Bab 9 Pergi Ke Kampus
Bab 9 Pergi Ke Kampus
Keesokan harinya.
Alleta sudah siap dengan pakaian yang rapi dan tas kecil yang bergelantung indah di bahunya. Tas itu berwarna hitam dan selalu menemani Alleta ke mana pun ia pergi. Sementara itu, Fathan sudah menunggunya. Mereka akan pergi menggunakan taksi, karena Fathan tidak disediakan kendaraan oleh kedua orang tuanya. Terpaksa jika ingin pergi keluar harus memesan taksi terlebih dulu. Alleta lalu menghampiri Fathan yang sedang berada di ruang keluarga.
“Kita berangkat sekarang?” Tanya Alleta.
Fathan terpaku saat melihat tampilan Alleta pagi ini. Tampak sempurna sekali, cantik dibalut oleh polesan make up yang tipis tetapi menunjukkan kalau ia adalah seorang remaja. Alleta merasa aneh karena sedari tadi Fathan tidak berhenti memandangi dirinya. Bahkan sekarang Alleta mulai memperhatikan tubuhnya, takut kalau ada yang salah dan akan membuat dirinya merasa malu.
“Kenapa? Ada yang salah sama tampilan aku.”
Fathan menggelengkan kepalanya, “Tidak. Ya sudah lebih baik kita berangkat sekarang saja. Nanti keburu telat.”
“Tapi tunggu sebentar.” Alleta membuat Fathan terhenti.
“Ada apa lagi?”
Alleta pergi ke dapur, rupanya ia mengambil dua bungkus roti yang kemarin ia beli. Roti itu ia gunakan untuk mengganjal perut, karena pagi ini mereka berdua tidak sempat sarapan.
“Ini, lumayan untuk mengganjal perut.” Alleta memberikan sebungkus roti itu kepada Fathan.
“Untukku?”
“Iya, kenapa kamu tidak suka?”
“Hem, iya sudah. Sekarang kita berangkat karena taksi yang aku pesan sudah datang,” tutur Fathan yang melihat pesan dari taksi online.
Alleta setuju dengan itu, kemudian mereka pergi. Fathan sudah lebih dulu memesan taksi online. Sampainya di kampus, Alleta merasa gembira sekali. Melihat gedung kampus yang berdiri kokoh, serta menjulang tinggi yang sekarang berada di depannya. Alleta sudah tidak sabar untuk segera masuk kuliah.
“Ayo!” Fathan menarik tangan Alleta sehingga membuatnya tertarik mengikuti di belakang.
Tetapi saat Alleta tertarik, tiba-tiba kakinya terkilir. Hampir saja ia terjatuh, tetapi Fathan berhasil menangkap tubuhnya. Mereka berdua nampak seperti sedang berpelukan dalam posisi seperti itu. Untuk beberapa saat, mereka berdua saling berbalas pandang.
Dag. Dig. Dug.
Jantung Alleta berdegub dengan kencang, apalagi sorot mata Fathan begitu intens membuatnya menjadi salah tingkah. Lengan Fathan yang kokoh berhasil menopang tubuh Alleta. Sadar bahwa mereka menjadi bahan tontonan, Fathan segera membantu Alleta untuk menyeimbangkan tubuhnya. Ia kemudian melepaskan pegangan tangannya terhadap pinggang Alleta.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Fathan sedikit khawatir sebab kaki Alleta terkilir akibat ulahnya.
Alleta menggelengkan kepalanya, “Hanya sakit sedikit saja.”
“Biar aku lihat.”
Sekarang Fathan sudah duduk bersimpuh. Ia mengecek keadaan dari kaki yang terkilir. Alleta yang tidak enak hati berusaha untuk mencegahnya tetapi Fathan terus memaksa untuk memeriksa keadaan kakinya.
“Kalau tidak segera dipijat nanti malah jadi bengkak,” ujar Fathan pelan.
“Tapi aku tidak apa-apa, hanya sakit sedikit saja.”
“Ya sudah sekarang kita duduk di sana saja.”
Fathan menunjuk ke arah tempat duduk yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Fathan meraih tangan Alleta lalu melingkarkannya tepat pada lehernya. Ia membantu Alleta untuk berjalan. Lalu setelah itu, perlahan tubuh Alleta duduk pada sebuah kursi berwarna cokelat. Rupanya selain bagus dalam hal gedung, ternyata kampus ini juga menyediakan tempat yang nyaman untuk para mahasiswa bersantai di luar ruangan.
“Biar aku pijat.” Fathan sudah duduk bersimpuh di hadapan Alleta.
Pelan tapi pasti, ia memijat kaki yang terkilir. Karena sakit, Alleta bahkan sampai menjerit. Ia meringis kesakitan. Mendengar hal itu Fathan memelankan pijatannya dan kini hanya terasa seperti sedang mengelus saja.
“Sebentar lagi pasti sembuh,” ujar Fathan yang sekarang duduk di sampingnya.
“Terima kasih,” ucap Alleta dengan senyum tipis di bibirnya.
“Iya sama-sama.”
Fathan mengecek arloji yang ia pakai, sudah siang. Ia harus segera mengurus pendaftaran ulang karena tidak mau buang waktu lama. Akhirnya Fathan memutuskan untuk masuk ke dalam bersama dengan Alleta yang masih merasa sakit. Alhasil, Alleta harus berpegangan pada lengan Fathan agar tidak jatuh.
Fathan mengurus semua yang diperlukan. Bukan hanya dirinya, tetapi gadis yang sudah ia nikahi ini. Fathan mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk biaya daftar ulang mereka berdua, untung saja Farhan memberikan uang yang lumayan banyak sehingga tidak membuat Fathan kebingungan karena kekurangan uang. Farhan memang sengaja mencari tahu di mana kampus anaknya, karena ternyata ia sudah menyiapkan biaya pendaftaran untuk anaknya itu. Cukup lama mereka berada di ruang pendaftaran. Semuanya selesai dengan baik dan tidak kurang suatu apa pun. Kini Fathan dan Alleta keluar dengan raut wajah yang gembira.
“Fathan, terima kasih kamu sudah mengurus semuanya,” ujar Alleta.
“Sudah jangan seperti itu, karena ini juga sudah menjadi kewajibanku sebagai suamimu.”
Mendengar kata itu membuat jantung Alleta bergetar. Karena sampai saat ini, ia masih belum percaya kalau dirinya sudah berkeluarga dengan seorang pria kaya raya. Alleta berpamitan untuk pulang karena sinar matahari terik sekali, menyebabkan hawa panas siang itu.
“Kamu pulang saja dulu, aku akan ke rumah Papa untuk mengambil motor,” ucap Fathan.
“Iya sudah kalau begitu, aku akan lebih dulu pulang ke rumah.”
Fathan mengangguk. Tetapi Alleta tidak kunjung pergi, ia malah diam sambil terus memandang ke arah Fathan. Sementara itu, Fathan sibuk dengan layar ponselnya. Beberapa saat kemudian, ia baru sadar kalau sedari tadi Alleta masih berdiri di depannya.
“Ada apa? Kenapa belum pulang juga?”
Bukannya menjawab, Alleta malah tersenyum. Membuat Fathan menaikkan alisnya.
“Kamu suruh aku pulang jalan kaki?” tanya Alleta dengan suara pelan sekali.
Fathan menepuk dahinya, “Aku lupa. Ya sudah aku pesankan taksi, dan ini uang untuk jaga-jaga.”
Fathan memberikan empat lembar uang berwarna merah kepada Alleta. Ia berpikir kalau itu cukup untuk beberapa hari. Ini kali pertama Alleta menerima uang dari seorang pria yang sudah menjadi suaminya. Sialnya, Alleta lupa membawa dompet sehingga mengharuskan ia meminta uang kepada Fathan. Tetapi Fathan tidak mempermasalahkan hal itu, ia menganggap kalau itu hanyalah hal gampang.
Setelah taksi datang, Alleta pergi. Fathan membiarkan gadis itu pulang sendirian. Di perjalanan pulang, Alleta terus terbayang perlakuan Fathan tadi. Betapa hangatnya sentuhan tangan pria itu, terasa lembut sekali. Bahkan Alleta tidak menyangka kalau Fathan akan berbuat manis seperti itu. Tanpa sadar, sekarang Alleta sudah mengembangkan senyumnya.
“Apa yang kamu pikirkan, Al?” Alleta menepuk dahinya menyadarkan dari lamunannya.
Sementara Pak Supir sejak tadi memperhatikan tingkah laku Alleta yang menurutnya lucu. Bahkan tidak segan-segan Pak Supir terkekeh geli. Alleta jadi malu, ingin sekali rasanya ia menenggelamkan wajahnya untuk menutupi rona yang sekarang memerah di pipinya.
“Pak, berhenti di sini saja.” Alleta menepuk kursi yang ada di depannya.
“Kok di sini? Bukannya masih di depan ya rumah Nona?”
“Aku ingin pergi ke toko itu, biar nanti aku jalan kaki saja, Pak.”
“Oh ya sudah kalau begitu, Non.”
Alleta kemudian turun dari mobil, ia hendak pergi ke supermarket. Karena ia ingin menyiapkan makan malam untuk Fathan. Ia berharap Fathan akan gembira, Alleta menyiapkan ini untuk membalas rasa terima kasih karena Fathan sudah membantu dirinya. Dengan senang hati Alleta berbelanja dengan uang pemberian dari Fathan. Ia membeli bahan-bahan, mulai dari ayam, ikan, sayuran, dan bumbu dapur.
“Semoga saja Fathan suka sama masakan aku,” batin Alleta lalu pergi menuju kasir untuk membayar.
**
Bersambung.