Bab 8 Mengancam
Bab 8 Mengancam
Pak Kepala Desa beserta anak dan cucunya menoleh kebelakang dan ia kaget melihat Bu Siti yang tiba-tiba berdiri dibelakang mereka.
"Bu Siti bikin kaget saya saja. Ada perlu apa Bu?" tanya Kepala Desa heran.
"Pak Kades apa saya bisa berbicara dengan anda dan anak dan juga menantunya Pak Kades?" tanya Bu Siti dengan suara agak tinggi dan ia memandang Bambang tanpa berkedip.
"Iya Bu, mari ke dalam," ajak Pak Kepala Desa.
Pak Kades beserta anak dan menantunya masuk ke dalam kantor Kepala Desa diikuti oleh Bu Siti, mereka semua berjalan beriringan hingga sampai di depan pintu kantor tersebut.
"Silahkan masuk Bu Siti!" ucap Pak Kepala Desa sambil membuka pintu kantor tersebut.
Pak Kepala Desa masuk terlebih dahulu sedangkan anak dan menantunya mengekor dari belakang. Bu Siti yang masuk terakhir lalu menutup pintu tersebut. Pak Kepala Desa mendudukkan tubuhnya ditempat biasanya ia melakukan kewajibannya sebagai Kepala Desa. Anak dan menantu serta Bu Siti masih berdiri diruang itu yang berukuran kira-kira empat kali tiga meter.
"Silahkan duduk Bu Siti!" ucap Kepala Desa sambil menggerakkan tangannya ke arah kursi yang ada didepan meja Kepala Desa itu.
"Sekarang tolong katakan ada perlu apa anda menemui saya? Dan sepertinya Bu Siti lagi diselimuti oleh emosi," terka Pak Kepala Desa sambil tangannya mengetuk meja yang ada didepannya.
Bu Siti menghela napas panjang, ia berusaha meredam emosi dalam dadanya.
"Pak Kades tolong bilang ke cucu Bapak, supaya tidak menganggu cucuku Kenanga," pinta Bu Siti.
"Bu Siti itu kan masalah anak-anak, kenapa anda begitu marah?" tanya Pak Kepala Desa.
"Masalah anak-anak anda bilang? Kalau cuma mengolok-olok saja mungkin saya tidak akan semarah ini tetapi cucu Bapak dan teman-temannya menganggu cucu saya sampai cucu saya Kenanga pingsan dan sampai sekarang belum sadar juga," hardik Bu Siti sambil berdiri dan menuding-nuding anak dan menantu Kepala Desa itu.
"Sabar Bu Siti kita bisa bicarakan baik-baik," ujar Pak Kepala Desa menenangkan Bu Siti yang sudah diselimuti oleh amarah.
Pak Kepala Desa berdiri dan berjalan menghampiri Bu Siti yang masih menuding anak dan menantunya. Sedangkan menantu dan anak Pak Kepala Desa hanya bisa menundukkan kepalanya. Mereka mau menimpali hardikan Bu Siti tetapi mereka segan karena Bu Siti merupakan salah satu orang yang dihormati di desa itu meskipun Bu Siti bukan orang yang penting.
"Kalian berdua harus menasehati anak kalian supaya mulai hari ini dan selanjutnya jangan pernah menganggu cucuku lagi, kalau tidak saya akan menyebarkan masalah ini keseluruh Desa biar reputasi Kepala Desa dan keluarganya tercemar," ancam Bu Siti dengan suara agak rendah.
"Tenang Bu Siti saya akan menasehati cucu saya Bambang supaya tidak menganggu cucu anda Kenanga tetapi saya mohon jangan menyebarkan masalah ini keseluruh Desa apalagi ke desa lain," mohon Kepala Desa sambil menengadahkan kedua tangannya di dadanya.
"Apakah anda bisa menjamin hal itu Pak Kades?" tanya Bu Siti tidak percaya.
"Tentu saja Bu, kalau besok cucu saya masih menganggu cucu Ibu, Bu Siti boleh menemui saya lagi dan saya akan menghukum cucu saya dihadapan Bu Siti," ucap Pak Kepala Desa.
"Baiklah saya percaya sama Pak Kades, sekarang tolong tanyakan kepada cucu Bapak siapa saja nama teman-teman cucu Bapak yang telah menganggu cucu saya," pinta Bu Siti sambil mendudukkan tubuhnya ditempat tadi.
"Baiklah Bu," jawab Pak Kepala Desa sembari berjalan ke arah tempat duduknya tadi.
Pak Kepala Desa menyuruh menantu perempuannya menanyakan kepada Bambang siapa saja yang telah menganggu Kenanga. Menantu perempuannya itu keluar memanggil Bambang yang sedang duduk ditemani pegawai kantor tersebut. Setelah itu menantu Pak Kepala Desa mengajak anaknya masuk ke dalam ruangan mertuanya itu. Bambang yang sudah didalam ruangan itu hanya bisa memandang wajah orang yang didalam itu satu persatu. Anak kecil itu merasa heran kenapa dia dipanggil ke dalam padahal dalam pikiran anak itu, itu adalah masalah orang dewasa yang harus di selesaikan oleh mereka.
Pak Kepala Desa menghampiri Bambang yang terlihat bingung, laki-laki itu mengajak cucunya itu duduk. Setelah itu Pak Kepala Desa menanyakan kepada cucunya itu siapa saja yang telah menganggu Kenanga. Dengan gugup Bambang menjelaskan siapa saja nama teman-temannya yang sudah menganggu Kenanga bahkan anak kecil itu mencatat nama anak-anak itu di kertas yang ada di hadapannya.
"Ini Bu Siti nama anak-anak itu," ucap Pak Kepala Desa sambil memberikan kertas yang tadi sudah dituliskan oleh Bambang cucunya.
"Iya Pak," balas Bu Siti sembari menerima kertas yang disodorkan oleh Pak Kepala Desa.
"Terimakasih Pak Kades," sela Bu Siti sambil membuka kertas yang tadi sudah disodorkan kepadanya.
Bu Siti membaca sekilas kertas itu dan anak yang menganggu Kenanga berjumlah enam orang. Bu Siti berpamitan kepada keluarga Pak Kepala Desa setelah wanita tua itu meminta maaf karena sudah marah-marah di kantor Kepala Desa itu. Pak Kepala Desa pun maklum apa yang dilakukan oleh Bu Siti, mungkin kalau Pak Kepala Desa di posisi Bu Siti dia juga akan melakukan hal yang sama dengan Bu Siti atau lebih parah. Kemudian Pak Kepala Desa beserta keluarganya mengantarkan Bu Siti sampai di depan pintu kantor Kepala Desa. Wanita tua itu kemudian meninggalkan kantor Kepala Desa dengan hati agak tenang karena Pak Kepala Desa menjamin bahwa cucunya yang bernama Bambang itu tidak akan menganggu Kenanga lagi. Meskipun belum lega karena Bu Siti belum mendatangi orang tua anak itu satu-satu setidaknya orang yang berpengaruh di desanya itu sudah berjanji bahwa kalau cucu dan teman-temannya menganggu Kenanga dia sendiri yang akan menghukum cucunya itu.
Dengan langkah panjang Bu Siti mendatangi anak yang rumahnya dekat dengan kantor Kepala Desa. Wanita tua itu seperti tidak sabar untuk memperingatkan orang tua anak-anak itu. Setelah sampai di rumah anak tersebut Bu Siti segera mengetuk pintu rumah itu menggunakan punggung tangannya.
"Tok tok tok."
Tidak berapa lama terdengar suara langkah kaki yang berjalan mendekat ke arah pintu. Dan handle pintu itu di buka oleh seorang perempuan yang di duga Ibu dari bocah yang tadi namanya di tulis di kertas oleh Bambang.
"Bu Siti ada apa? Tumben anda berkunjung ke rumah saya?" tanya perempuan itu heran dengan mengeryitkan dahinya.
"Aku cuma memperingatkan kepadamu untuk menasehati anakmu supaya tidak menganggu cucuku Kenanga lagi.
"Memang apa yang telah dilakukan anak saya Bu Siti?" tanya perempuan itu lagi.
"Anak kamu dan teman-temannya sudah membuat Kenanga belum sadar sampai sekarang," jawab Bu Siti.
"Memang apa yang telah dilakukan anak saya Bu?" tanya perempuan itu dengan mengeryitkan alisnya.
"Tanyakan kepada anakmu sendiri. Aku peringatkan kepadamu mulai besok dan seterusnya anak kamu jangan pernah menganggu Kenanga lagi atau masalah ini akan aku sebarkan ke orang lain," ancam Bu Siti.
"I..iya Bu, maafkan anak saya," ucap perempuan itu sembari menengadahkan kedua tangannya di dada.
"Iya aku sudah memaafkan anakmu tetapi ingat ancamanku tidak main-main," ucap Bu Siti memperingatkan perempuan itu.
"Aku pulang dulu," pamit Bu Siti sembari melangkahkan kakinya meninggalkan rumah itu.
Bu Siti pun mendatangi rumah orang tua anak yang telah menganggu Kenanga, setiap orang tua dari mereka selalu di ancam kalau Bu Siti akan menyebarkan berita itu ke orang lain. Dan karena ancaman itu mereka berjanji akan menasehati anak mereka supaya tidak menganggu Kenanga lagi. Bu Siti pun merasa sedikit lega karena sudah mendatangi orang tua dari anak-anak yang telah menganggu cucunya. Wanita itu kemudian berjalan ke rumahnya, setelah sampai di rumahnya ia langsung berjalan menuju ke kamar Kenanga. Bu Siti membuka pintu kamar yang tertutup itu dengan sangat hati-hati, dia berpikir bahwa Kenanga sudah tersadar dari pingsannya.
"Krek."
Setelah pintu terbuka ia melihat Sulastri masih duduk di tepi tempat tidur menunggu Kenanga, Bu Siti kemudian menghampiri Sulastri.
"Apa dia belum sadar Sulastri?" tanya Bu Siti sembari ikut duduk di tepi tempat tidur juga.
"Belum Bu," jawab Sulastri.
"Sulastri kenapa seragam sekolah Kenanga belum kau ganti?" tanya Bu Siti setelah mengetahui Kenanga masih memakai seragam sekolahannya.
"Iya Bu, Sulastri akan mengganti seragam Kenanga," jawab Sulastri sembari berdiri dan berjalan ke arah lemari untuk mengambil baju tidur Kenanga.
"Ibu ke dapur dulu ya," pamit Bu Siti sambil berdiri dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar Kenanga.
Setelah kepergian Ibunya Sulastri pun melepas seragam Kenanga yang masih melekat di tubuhnya dan betapa kagetnya saat ia melihat tubuh Kenanga.