5. Keinginan Mama
"Sayang, kenapa tidak memakai baju yang Mama pilihkan?" bisik mama Anita yang tidak ku hiraukan. Walaupun hati kecilku sangat tahu kalau hati mama terluka karena perangaiku yang tidak menghargai pilihan beliau.
Mama Anita menggandeng tanganku untuk duduk di samping beliau, kemudian dengan sangat ramah dan sopan papa Gunawan memperkenalkanku sebagai putrinya.
"Perkenalkan Bapak Kyai, Ummi Salamah, Ustadz Fahri, ini anak kami Kania."
Papa memperkenalkanku dengan bangga sebagai anak perempuan kesayangan dan kebanggaannya kepada keluarga yang terlihat baik yang duduk berhadapan dengan keluarga kami. Tapi durhakanya aku, aku tidak memberikan salam apapun kepada tamu yang datang kecuali sebuah senyum tipis yang terpaksa. Ya, aku melihat keluarga yang datang adalah keluarga yang sangat alim dan paham agama, jadi tentu saja aku bisa mengelak kalau bersentuhan tangan antara seorang muslim yang tidak muhrim itu tidak diperbolehkan.
Aku seperti manusia yang sombong dan angkuh, ilmu dan pemahaman agamaku hanya seujung kuku, tapi bersikap seperti seorang ahli ibadah yang sangat paham dan mengerti agama.
"Nak Kania, perkenalkan ini Fahri, anak Abi dan Ummi," ucap lembut seorang lelaki separuh baya yang bernama kyai Abdullah, yang tidak lain adalah ayah dari lelaki yang bernama Fahri.
Sekilas kulihat lelaki yang ada di depanku, wajahnya terlihat bersih bercahaya, sungguh wajah yang memancarkan iman di hatinya, matanya sipit dengan tinggi sekitar 170 cm, kulitnya kuning langsat dengan badan yang menurutku kurus untuk ukuran laki-laki.
Namun, aku tidak peduli dengan lelaki yang ada di depanku, mau ia seorang ustadz atau preman sekalipun tetap saja lelaki itu tidak membuat hatiku bergetar.
Jangankan untuk menikah dengannya, memandang wajahnya saja aku sudah tidak mau lagi. Ya, begitulah keegoisan dan kekerasan hatiku, jika aku tidak menginginkan seseorang mau sebaik apapun agamanya, serupawan apapun wajahnya tidak akan membuatku langsung jatuh cinta kepadanya.
Bagiku cinta itu adalah sesuatu yang datang dari hati, jika hatiku bergetar maka aku ingin melanjutkan hubungan ketahap selanjutnya dengan lelaki itu, tetapi jika hati ini tidak merasakan getaran cinta itu, maka aku tidak akan mau melanjutkan hubungan ini ketahap yang lebih serius, meski dipaksa juga tidak akan bisa, karena perkara hati tidak bisa dipaksakan karena menikah adalah ibadah seumur hidup dimana aku akan bersama dengan suamiku selamanya, di dunia hingga ke surga-Nya.
"Kania, maksud kedatangan Ustadz Fahri dan keluarganya ke rumah kita adalah untuk bertaaruf denganmu, Nak," ucap mama Anita begitu antusias dan to the point.
'Taaruf?'
Setahuku taaruf dilaksanakan oleh dua orang yang sudah bertukar curriculum vitae dengan keikhlasan tanpa adanya paksaan. Namun, kalau yang sekarang ini namanya perjodohan karena aku belum menyetujuinya sama sekali.
"Jika Nak Kania berkenan, silahkan berkenalan dengan Nak Fahri, dan kami berharap semoga kalian berdua berjodoh ya."
Sama halnya dengan mama Anita, ummi Salamah juga terlihat sangat antusias dengan perjodohan ini.
Menurut pengakuan ummi Salamah, beliau tidak ingin proses taaruf berjalan lama, jika sudah sama-sama suka maka segera saja menikah, kalau perlu bulan depan karena perkara uang tidak menjadi masalah untuk keluarga mereka.
'Bulan Depan?' batinku berteriak tidak menerima, seolah diri ini adalah barang yang tidak berharga.
Hatiku semakin hancur dan terasa sangat terluka, bagaimana mungkin perkara menikah dibuat terlalu 'sat set, sat set'
Aku bukan sendal yang dipasangkan dengan sembarangan pasang saja, aku bukan barang yang diperjual belikan sesuka hati.
Aku manusia, punya hati dan perasaan, punya rencana masa depan yang sudah tertata rapi dalam otakku, apalagi ini adalah perkara ibadah seumur hidup, tentu saja aku tidak ingin salah memilih pasangan karena bagi seorang wanita memilih calon suami seperti memilih masa depannya, menentukan surga dan nerakanya. Aku juga sangat ingin sekali menikah, tetapi kedok ustadz yang disandang oleh ustadz Fahri juga belum menjamin aku akan menerima perjodohan ini, karena aku punya kriteria sendiri untuk calon pasanganku.
"Bagaimana, Kania? Apakah Abi dan Ummi bisa menunggu jawaban darimu seminggu dari sekarang?" ucap kyai Abdullah.