Bab 6 Kenanga Takut
Bab 6 Kenanga Takut
"Praaang."
Piring yang disenggol oleh Dadang jatuh ke lantai semen, pecah dan nasi kuning yang tadi disusun rapi-rapi oleh Sulastri dan Kenanga berhamburan. Melihat nasi yang berantakan seketika Sulastri mendelik, kedua mata wanita itu membulat dengan sempurna. Darahnya mendesir, giginya gemeretak dan tangannya mengepal siap-siap dilayangkan ke muka kakaknya itu.
"Mas kenapa kau menyenggol nasinya?" tanya Sulastri geram.
"Siapa juga yang menyenggol nasi itu, kamu saja yang jalan tidak melihat kalau aku di depanmu," ucap Dadang sewot.
Sulastri bergumam tidak jelas, wanita itu mengumpat dalam hati. Dia menyumpah serapah kakak satu-satunya itu. Dadang yang melihat adiknya ngomel-ngomel segera beranjak meninggalkan Sulastri. Sulastri segera menurunkan Kenanga kemudian berlari menghadang kakaknya.
"Mas kau harus bertanggungjawab karena aku membuat nasi itu cuma satu piring saja," sentak Sulastri.
"Terus apa yang harus aku lakukan?" tanya Dadang.
"Kau harus membuat lagi nasi itu," ucap Sulastri dengan berkacak pinggang.
"Apa kau sudah gila, mana mungkin aku bisa memasak?" tanya Dadang sambil memegang dagu adiknya itu.
"Kau tidak perlu melakukan itu, sekarang beri aku uang biar aku bisa membelikan lauk-pauk untuk Kenanga," pinta Sulastri sambil menengadahkan tangannya.
Kenanga yang menyaksikan Ayah dan Bibinya bertengkar segera menutup mata dan telinganya. Dia duduk berjongkok di sebelah tembok di ruang tamu sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. Gadis kecil itu mau berteriak tetapi rasanya mulutnya tercekat. Kenanga akhirnya hanya bisa menjerit dari dalam hatinya.
"Aku tidak punya uang, lagipula kalaupun aku punya aku tidak akan mengeluarkannya untuk anak sialan itu," ucap Dadang.
"Sekarang minggir," sentak Dadang sambil menerobos tubuh Sulastri hingga menyenggol bahu wanita tanpa merubah posisi Sulastri.
"Mas Dadang jangan pergi," teriak Sulastri sambil berlari mengejar Dadang.
Dadang sudah berada di luar rumah dan dijemput oleh temannya menggunakan sepeda motor. Sulastri yang melihatnya hanya bisa menghela napas. Wanita itu kemudian masuk ke dalam rumah lagi. Ia masih melihat Kenanga masih berjongkok di dekat tembok di ruang tamu.
"Kenanga apa kau takut Nak?" tanya Sulastri sambil ikut berjongkok mensejajarkan posisi keponakannya itu.
"Bibi Kenanga ta..takut Bi," ucap Kenanga sembari membuka matanya.
Gadis kecil itu kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Bibinya itu. Rambut gadis kecil itu berhamburan hingga menutupi wajahnya. Sulastri menyingkirkan rambut itu dan diselipkan di kedua telinganya, Sulastri lalu mengendong gadis kecil itu dan didudukkan di kursi kayu yang ada di ruang tamu.
"Kau tidak usah takut sayang, ada Bibi di sini," ucap Sulastri menenangkan Kenanga.
"Bibi ambilkan minum dulu ya," ucap Sulastri sembari berdiri dan melangkahkan kakinya menuju ke dapur.
Sulastri mengambil gelas yang ada di rak kemudian mengambil kendi dan dituangkan pada gelas itu. Setelah gelas itu terisi dengan air, Sulastri membawa gelas itu ke ruang tamu. Wanita itu mendudukkan tubuhnya di sebelah Kenanga.
"Kenanga cepat minum air putihnya," pinta Sulastri sembari memberikan gelas itu kepada Kenanga.
Kenanga menerima gelas itu dan segera meminumnya sampai habis. Kenanga begitu bernafsu minum air putih itu hingga sebagian air putih itu tumpah ke dagunya dan bajunya. Sulastri membersihkan sisa-sisa air putih itu menggunakan telapak tangannya. Sulastri kemudian mengambil gelas yang dipegang oleh Kenanga dan menaruhnya di atas meja yang ada di ruang tamu. Kedua orang itu seketika terdiam, Sulastri sibuk dengan pikirannya yang heran dengan sikap Kenanga yang tiba-tiba ketakutan setelah melihat dia bertengkar dengan kakaknya.
"Kenanga apa yang membuatmu ketakutan Nak?" tanya Sulastri setelah Kenanga merasa tenang.
Kenanga tidak langsung menjawab pertanyaan dari Bibinya, gadis kecil itu hanya memandang Bibinya tanpa berkedip. Lama dia menatap Bibinya itu tanpa berkata-kata. Sedangkan Sulastri semakin bingung dengan tatapan Kenanga dan sampai akhirnya, dengan wajah sedihnya ia berkata, "Bibi tolong jangan bertengkar lagi dengan Ayah!" Kenanga tersenyum padahal di dalam hatinya masih merasa ketakutan.
"Iya maafkan Bibi ya!" ucap Sulastri sembari tersenyum kepada gadis kecil itu.
Tiba-tiba pintu ruang tamu itu terbuka dan terlihat Nenek Kenanga berdiri di sana, wanita tua itu begitu melihat piring dan nasi yang berantakan di ruang tamu seketika matanya terbelalak.
"Sulastri apa yang terjadi? Kenapa ada piring pecah di sini?" tanya Bu Siti dengan suara agak tinggi.
"Ibu tadi aku dan Kenanga memasak nasi terus makanan itu mau dimakan oleh Kenanga tetapi piring itu disenggol oleh mas Dadang," jawab Sulastri.
"Lalu dimana Dadang?" tanya Bu Siti sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang tamu itu.
"Dia sudah pergi bersama temannya Bu," jawab Sulastri.
Bu Siti hanya bisa menghela napasnya. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi anak laki-laki satu-satunya itu. Bu Siti kemudian menyuruh Sulastri untuk membersihkan ruang tamu itu. Sedangkan Bu Siti mengambilkan Kenanga baju dan berniat membantu gadis itu untuk memakaikan baju itu di tubuh Kenanga tetapi Kenanga menolaknya. Gadis kecil itu berpamitan kepada Neneknya untuk berganti baju di kamarnya.
Esok hari Kenanga sudah bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sebelum berangkat ia ke dapur mengambil air putih dan segera menenggaknya. Kenanga meminum air putih itu sampai empat gelas. Setelah perutnya merasa penuh dengan air, gadis kecil itu melangkahkan kakinya ke depan. Di ruang tamu Neneknya sudah menunggu kedatangannya sambil membawa tas Kenanga. Wanita tua itu membantu Kenanga memakai tas sekolah yang dicangklong di belakang. Kenanga memakai sepatunya kemudian berpamitan dengan Neneknya. Kenanga mencium tangan Neneknya lalu berangkat ke sekolah.
Sesampainya di sekolah ia dihadang oleh Bambang dan teman-temannya. Bambang seperti biasa tiap hari memalak Kenanga tetapi hari itu Kenanga tidak bisa memberi uang kepada Bambang karena tadi ia tidak diberi uang oleh Neneknya. Bambang pun melepaskan Kenanga karena saat itu bel masuk sudah berbunyi. Bambang mengancam Kenanga kalau pulang sekolah nanti Bambang dan teman-temannya tidak akan melepaskan Kenanga. Ketika pelajaran dimulai Kenanga merasakan perutnya perih dan kepalanya berkunang-kunang dan wajahnya kelihatan pucat. Gadis kecil itu mengabaikan rasa itu, ia tetap konsentrasi mengikuti pelajaran dari Bu Wati. Bu Wati yang melihatnya segera menghampiri Kenanga.
"Kenanga apa kau sakit?" tanya Bu Wati sembari menyentuh dahi gadis kecil itu.
"Kenanga baik-baik saja Bu," jawab Kenanga dengan berbohong.
"Wajahmu pucat sekali. Ya sudah nanti kalau kamu tidak kuat kamu bilang ke Ibu ya!" pinta Bu Wati sembari meninggalkan bangku Kenanga dan berjalan ke depan kelas.
"Iya Bu," jawab Kenanga.
Tidak terasa jam bel pulang berbunyi. Dan seperti biasanya Kenanga selalu keluar dari kelas setelah anak-anak yang lain sudah berhamburan keluar kelas. Kenanga berjalan gontai, ia merasa tubuhnya semakin lemas. Matanya semakin berkunang-kunang. Dan tiba-tiba tubuh Kenanga di dorong oleh Bambang dari belakang, Kenanga hampir terjungkal tetapi teman-teman Bambang menyanggah tubuh Kenanga. Lalu tubuh Kenangga didorong lagi dan mereka menangkap tubuh Kenanga lagi. Kejadian itu berlangsung terus menerus sampai tubuh Kenanga terjungkal ke tanah.
"Hei kau angkat tubuhnya," perintah Bambang sambil jarinya menunjuk temannya itu.
"Iya," jawab anak itu sambil menarik tangan Kenanga sehingga gadis kecil itu bisa berdiri lagi.
"Kau pegang dia," perintah Bambang sembari tangannya mengambil botol minum miliknya di dalam tas lalu menyiram minuman itu ke tubuh Kenanga.
Kenanga merasa gelagapan dan ia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya mulai berputar-putar.
"Bambang tolong berhenti menggangguku, aku sudah tidak kuat lagi," pinta Kenanga sambil menengadahkan tangannya.
"Ha ha ha."
"Berhenti katamu! Aku tidak akan berhenti sampai kau pingsan," ucap Bambang sambil menyentuh dagu Kenanga.
"Aku mohon Bambang! Tubuhku lemas se_."
Ucapan Kenanga terhenti, gadis kecil itu benar-benar Pingsan di depan Bambang dan teman-temannya. Bambang memastikan Kenanga pingsan beneran atau tidak, dia menyiram tubuh Kenanga menggunakan air dan menendang kaki Kenanga.
"Bambang apa dia beneran pingsan?" tanya temannya sambil mendekat ke arah Kenanga dan menepuk-nepuk pipi gadis itu.
"Bambang dia beneran pingsan, bagaimana ini?" tanya temannya itu sambil mendongakkan kepalanya.
"Kita tinggal saja," jawab Bambang sambil berlalu dari sana diikuti oleh teman-temannya.