Bab 11 Takdir
Bab 11 Takdir
"Apa kamu mau memaafkan kami Kenanga?" tanya Bambang sambil mengulurkan tangannya.
Kenanga hanya bisa bengong tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Bambang, gadis kecil itu tersentak ketika salah satu temannya itu menepuk bahunya.
"Kenanga tolong maafkan kami," ucap teman Kenanga yang tadi menepuk bahunya.
Kenanga pun mengulurkan tangannya membalas uluran tangan Bambang yang dari tadi tetap mengulurkan tangannya. Setelah Bambang selesai teman-teman Kenanga mengikuti apa yang dilakukan oleh Bambang.
"Terima kasih Kenanga kamu sudah memaafkan kami," ucap Bambang.
"I... iya," jawab Kenanga gugup.
"Apa aku boleh duduk di sampingmu Kenanga?" tanya Bambang sembari mengambil tas yang ada di bangkunya.
"Iya boleh," jawab Kenanga.
Bel tanda masuk berbunyi, teman-teman Kenanga yang tadi keluar dari kelas satu persatu masuk ke dalam kelas. Anak-anak perempuan di kelas Kenanga yang melihat Bambang duduk bersama dengan Kenanga dan terlihat akrab merasa heran karena biasanya bocah gendut itu selalu menjahili Kenanga. Salah satu anak perempuan itu menanyakan kepada temannya laki-laki yang duduk di depannya apa yang terjadi dan temannya itu menjelaskan kalau mereka tidak akan menganggu Kenanga lagi. Sejak kejadian itu Kenanga sudah tidak merasa was-was kalau mau pergi ke sekolah dan lambat laun Kenanga mulai mempunyai teman begitupun di rumah dia sudah tidak takut lagi karena Ayahnya sudah pergi.
Hari itu saat matahari mulai terbit Nenek Kenanga mengajak bocah itu untuk periksa di dokter terkait borok Kenanga yang mulai sedikit memudar.
"Kenanga cepat! Nanti keburu antri," teriak Bu Siti saat bocah itu ganti baju di kamarnya.
"Iya Nek," jawab Kenanga sambil cepat-cepat mengancingkan bajunya.
Kenanga menghampiri Neneknya yang ada di ruang tamu lalu kedua orang itu pergi ke dokter menggunakan ojek. Tidak berapa lama kemudian Kenanga dan Neneknya sampai di klinik tempat dokter praktek.
"Silahkan masuk Ibu!" pinta dokter itu sembari membuka pintu tempat prakteknya.
Kenanga dan Neneknya duduk di hadapan dokter itu, lalu Kenanga diperiksa ole dokter itu.
"Bagaimana Dok penyakit kulit cucu saya?" tanya Bu Siti setelah dokter itu memeriksa borok Kenanga.
"Kalau Ibu rajin mengontrolkan cucu Ibu, Insya Allah cepat sembuh," jawab dokter itu sembari menuliskan salep dan obat yang akan di konsumsi oleh Kenanga.
"Iya Dok," balas Bu Siti sembari mengenggam tangan cucunya Kenanga.
Dokter itu memberikan resep kepada Bu Siti dan wanita tua itu menerimanya, Bu Siti kemudian menebus resep obat yang diberikan oleh dokter itu di apotek di klinik tersebut. Bu Siti dari keluar dari ruangan dokter itu wajahnya tampak sumringah karena mendengar jawaban dari dokter itu.
"Kenanga penyakit kulitmu akan sembuh Nak, kita harus rajin kontrol ya!" ucap Bu Siti sambil mengendong bocah itu.
"Iya Nek," jawab Kenanga sambil tersenyum kepada Neneknya.
Karena sering kontrol ke dokter borok Kenanga sudah sembuh, bocah kecil itu berubah menjadi cantik jelita. Dan tidak terasa Kenanga lulus dari sekolah dasar, setelah lulus sekolah sampai usianya tujuh belas tahun kadang-kadang dia ikut Bibinya Sulastri ke sawah meskipun dia belum tahu caranya bekerja di sawah Kenanga tetap membantu Bibinya itu. Seperti pagi hari itu Kenanga dan Sulastri siap-sip berangkat ke sawah.
"Ibu aku berangkat dulu ke sawah," pamit Sulastri saat Ibunya di dapur.
"Iya hati-hati," jawab Bu Siti sembari memberikan bekal kepada Sulastri.
"Kenanga jangan lupa pakai topi," pesan Bu Siti saat bocah itu pamit kepadanya.
"Iya Nek," jawab Kenanga sambil mencium tangan Neneknya.
Sulastri dan Kenanga lalu berangkat ke sawah yang letaknya agak jauh dari rumah mereka. Sesampainya di sawah Kenanga langsung ikut membersihkan rumput yang tumbuh di antara padi yang beberapa minggu kemarin di tanam. Ketika matahari tepat di atas kepala dua orang itu segera menyelesaikan pekerjaan itu.
"Kenanga ayo kita pulang," ajak Sulastri sembari membereskan peralatan yang tadi dipakai untuk membersihkan rumput.
"Iya Bi."
Kesehatan Nenek Kenanga semakin hari semakin menurun. Sulastri dan juga Kenanga bergantian menjaga wanita itu. Mereka berdua bahu membahu merawat Bu Siti. Kalau Kenanga yang pergi ke sawah maka Sulastrilah yang akan menjaga Ibunya, begitupun sebaliknya kalau Sulastri yang ke sawah maka Kenangalah yang kebagian menjaga Neneknya. Ketika malam hari saat Kenanga menjaga Neneknya.
"Besok Nenek mau dibuatkan makanan apa?" tanya Kenanga sembari Kenanga miring ke arah Neneknya.
Bu Siti hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaan dari Kenanga, wanita itu hanya diam saja. Kenanga lalu menguncang-guncang bahu Neneknya tetapi wanita itu sama sekali tidak bergerak. Kenanga kemudian memeriksa pergelangan tangan Bu Siti dan betapa kagetnya Kenanga ketika denyut nadi Bu Siti tidak teraba.
"Neneeek," teriak Kenanga sambil memeluk tubuh Neneknya yang terbujur kaku.
"Bangun Nek! Jangan tinggalkan Kenanga."
Seketika tangis Kenanga pecah, gadis remaja itu menangis sejadi-jadinya. Sedangkan Sulastri yang berada di kamarnya mendengar samar-samar teriakan Kenanga, wanita itu kemudian beranjak dari tempat tidurnya lalu menghampiri Kenanga yang berada di kamar Ibunya. Dengan tergesa-gesa Sulastri membuka pintu itu, wanita itu segera ingin tahu apa yang terjadi.
"Kenanga apa yang terjadi?" tanya Sulastri sembari mendekat ke arah Kenanga.
"Bi... Bibi Ne... Nenek," ucapan Kenanga terputus, gadis remaja itu mau melanjutkan ucapannya tetapi sepertinya lidahnya keluh, Kenanga hanya bisa menangis.
"Hiks hiks hiks."
Sulastri segera memeriksa Ibunya dan tangis Sulastri ikut pecah ketika mengetahui Ibunya sudah meninggal. Sulastri kemudian menyuruh Kenanga untuk meminta bantuan kepada tetangga sekitar mengurus jenasah Neneknya. Meskipun malam hari tetangga yang dimintai tolong berbondong-bondong datang ke rumah Sulastri. Malam itu juga jenasah Bu Siti dikebumikan di pemakaman yang berada di kampung itu. Selesai pemakaman Bu Siti, warga sekitar berpamitan kepada Sulastri dan juga Kenanga.
"Sulastri apa Dadang sudah kau hubungi?" tanya salah satu warga ketika mereka mau pulang.
"Sudah Bu," jawab Sulastri masih dengan air mata yang mengalir di pipinya.
"Yang sabar ya Sulastri," ucap orang itu.
"Iya Bu, terima kasih atas bantuannya," ucap Sulastri sembari menjabat tangan orang itu.
Setelah kepergian warga dari rumah itu, Kenanga merenung di kamar yang selama ini di tempati oleh Neneknya. Gadis remaja itu memeluk foto Bu Siti yang sudah agak lusuh di dadanya.
"Kenapa Nenek pergi secepat ini? Siapa nanti yang akan membela Kenanga Nek?!" ucap Kenanga sambil menangis.
Air mata Kenanga tidak bisa berhenti mengalir, semakin dia mengingat Neneknya semakin air matanya semakin deras mengalir.
"Maafkan semua kesalahan Kenanga Nek. Maafkan Kenanga yang belum bisa membahagiakan Nenek," ucap gadis remaja itu lagi.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan terlihat Sulastri berdiri di sana. Sulastri datang ke kamar itu karena dia tidak bisa tidur. Wanita itu kemudian mendekat ke arah Kenanga, Sulastri membelai rambut Kenanga dan menghibur gadis remaja itu. Meskipun dia sedih, Sulastri harus terlihat tegar di depan keponakannya itu.
"Kenanga jangan bersedih Nak, kasihan Nenek kalau kamu seperti ini," bujuk Sulastri.
"Bibi kenapa Nenek meninggal secepat ini?" tanya Kenanga masih berlinang air mata.
"Ini sudah takdir Kenanga. Kita doakan saja Nenek supaya diterima disisiNya," ucap Sulastri.
"Iya Bi," jawab Kenanga.
Sudah tujuh hari Bu Siti meninggal tetapi kedua orang tua Kenanga sama sekali tidak datang, padahal Sulastri sudah menyuruh mereka berdua datang. Kedua orang tua Kenanga berkilah kalau mereka sangat sibuk terutama Dadang yang sangat sakit hati kepada Ibunya yang telah mengusirnya dari rumah itu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun tidak terasa usia Kenanga menginjak usia dua puluh tahun. Karena sering ikut ke sawah kulit Kenanga lama-lama menjadi gelap tetapi meskipun begitu kecantikan gadis remaja itu tidak bisa dipungkiri. Banyak lelaki di desa itu maupun dari desa lain yang ingin meminang Kenanga tetapi Kenanga selalu menolaknya karena ia ingin membantu Bibinya Sulastri di sawah. Begitu juga Bambang temannya yang dulu suka menjahilinya, sekarang juga tertarik kepada gadis itu. Bambang menyuruh kedua orang tuanya datang melamar ke rumah Sulastri. Sore itu lelaki itu dan keluarganya sudah siap untuk melamar Kenanga.
"Nak Bambang ada keperluan apa sehingga datang ke sini bersama keluarga?" tanya Sulastri setelah ketiga orang itu duduk.
"Maaf Bu Sulastri saya berniat untuk melamar Kenanga menjadi istri saya," jawab Bambang.