorang wanita dan merasa marah saat melihat wanita seperti itu."
"Begini saja, kamu lakukan saja dan aku akan tanggung kalau terjadi sesuatu yang buruk dan aku berikan 100 roket kalau kamu selesai melakukannya."
"Bagaimana, mau lakukan atau tidak?"
Seratus roket.
Satu roket di ruang siaran langsung hampir seharga 1,4 juta. Setelah dipotong platform, pria itu setidaknya bisa mendapatkan 600 juta.
"Hehe, Kakak sungguh baik, aku akan segera melakukannya."
Aku melihat pria itu mendekat dengan takut dan tenaga yang mendadak muncul membuatku langsung berdiri serta berusaha keras berlari ke arah kerumunan.
Namun orang-orang yang menonton langsung mengepung dan menghalangi jalanku.
Aku melihat kerumunan dengan putus asa sambil berlinang air mata.
"Dasar jalang, kamu bahkan berani melarikan diri?"
Sakit luar biasa membuat kulit kepalaku kembali tegang dan rambut yang patah terus terasa. Lalu aku berhenti meronta dengan putus asa.
"Lihat, wanita ini sudah merasa bersalah."
Pria yang berdiri di depanku berteriak sambil menunjuk wajahku.
"Perempuan menjijikkan seperti ini pantas mati!"
Bruk!
Aku dilempar ke dalam sumur dan kedua kaki menimbulkan cipratan di sisa air sumur, lalu terasa nyeri tak tertahankan.
Kakiku patah.
Kedua tanganku berusaha menopang dinding sumur dan tubuhku terus gemetaran.
"Lihat semuanya! Wanita jalang yang berselingkuh harus mendapatkan perlakuan seperti ini!"
Pria itu mengarahkan kamera ponsel padaku dan suara tajam menjadi lebih kencang beberapa kali lipat membuat gendang telingaku sakit.
"Siapa suruh kamu selingkuh! Siapa suruh kamu kabur dari rumah!"
"Sini, lihat ibu jalang kalian!"
Siapa, siapa yang datang?
Aku mengangkat kepala dengan bingung dan bertatapan dengan dua pasang mata.
Pemilik mata itu adalah dua gadis kecil berkulit hitam, dengan rambut berantakan, tapi wajahnya terlihat cantik.
Aku menyipitkan mata untuk memerhatikan mereka.
Wajah kedua gadis kecil ini sama persis, mereka juga kembar.
Mereka mirip dengan adikku dan sama persis dengan aku sewaktu kecil.
Perasaan akrab sekali lagi memberiku harapan dan aku berteriak lantang.
"Nak, bantu ayah kalian lihat, aku bukan ibu kalian, bukan? Aku ...."
"Tidak peduli kamu ibuku atau bukan, kamu harus menjadi ibu kami sekarang."
Salah satu gadis kecil melihatku, lalu memunggungiku.
Gadis kecil satunya melihat kondisiku yang tragis dan merasa sedikit tidak tega.
Dia menoleh dan hendak mengatakan sesuatu, tapi gadis kecil yang sudah pergi sebelumnya menoleh dan berkata lagi.
"Kakak, lebih baik jangan ikut campur, apakah kamu ingin ayah memukulmu lagi?"
Kalimat berisi ancaman berlabuh dan gadis kecil itu terdiam.
Harapanku kembali pupus, membuatku tidak ada lagi tenaga untuk melawan.
Cengkeramanku melemah dan jatuh ke dasar sumur.