Bab 8 Tanggung Jawab
Bab 8 Tanggung Jawab
Tak berapa lama setelah itu, Alleta terbangun dari tidurnya. Ia perlahan membuka kelopak matanya, sadar sedang berada di tempat yang nyaman membuatnya terkejut. Alleta baru menyadari kalau sekarang ia sudah berada di atas tempat tidur.
“Kenapa aku bisa ada di sini?” Alleta menggaruk kepalanya bingung.
Karena ia ingat betul kalau dirinya sedang berada di dapur, tetapi sekarang sudah berada di tempat ini. Alleta melihat sekeliling, ia sepeti orang linglung. Karena rasa penat, Alleta menggeliatkan tubuhnya, meregangkan otot-ototnya yang tegang akibat seharian membersihkan rumah. Kemudian Alleta menguap, membuat matanya kembali segar. Ia diam untuk beberapa detik, hingga akhirnya Alleta turun dari tempat tidur dan akan pergi keluar kamar itu.
Terdengar suara televisi, Alleta cukup terperangah ketika mendapati rumah sudah dalam keadaan rapi semuanya. Padahal sebelum tidur, Alleta baru membersihkan beberapa ruangan saja.
“Fathan,” panggil Alleta lirih kepada Fathan yang duduk dan sedang memegangi ponsel di tangannya.
Fathan mendengar itu, ia menoleh dan sudah mendapati gadis itu tengah berdiri. Fathan berjalan menghampirinya, keadaan Alleta masih lusuh karena belum membersihkan tubuhnya sama sekali.
“Kamu sudah bangun?” tanya Fathan yang sekarang berada di hadapan Alleta.
“Sudah. Kamu yang membawa aku masuk ke dalam kamar?”
Fathan menganggukkan kepalanya.
“Apa kamu juga yang membereskan semua ini?”
Kembali Fathan mengangguk.
Alleta menyunggingkan bibirnya, ia pikir kalau Fathan tidak akan perduli. Ternyata ia salah, setidaknya sekarang pekerjaan Alleta sedikit berkurang.
“Aku sudah siapkan makan malam untuk kita,” ucap Fathan.
“Makan malam?” Alleta mengerutkan dahinya.
“Iya, tadi aku pesan dari luar. Kamu mau mandi dulu atau langsung makan? Sepertinya aroma tubuhmu menyengat.” Fathan berlalu meninggalkan Alleta dan kembali duduk di sofa.
Sementara itu, Alleta mencium area ketiaknya. Rupanya apa yang dikatakan Fathan itu benar, sekarang Alleta merasa kalau dirinya perlu membersihkan tubuh. Ia merasa malu sekali, tetapi apa boleh buat. Karena selain mengeluarkan aroma tidak sedap, tubuh Alleta terasa lengket akibat keringat yang ia hasilkan sewaktu membersihkan rumah tadi. Akhirnya Alleta memutuskan untuk pergi ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi, Alleta kembali menghampiri Fathan yang masih setia menunggunya di sofa. Kini penampilan Alleta sudah jauh lebih baik, semerbak wangi sampai memenuhi ruangan itu. Fathan yang sadar akan kedatangan Alleta, spontan menoleh.
“Kamu sudah mandi?” tanya Fathan sambil memasang wajah datar.
“Iya,” jawab Alleta singkat.
“Iya sudah, kita segera makan. Aku sudah lapar.”
Fathan mengajak Alleta untuk makan malam bersama. Awalnya Alleta menolak, tetapi kondisi perutnya tidak bisa dibohongi kalau dirinya juga merasa lapar. Fathan sudah lebih dulu pergi ke meja makan, lalu disusul oleh Alleta dengan rasa ragu. Perlahan Alleta duduk, Fathan sudah mulai menikmati makan malam. Ini adalah pertama kalinya mereka berdua makan bersama. Hanya berdua saja, dan tidak ada orang lain di sana. Alleta terdiam untuk beberapa saat, mengedarkan pandangannya ke arah makanan yang sudah tertata rapi di atas meja makan.
“Kenapa cuma dilihatin saja? Kamu tidak mau makan?” Fathan membuyarkan lamunan Alleta.
“Mau, siapa bilang tidak mau?” Alleta segera meraih makanan itu.
Mereka berdua makan bersama. Seketika suasana menjadi hening, dan hanya terdengar suara gesekan antara sendok dan piring.
“Sejak kapan kamu pulang?” Alleta memecahkan keheningan.
“Tepat ketika kamu sedang tertidur di sana,” jawab Fathan sambil menunjuk ke tempat di mana ia menemukan Alleta tertidur.
“Oh begitu. Aku tadi lelah sekali, tidak sadar sudah tertidur saja.”
“Tidak apa, oiya besok kita akan pergi ke kampus. Untuk daftar ulang, jadi bangun lebih awal,” timpal Fathan.
Mendengar hal itu membuat Alleta bergembira. Akhirnya keinginan untuk berkuliah tercapai juga, semua ini berkat Fathan yang mau membiayai kuliahnya. Alleta mengangguk antusias, wajahnya berubah menjadi sumringah. Karena Alleta tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini.
“Karena kamu adalah tanggung jawab aku, jadi kita akan pergi bersama,” lanjut Fathan.
“Iya terserah kamu saja. Tapi aku belum memiliki peralatan untuk kuliah.”
“Itu hal yang mudah, aku akan membelikannya besok.”
“Terima kasih, aku tidak tahu bisa membalas kebaikannya atau tidak,” jawab Alleta dengan penuh keraguan.
“Tidak usah membalas dengan apa-apa, cukup turuti apa yang aku mau.”
Segala kebutuhan Alleta akan Fathan penuhi. Hal itu membuat Alleta menjadi gembira, setidaknya ia bisa berkuliah dengan tenang tanpa memikirkan biaya dan lain sebagainya lagi. Tidak terasa malam sudah larut, dan mereka juga sudah selesai menikmati makan malam.
Alleta memutuskan untuk pergi ke kamar terlebih dulu. Ia kemudian membaringkan tubuhnya, Fathan memang berkata kalau mereka harus satu kamar. Selagi memainkan ponselnya, jantung Alleta tidak berhenti berdegub kencang sedari tadi. Ini adalah malam kedua ia akan tidur bersama dengan pria itu. Pria yang baru saja menikahinya.
“Huh, kenapa aku menjadi gugup seperti ini?” gumam Alleta.
Tidak berapa lama kemudian, datanglah Fathan. Ia menutup pintu kamar lalu menguncinya. Mendengar suara kunci yang berputar, semakin membuat jantung Alleta berdegub dengan kencang. Perlahan Fathan melangkahkan kakinya menuju tempat tidur, di mana sekarang Alleta berada. Fathan tidak berbicara apa pun, ia sekarang sudah membaringkan tubuhnya sempurna, tepat di samping Alleta.
“Fathan,” panggil Alleta lembut.
Fathan menoleh, “Ada apa?”
“Biarkan aku tidur di kamar yang lain, ya?”
“Memangnya kenapa kalau di sini? Tenang aku tidak akan macam-macam denganmu.”
Alleta kembali gugup, Fathan dapat melihat dengan jelas wajah Alleta yang harap-harap cemas. Menyaksikan itu, Fathan menyunggingkan bibirnya tipis. Tetapi tidak dapat terlihat oleh Alleta. Kini Fathan meraih tangan Alleta. Seketika bulu kuduk Alleta berdiri, seiring dengan pertemuan antara kedua tangan mereka. Jantung Alleta seperti berhenti berdetak, apalagi Fathan memegang erat tangannya.
“Tanganmu terasa dingin, kamu grogi?” tanya Fathan menggoda.
“Ti-tidak, siapa yang grogi? Aku hanya merasa kedinginan saja, mungkin karena udara malam,” jawab Alleta membual.
Fathan terkekeh geli, sementara Alleta menyernyitkan dahinya menyaksikan suaminya yang malah tertawa.
“Kamu ini lucu sekali, jangan khawatir aku tidak akan berbuat yang macam-macam, hahah.”
Alleta mengerucutkan bibirnya, “Siapa juga yang berpikiran seperti itu.”
“Hahaha, kamu ini lucu juga ternyata.”
“Siapa? Aku? Aku memang lucu dan juga cantik,” jawab Alleta penuh percaya diri.
Fathan terdiam, “Rupanya selain cepat salah tingkah, percaya dirimu tinggi juga,” jawab Fathan yang membuat Alleta kesal.
Alleta menarik tangannya dari genggaman pria itu. Ia memutarkan tubuhnya dan tidak lagi menghadap Fathan. Ia merasa malu sekali, dan mungkin sekarang wajahnya sudah berubah menjadi kemerahan karena roni di pipinya. Alleta menarik selimut dan tubuhnya kini telah terbalut oleh kain tebal itu. Beberapa saat kemudian, Alleta sudah terlelap dan bergelut dengan alam mimpi. Fathan yang tidak mendengar suara dari gadis itu, berusaha untuk mengeceknya.
“Sudah tidur lagi? Cepat sekali gadis ini untuk terlelap tidur,” ujar Fathan pelan.
Karena rasa kantuk mulai menyerang, akhirnya Fathan memutuskan untuk mematikan lampu kamar. Karena ia terbiasa tidur dalam keadaan gelap, selain agar lebih nyaman. Lampu yang mati ketika tertidur juga baik untuk kesehatan. Fathan perlahan memejamkan kedua matanya, ia harus menyiapkan tenaga untuk esok hari. Karena besok ia akan pergi ke kampus untuk mengurus semua pendaftaran dirinya dan juga Alleta.
Kedua manusia itu telah tertidur, dengan posisi satu selimut tetapi saling berjauhan. Mereka berdua berada pada posisi yang bertentangan.
**
Bersambung.