Bab 7 Rumah Atau Kapal Pecah
Bab 7 Rumah Atau Kapal Pecah
Suasana menjadi hening, tak terdengar suara apa pun dari dalam rumah itu. hanya terdengar suara dengkuran halus dari kedua insan yang baru saja menikah. Cukup lama mereka saling bergulat dengan mimpi masing-masing, terkadang Alleta menarik kedua sisi bibirnya. Tidak tahu mimpi apa yang sedang ia alami. Waktu terus berlalu, hingga akhirnya Alleta tersadar. Ia memicingkan matanya, saat hendak menggeliatkan tubuhnya. Alleta merasa ada yang menghalanginya. Segera Alleta membuka matanya lebar-lebar, dan ternyata ia tertidur tepat dipelukan Fathan.
“Aaarggghhh!” pekik Alleta sampai membuat Fathan terperanjat.
Kedua matanya terpejam, dan tangannya menutupi dada membentuk tanda silang. Sementara Fathan yang belum tersadar penuh, tampak kebingungan. Mata yang masih merah, menandakan bahwa dirinya masih merasa kantuk.
“Ada apa? Kenapa? Ada maling? Mana malingnya?” cecar Fathan.
Alleta sudah ketakutan setengah mati. Ia tidak berani untuk membuka mata. Fathan menyernyitkan dahinya sambil menggaruk kepalanya bingung.
“Kamu kenapa? Jawab Alleta!” bentak Fathan.
“Tadi kamu sudah melakukan apa terhadapku?” Kini Alleta berbalik memelototi Fathan.
“Hah?! Apa yang aku lakukan? Maksudnya apa? Kalau bicara jangan setengah-setengah, aku bingung.”
“Kamu sudah memelukku tadi,” jawabnya ketus.
Fathan menaikkan alisnya, ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Alleta. Ia tidak merasa bahwa mereka tidur dengan posisi seperti itu.
“Sudahlah, percuma saja.”
Fathan sempat terdiam, ia ikut terkejut karena ternyata dirinya bisa tertidur pulas bersama dengan gadis yang baru saja ia nikahi. Apalagi dalam keadaan berpelukan seperti itu. mereka berdua saling diam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya, Alleta pergi dan tidak memperdulikan lagi Fathan yang masih diam mematung. Ia pergi ke dapur untuk memasak. Alleta melirik ke arah jam dinding, rupanya sudah pagi. Dan belum ada satu makanan yang tersaji di rumah itu. Alleta mengedarkan pandangannya ke sekitar dapur, ia bingung harus menyiapkan makanan seperti apa, terlebih Alleta belum tahu makanan kesukaan dari suaminya itu.
Fathan yang sudah mencuci wajahnya, kemudian menghampiri Alleta. Ia memperhatikan Alleta yang sedang duduk sambil menatap ke arah kompor yang belum sama sekali menyala.
“Aku akan sarapan di luar saja,” ucap Fathan yang mengagetkan.
Alleta menoleh, “Kenapa di luar? Bisa masak di sini.”
“Lebih baik, kamu masak untuk dirimu sendiri. Tidak usah membuatkan makanan untukku.”
“Siapa juga yang mau buatkan makanan untukmu,” jawab Alleta ketus.
Fathan mendengus kasar, ia sempat menyesal telah mengatakan hal itu kepadanya.
Tak berapa lama kemudian, Fathan pergi tanpa berpamitan terlebih dulu. Tetapi Alleta tidak perduli itu, yang terpenting sekarang adalah makan. Karena sedari tadi perutnya terus memberontak meminta agar segera diisi makanan. Alleta membuka belanjaan yang tadi malam ia beli. Untung saja ada roti yang Alleta ambil dari supermarket. Sedikit mengganjal perutnya agar tidak keroncongan.
Sekarang Alleta sendiri di dalam rumah. Masih tampak berantakan sekali, Alleta sampai pusing melihat rumah yang tidak berbentuk itu. Nampak seperti kapal pecah saja, batin Alleta. Setelah selesai sarapan, lalu Alleta beranjak dari tempat duduknya. Ia terlebih dulu membereskan areal dapur. Karena tempat ini akan menjadi tempat favorit untuk Alleta.
“Dia itu malam pergi, bukannya bantu aku buat beresin rumah,” gerutu Alleta.
Ia sampai merasa pusing karena harus membereskan semuanya sendirian. Tidak ada yang membantu. Mula-mula Alleta meletakkan alat memasak di tempatnya, disusul dengan berbagai macam bahan makanan. Ia susun bahan makanan itu di dalam lemari pendingin agar tidak cepat busuk. Selesai mengerjakan itu, Alleta kemudian menyapu lantai dan mengepelnya.
Semua dikerjakan dengan suka hati, karena Alleta termasuk gadis yang suka berbenah. Tidak heran jika rumahnya dulu selalu tampak rapi dan bersih tanpa ada kotoran sedikitpun. Alleta merasa lelah, keringat bercucuran sehingga membuat pakaiannya basah. Wajahnya pucat, semua tulang terasa pegal dan perlu istirahat. Alleta duduk di lantai, ia menguap karena rasa kantuk menyerangnya. Sebelum memejamkan mata, Alleta sempat melihat ke arah jam dinding.
Sudah siang, pantas saja Alleta merasa lelah. Semua sudah terlihat rapi dan bersih walau ada beberapa ruangan yang balum terkena sentuhan tangannya, tanpa sadar sekarang Alleta sudah tertidur pulas. Ia tidak ingat lagi kejadian setelah itu. Beberapa saat kemudian, Fathan pulang. Ia terkejut mendapati Alleta yang sudah tertidur di lantai dan hanya dialasi oleh sepotong kardus. Tubuhnya meringkuk karena kedinginan.
“Al,” panggil Fathan lembut.
Tetapi tidak mendapat jawaban, Fathan menggoyahkan tubuhnya. Tampak jelas wajah lelah dari Alleta, dan Fathan tidak tega lagi untuk membangunkannya. Akhirnya Fathan menggotong tubuh Alleta. Ia membawanya ke dalam kamar, dan meletakkan tubuh itu di atas tempat tidur.
“Berat juga ini anak,” gumam Fathan yang merasa berat badan Alleta membuat lengannya sakit.
Sebelum pergi, Fathan terlebih dulu memandangi wajah istrinya yang tengah tertidur pulas. Wajah polos, dengan pipi yang mulus kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Tapi sayang, sampai saat ini Fathan belum mencintainya. Kemudian Fathan keluar dari kamar, ia melihat ruang tamu yang masih kotor.
Fathan berinisiatif untuk membersihkan sisa ruangan yang kotor itu. Sebelumnya Fathan belum pernah membersihkan rumah seperti ini. Bahkan untuk memegang gagang sapu saja Fathan belum pernah, apalagi menyapu lantai. Karena di rumahnya ada asisten rumah tangga yang selalu siap sedia membersihkan rumah. Segala keperluan Fathan terpenuhi, tak heran jika ia selalu bergantung dengan asisten rumah tangga.
“Huft, capek juga ternyata menyapu lantai seperti ini.” Fathan duduk sambil menghela nafas panjang.
Ia menyenderkan punggungnya di sofa, sementara gagang sapu masih ia genggam. Fathan melihat sekeliling, sudah beres semuanya. Tidak terasa hari semakin petang, Fathan memutuskan untuk mengakhiri pekerjaan rumah itu. Ia bergegas untuk menuju kamar mandi, karena tubuhnya sudah terasa lengket. Berendam air hangat mungkin akan membuat Fathan sedikit rileks.
Setelah selesai membersihkan tubuh, Fathan kembali memakai pakaian. Dada bidangnya terlihat jelas di cermin, karena sekarang ia sedang berada tepat di depan cermin besar. Sementara Alleta masih tertidur, dengan dengkuran halus. Fathan saat itu hanya mengenakan sehelai handuk berwarna putih, rambutnya masih basah akibat guyuran air. Tetesan air yang mengalir dan membasahi pipi Fathan membuatnya tampak lebih tampan.
**
Malam tiba.
Alleta belum kunjung bangun dari tidurnya, Fathan sedari tadi menunggu tetapi tidak enak hati untuk membangunkan gadis itu. Akhirnya ia menghidupkan televisi yang ada di ruang keluarga. Fathan memindahkan siaran yang ada di televisi itu. Tiba-tiba Fathan merasa lapar, ia memutuskan untuk pergi ke dapur untuk mencari makanan. Tetapi tidak ada apa-apa di sana, masih kosong belum ada satu makanan yang tersedia.
“Aku pesan saja makanannya, mungkin setelah Alleta bangun ia akan merasa lapar juga,” ujar Fathan.
Ia membuka layar ponselnya, lalu memesan beberapa makanan dan minuman segar. Ia sedang malas untuk pergi keluar, terlebih Alleta masih tertidur. Setelah makanan datang, Fathan menyiapkannya di atas meja makan. Ia mengurungkan niatnya untuk lebih dulu menyantap makanan itu, karena Fathan ingin menunggu Alleta terlebih dulu. Kemudian ia kembali melangkahkan kakinya menuju sofa, dan memainkan ponselnya. Membalas pesan dari teman-temannya yang seharian ini tidak ia balas. Di dalam rumah hanya terdengar suara dari televisi, jika tidak ada itu maka suasana berubah menjadi sepi dan sunyi.
**
Bersambung