4. Perkenalan
Dengan mata melotot dan nada suara tinggi, aku akhirnya berani mengungkapkan isi hatiku, bahwa aku menolak perjodohan ini, bahkan aku menentang mamaku dengan berbicara keras kepada beliau.
"Nia, apa ada lelaki yang kamu cintai? Jika memang ada bawalah lelaki itu ke rumah, kenalkan sama Mama dan Papa, karena hanya itu cara supaya Mama bisa membatalkan perjodohan ini."
Aku terdiam dan tidak sanggup menjawab pertanyaan mama. Bagaimana aku akan membawa seorang lelaki ke rumah untuk dikenalkan sebagai calon suamiku, aku bahkan tidak dekat dengan siapapun selama lebih dari lima tahun terakhir kecuali dengan Arya. Entah mengapa, sejak gagal menikah karena sebuah penghianatan dan ditinggalkan membuat hatiku mati, aku sulit dekat dan percaya dengan makhluk yang namanya laki-laki. Aku beranggapan kalau semua lelaki itu sama dan aku sangat takut untuk ditinggalkan lagi setelah aku memberikan seluruh hatiku kepada makhluk dengan label buaya darat itu. Ya, Tuhan memang mencemburui hati yang berharap jika bukan kepadanya, jadi saat ini aku hanya menggantungkan hati dan harapanku kepada Tuhan saja, dengan satu keyakinan yang kupegang erat di dalam dada, kalau semua manusia diciptakan berpasang-pasangan dan jika telah waktunya maka jodoh juga akan datang menghampiriku.
"Jika Arya memang lelaki yang kamu sukai maka berhentilah sekarang, Nak! Lelaki itu tidak mencintaimu."
Mama Anita lagi-lagi mengatakan kata-kata tajam yang membuat hatiku hancur. Bagaimana bisa orang tuaku menilai Arya sejelek dan serendah itu, padahal Arya adalah lelaki yang sangat baik kepadaku, bahkan ialah lelaki yang berhasil menyembuhkan luka-luka di dalam hatiku. Arya satu-satunya lelaki membuatku percaya kalau masih ada lelaki baik dan tulus di dunia ini selain papa ku. Ya, kami berdua memang tidak berpacaran, kami hanya sahabat dekat yang saling berbagi dalam suka dan duka bersama karena sebuah rasa nyaman, tapi tidak ada orang yang ku percaya selain Arya, tidak ada seorang lelaki pun yang membuatku merasa bahagia selain Arya.
"Sekarang cepat ganti pakaian karena lima menit lagi Ustadz Fahri dan keluarganya akan datang!"
Mama Anita keluar dari kamar dengan kekecewaan yang tergambar jelas di wajah beliau, wajah masam itu membuatku merasa berdosa kepada mamaku. Namun, tidak ada yang bisa kulakukan sekarang. Ya, dalam kebingungan dan ketidakberdayaan akhirnya aku tetap memutuskan mengganti pakaianku, bukan dengan pakaian terbaik yang mama pilihkan untukku, tapi dengan baju yang sudah ketinggalan zaman yang jarang sekali aku gunakan. Tanpa menggunakan make up, bedak atau pun lipstik, ku pastikan wajahku terlihat jelek dan tidak menarik di depan kaca sebelum akhirnya bersiap keluar dari kamarku. Dengan menggunakan gamis berwarna abu-abu dan jilbab berwarna merah muda yang menutupi dadaku. Penampilanku tidak seperti anak gadis pada umumnya ketika bertemu dengan pasangannya, tetapi lebih ke ibu-ibu pengajian yang tidak tahu fashion sama sekali, terlihat sangat kampungan, bahkan aku sendiri tidak suka dengan gayaku, tapi ini adalah salah satu usaha penolakan ku kepada orang tuaku.
"Kania, sini, Nak!"
Sebuah panggilan yang merupakan kode dari mama, kalau aku harus segera keluar dari kamarku.
Dengan langkah kaki berat, aku melangkahkan kakiku keluar dari kamarku dengan hati yang berkecamuk. Tidak ikhlas tentu saja, tidak rela apalagi, yang jelas aku hanya tidak ingin membuat orang tuaku kecewa karena sikapku yang tidak menghargai tamu apalagi tamu itu memiliki niat baik kepadaku.
"Sayang, sini, Nak!"
Mama Anita menghampiriku dengan bersemangat dengan senyum mengembang yang tergambar indah di wajah beliau. Sebuah ekspresi wajah yang menggambarkan kalau beliau memiliki harapan yang sangat besar untuk pertemuan pertama ini.