6. Dipaksa Mau
Ustadz Fahri sepertinya sudah menyerah dan pasrah saja dengan apa yang menjadi keinginan orang tuanya, tapi tidak denganku, aku seperti didesak untuk menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.
"Nak, pikirkanlah terlebih dahulu dengan kepala dingin, sholat istikharah, minta petunjuk kepada Allah," bisik mama Anita di telingaku.
Sebenarnya aku ingin sekali menolak lelaki itu detik ini juga, namun aku pernah mendengarkan sebuah hadist yang disampaikan oleh seorang ustadz yang berceramah, "Jika seorang wanita dilamar oleh lelaki yang baik agamanya maka hendaknya nikahkanlah karena jika tidak maka akan terjadi kerusakan di muka bumi." Tapi, bagaimanapun juga cinta tidak bisa dipaksakan, ini perkara hati bukan barang dagangan.
Aku dilema dan sungguh rasanya tidak tahu apa yang harus kukatakan sekarang selain diam, walaupun sebenarnya aku ingin segera berlari keluar dari rumah dan berteriak sangat keras kalau aku menolak perjodohan ini.
"Nak, apakah kamu bersedia?" tanya papa Gunawan.
Aku tidak bergeming, walaupun mulutku ingin berteriak tapi mulutku tetap tidak bereaksi sama sekali.
"Diamnya seorang wanita pertanda setuju," ungkap mama Anita menjawab seolah mewakili diam ku.
Dan entah mengapa, saat ini mulutku seperti dijahit, jangankan untuk menolak, bahkan lidah ini terasa sangat kelu dan tidak bisa berkata apa-apa selain menerima dalam diam ku.
Ya, senyum mengembang pertanda bahagia terlihat dari wajah dua keluarga kecuali aku.
"Baiklah, karena kedua belah pihak telah setuju, kalau begitu kami pamit undur diri."
Ustadz Fahri dan keluarganya berpamitan pulang dengan senyum indah yang tergambar di wajah mereka, tapi tidak denganku, rasa dongkol dan kesal membuatku murka.
Aku bahkan tidak mengantarkan tamu yang datang sampai di depan pintu, tapi lebih memilih diam, duduk di kursi seperti patung hingga sang tamu meninggalkan rumah kami.
"Kania, Papa dan Mama ingin berbicara, Nak," ucap papa Gunawan dengan nada suara lembut.
Sebagai seorang anak, tentu yang bisa kulakukan adalah menurut. Menjadi anak yang berbakti walaupun sebenarnya di dalam hati ada ketidaksukaan karena hati ini telah merasa kalau ujung dari pembicaraan ini adalah masalah perjodohan dan pernikahan yang dipaksakan. Ya, ingin sekali rasanya segera bangkit dan berlari ke kamar untuk menghindari kedua orang tuaku, tapi seluruh tubuhku seolah bereaksi sebaliknya, diam mematung seolah menerima segalanya.
"Nak, Papa dan Mama sudah tidak muda lagi, kami ingin sekali melihatmu menikah dan kami rasa Ustadz Fahri adalah lelaki yang tepat untuk mendampingi mu."
Sebuah harapan dari orang tua yang menginginkan anak perempuannya berumah tangga membuat hatiku seperti teriris sembilu.
"Nak, terima ya niat baik Ustadz Fahri," ucap mama Anita dengan penuh harap.
"Terserah Mama saja!"
Tanpa sopan santun, aku langsung bangkit dari tempat dudukku, memasang wajah masam dengan sejuta amarah yang kubawa bersamaku.
Aku berjalan cepat tanpa melihat kemanapun, karena yang kupikirkan sekarang hanyalah kabur dari perdebatan panjang. Ya, dengan kekesalan di hati, ku banting pintu kamarku dengan keras. Ku hempaskan tubuhku ke ranjang yang terasa seperti semak berduri.
Aku memilih egois, mengurung diri di kamar dan tidak ingin menemui siapapun, aku hanya ingin tidur dan memejamkan mataku agar aku bisa melupakan kejadian hari ini, tapi semakin aku menutup mata semakin mata ini tidak ingin dipejamkan. Bahkan keadaan ini berlangsung hingga satu minggu, dimana aku seperti mayat hidup, antara hidup segan, mati tidak mau. Hari-hariku terasa sangat hampa dan tidak berdaya, bahkan ketika berada di kantor pun aku tidak berkonsentrasi bekerja sama sekali.
[Jelek, jalan yuk!]
Pesan singkat dari Arya kini tidak ku pedulikan.
Pandanganku tertuju pada langit yang terlihat mendung, seolah hujan lebat akan turun mengguyur bumi ini.
Seketika aku menoleh ke arah jam dinding, waktu telah menunjukkan pukul 16.00 Wib, waktu dimana tugasku sebagai seorang abdi negara telah usai.
Namun, entah mengapa hari ini rasanya hatiku tidak tenang, seolah ada sesuatu yang mengganjal, hingga rasanya terlalu berat melangkahkan kaki kembali ke rumah. Tapi, mau tidak mau suka tidak suka, aku tetap harus pulang karena aku tidak ingin membuat orang tuaku khawatir.
Dengan motor matic kesayangan, aku kembali ke rumah dengan sejuta gundah di hatiku. Namun, diri ini kembali dikejutkan oleh sebuah keramaian di rumah.
'Apakah ada acara hari ini?' ucapku di dalam hati.
Seketika hati ini terkejut ketika sampai di depan rumah, aku melihat sudah banyak kendaraan berjejeran, terlihat juga famili dan orang-orang yang kukenal berkumpul sembari bercanda tawa.