Bab 10 Di Sisi Lain
Bab 10 Di Sisi Lain
Fathan pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang keroncongan karena sejak pagi belum masuk makanan apa pun. Bahkan roti yang diberikan oleh Alleta masih bersemayam rapi di dalam tasnya. Fathan mengedarkan pandangannya, ia mengecek keadaan sekitar kampus yaang tampak ramai sekali oleh mahasiswa lainnya. Saat Fathan hampir sampai kantin, tiba-tiba ia berpapasan dengan seorang pria.
Bahunya bertabrakan dengan bahu pria itu. Membuat Fathan dan pria itu menghentikan langkah kakinya. Fathan menoleh, pria itu terlihat lebih tinggi beberapa centi darinya. Dengan tatanan rambut rapi, dan pakaian yang juga tidak kalah rapi.
“Maaf, aku tidak sengaja,” ujar pria itu tersenyum ramah ke arah Fathan.
“Santai saja, lagi pula aku juga salah, Bro.”
Mereka berdua kemudian berkenalan. Fathan lalu mengetahui namanya adalah Azka. Rupanya ia satu jurusan dengan Fathan. Karena sama-sama mahasiswa baru, jadi obrolan mereka bersambung. Azka kemudian mengajak Fathan untuk makan siang bersama dengan teman yang lainnya.
“Kebetulan sekali, tadinya aku hendak pergi ke kantin,” ujar Fathan.
“Ya sudah sekalian saja kita ngobrol sambil makan siang.” Azka memberikan tepukan di bahu Fathan.
Akhirnya mereka berdua pergi, Azka sudah menentukan tempatnya dan memberi tahu teman-teman yang lain. Saat hendak pergi, Fathan melirik ke arah arlojinya, rupanya siang sudah terlewatkan. Azka membawa Fathan menuju sebuah cafe, mereka sudah terbiasa mengobrol ria di sana. Bahkan para pelayan sudah paham dengan wajah Azka. Memang bisa diakui kalau wajah Azka tidak kalah tampan. Hanya saja tetap lebih tampan Fathan.
Saat sedang menunggu, tibalah dua orang yang menyapa Azka. Tampaknya mereka sudah lama kenal. Fathan lalu berkenalan dengan mereka berdua, dan baru ia tahu kalau nama mereka adalah Adli dan Jerry.
“Kau baru masuk juga?” tanya Adli sambil menyeruput kopi hitam yang ia pesan.
“Iya bisa dibilang begitu.”
“Kita bisa jadi teman nongkrong sekarang,” sahut Azka.
Obrolan mereka begitu akrab, bahkan terlihat beberapa kali mereka semua tertawa terbahak-bahak. Azka meminta nomor ponsel Fathan, dan ia memberikannya. Tidak lupa, Fathan memesan beberapa makanan untuk mereka.
“Tatanan rambutku sudah terlihat tampan atau belum?” tanya Jerry sambil mengusap rambutnya pelan.
“Kau ini, pasti akan menjadi buaya untuk para wanita di kampus.” Adli sudah lama berteman dengan Jerry, makanya ia tahu betul kebiasaan buruk dari Jerry.
“Mencari jodoh itu harus yang berkualitas, supaya anak kita nantinya bisa cerdas,” jawab Jerry sambil tertawa.
“Memangnya kau pintar? Setahuku, nilaimu selalu nomor dua, dari bawah.”
“Enak saja. Kecerdasan anak itu dari gen ibu, maka dari itu kita harus mencari wanita yang cerdas. Ya minimal sedikit lebih di atas kita.”
Mendengar penjelasan Jerry membuat semua yang ada di situ ikut tertawa. Bahkan Fathan juga sempat berpikir tentang Alleta. Ia menghela nafas lega karena yang ia tahu kalau Alleta itu gadis yang cukup cerdas dalam bidang apa pun.
“Untung saja, Alleta itu pintar,” batin Fathan dalam hati.
Tetapi ia langsung menepis pikiran itu. Ia bingung kenapa bisa sampai berpikiran sampai ke sana. Untuk cinta saja Fathan belum bisa, bagaimana bisa berpikir sampai ke masalah anak. Setelah itu mereka melanjutkan perbincangan dalam segala hal, tanpa sadar hari sudah gelap. Dan kini perut mereka sudah terasa kenyang akibat makanan dan minuman yang banyak sekali.
Tak berapa lama kemudian, Fathan pamit untuk pulang. Hampir saja ia lupa untuk mengambil motor di rumah orang tuanya. Tetapi Farhan memberi tahu kalau sudah ada orang yang mengantar motornya ke rumah. Fathan sedikit lega, karena satu pekerjaan selesai dan ia tidak harus pergi. Mengingat hari sudah petang.
**
Sementara itu, Alleta telah menyiapkan semuanya. Terlihat beberapa makanan tersaji indah di atas meja makan. Semua lengkap, ada minuman juga. Alleta menarik nafas dalam-dalam dan mengusap keringat yang keluar di dahinya akibat memasak sedari tadi. Ia juga mmeberikan beberapa lilin agar menambah kesan romantis. Tidak lupa rangkaian bunga mawar merah yang tercium aroma wanginya.
“Huh, akhirnya semuanya selesai. Tinggal nunggu Fathan datang.”
Alleta memutuskan untuk membersihkan tubuhnya terlebih dulu, karena sudah terasa lengket akibat keringat dan noda bumbu masakan. Kali ini Alleta juga sudah mempersiapkan pakaian terbaiknya, intinya ia ingin menorehkan kesan baik di mata Fathan. Sekalian makan malam, yang bisa dibilang dinner pertama.
Setelah selesai membersihkan tubuh, Alleta lalu menunggu kedatangan Fathan di ruang keluarga. Ia menghidupkan televisi untuk mengisi kekosongan agar tidak sepi. Cukup lama Alleta menunggu tetapi Fathan tidak kunjung datang.
“Dia ke mana? Tidak pulang-pulang?” gumam Alleta dalam hati.
Beberapa kali Alleta melirik ke arah jam dinding, sudah menunjukkan pukul 21.00, namun Fathan tidak kunjung pulang juga. Alleta melihat ponselnya, dan tidak ada pesan apa-apa dar Fathan. Ia mulai khawatir, dan secepatnya mengirimi pesan kepada suaminya itu. alleta memutar ponsel menggunakan tangan sambil menunggu jawaban.
“Bahkan pesan aku saja tidak dijawab. Ke mana sebenarnya dia itu?” Alleta terlihat kesal sekali.
Polesan make up sudah mulai luntur akibat kerutan di dahi. Bukannya senang, sekarang Alleta merasa kesal. Hampir berjam-jam Alleta menunggu, namun Fathan tidak kunjung datang. Tiba-tiba rasa kantuk mulai menyerang, berkali-kali ia menguap dan menutupnya menggunakan telapak tangan. Tanpa sadar saat ini Alleta sudah tertidur dengan ponsel yang masih berada di genggamannya.
**
Di tempat lain.
Fathan sudah memesan taksi online tetapi selalu saja menerima penolakan karena rupanya sudah malam dan mereka tidak menerima orderan hingga larut malam. Fathan kebingungan, ia masih berdiri di pinggir jalan dengan hati yang mulai resah. Akhirnya Fathan memutuskan untuk berjalan sampai ia menemukan angkutan umum atau taksi lainnya.
“Sebaiknya aku kasih kabar terlebih dulu kepada Alleta,” ujar Fathan yang kemudian merogoh saku celananya.
Di saat akan membuka layar ponsel, ternyata mati. Fathan lupa karena tidak mengisi daya ponselnya, sedari tadi ia menggerutu tidak jelas. Sial sekali malam ini, sudah tidak mendapat kendaraan di malam hari dan terpaksa harus jalan kaki. Jarak antara rumah dan tempat ia singgah cukup jauh, membuat Fathan kelelahan. Ia berjalan menembus dinginnya malam yang sunyi, hanya ada beberapa kendaraan saja yang melintas di jalan itu.
Saat sedang berjalan, ada taksi yang lewat tepat di depan Fathan. Segera ia melambaikan tangannya, dan taksi itu berhenti. Ia kemudian masuk, dan setelah duduk, Fathan menghela nafas lega. Akhirnya ia pulang tidak harus berjalan kaki lagi.
“Malam-malam begini kenapa jalan kaki, Mas?” tanya Pak Supir.
“Sejak tadi saya mencari taksi, Pak. Tetapi tidak ada yang lewat.”
“Memang kalau jam segini jarang ada taksi lewat daerah sini, Mas.”
Fathan mengangguk faham, pantas saja ia tidak menemukan satu taksi pun sedari tadi. Akhirnya ia bisa duduk dengan tenang, tetapi tiba-tiba. Mobil itu terasa ada yang bermasalah, bergoyang ke kiri dan ke kanan. Fathan mulai panik dan memerintahkan agar Pak Supir menghentikan laju mobil itu. Pak Supir lalu mengecek, dan ternyata ban mobil ada yang bocor.
“Kok bisa bocor, Pak?” Fathan mulai kesal.
“Maaf, Mas. Saya juga kurang tahu. Tapi sepertinya ada yang sengaja menabur paku di jalanan.”
“Ya sudah saya berhenti sampai sini saja, Pak. Terima kasih, ini uangnya.” Fathan merogoh saku celananya dan memberikan selembar uang kepada Pak Supir.
“Sekali lagi saya minta maaf, Mas.” Pak Supir tampak tidak enak hati dan tidak henti-hentinya meminta maaf.
“Tidak apa, Pak. Lagi pula rumah saya juga sudah dekat, jadi saya bisa jalan kaki.”
**
Bersambung.