Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Bertunangan?

Mama Anita menghampiriku yang tengah memarkirkan motorku. Wajah mama terlihat berbeda dari biasanya. Dengan senyum sumringah yang tergambar jelas di wajah cantiknya. Ada rasa mengganjal dari dalam diriku, hingga ku putuskan untuk mengobati rasa penasaran itu.

"Ma, apa ada acara spesial hari ini?" tanyaku dengan wajah kebingungan.

Mama menggandeng tanganku berjalan menuju kamar dengan sejuta rasa bahagia yang beliau bawa bersamanya. Sementara orang-orang terus memperhatikanku, bahkan terlihat tersenyum ramah kepadaku, seolah aku adalah ratu yang sangat dipuja hari ini.

"Nak, bersiaplah, hari ini keluarga Ustadz Fahri akan datang melamar mu secara resmi, kalian akan bertunangan."

Debaran jantung luar biasa bukan pertanda bahagia, namun lebih kepada kaget dan tidak menyangka.

"Bertunangan, Ma? Dengan lelaki yang seminggu yang lalu datang ke rumah kita?"

Dengan seluruh tubuh yang gemetar, aku mencoba memastikan kalau lelaki yang akan menjadi tunangan ku adalah lelaki yang waktu itu datang ke rumahku.

"Iya, Sayang, Ustadz Fahri adalah lelaki yang baik dan tepat untuk menjadi suamimu."

Mama Anita tersenyum sembari membelai pipiku dengan lembut. Namun tidak denganku, jiwaku serasa tidak lagi di ragaku, seolah malaikat izrail datang untuk mencabut nyawaku. Seluruh tubuhku menggigil, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah nyawa akan meninggalkan badanku. Aku kedinginan seperti berada di kutub utara, mulutku kaku dan tidak bisa membantah mama seolah bisu.

"Sayang, setelah isya keluarga calon tunanganmu akan datang, jadi bersiaplah!"

Lagi dan lagi aku dikejutkan oleh perkataan yang seolah menyengat ku.

Mama Anita meninggalkanku dengan senyum indah yang terlihat menawan, wanita separuh baya itu memang sangat mengharapkan ku menikah, jadi hari seperti ini adalah hari yang telah beliau tunggu sejak lama.

Aku sadar, usiaku memeng sudah sangat matang untuk berumah tangga, bahkan teman-teman seusiaku telah menggendong anak-anak mereka. Selain itu, aku selalu menjadi bahan pergunjingan dan tranding topik di lingkunganku. Mereka mengatakan perkataan yang menyinggungku, mulai dari hinaan, sindiran bahkan sesuatu yang membuat mentalku remuk. Percuma saja cantik dan sukses tapi belum menikah, percuma punya banyak pacar tapi hanya dijadikan permainan bahkan sampai ditinggal nikah, bahkan yang parahnya mereka mengatakan kalau aku adalah wanita yang sangat pemilih dalam mencari pasangan. Ya, aku akui, aku memang memilih lelaki terbaik yang tidak hanya menjadi imamku di dunia, tetapi juga menjadi imamku di surga kelak. Rasanya sangat wajar jika seorang wanita mengharapkan lelaki baik-baik untuk menjadi suaminya karena Tuhan juga telah berjanji bahwa wanita baik-baik diciptakan untuk lelaki baik-baik dan begitu sebaliknya, lelaki baik-baik juga diciptakan untuk perempuan baik-baik, karena jodoh itu cermin diri dan jodoh telah ditetapkan karena setiap insan ciptaan Tuhan diciptakan berpasang-pasangan.

Perjalanan cinta yang panjang, terjal dan berliku telah ku lewati, tapi apalah dayaku, aku hanya manusia biasa yang hanya bisa berusaha dan berdoa, tetap keputusan akhirnya Tuhan yang menentukan dan Tuhan belum menetapkan waktu terbaik untukku bertemu dengan jodohku. Bukan tidak ada yang melamar ku, tapi tetap saja hatiku belum terbuka dan bergetar untuk menerimanya. Pernah aku memaksakan diri menerima lamaran dari lelaki yang tidak kusukai karena ingin lari dari pertanyaan kapan menikah, tapi yang namanya bukan jodoh, tetap saja ada jalan Tuhan untuk memisahkan.

'Kania, bukankah lelaki dengan pemahaman agama yang tinggi seperti Ustadz Fahri yang selama ini kamu doakan?'

Ucapan bergejolak di dalam hatiku membuat kepalaku terasa teramat pusing seperti ingin pecah.

Ingin rasanya aku menghantamkan kepala ini ke dinding agar aku amnesia dan tidak merasakan sakit lagi, ingin juga aku berteriak dan memaki sangat keras, tapi aku bukanlah wanita yang tidak punya sopan santun hingga mempermalukan diriku dan keluargaku di khalayak ramai.

Ah, apapun alasannya tetap saja aku tidak bisa menerima perjodohan ini. Ya, kali ini kedua orang tuaku kelewatan, bagaimana mungkin beliau menentukan hari pertunangan tanpa meminta pendapatku.

Hatiku semakin sakit dan hancur hingga rasanya ingin mati saja. Hidup yang kumiliki kini tidak lagi menjadi milikku, bahkan pendapat dan keinginanku tidak lagi didengar oleh kedua orang tuaku.

Aku masuk ke kamarku, membanting pintu kamar, kemudian menghempaskan tubuhku di ranjang dalam keadaan hati yang berkecamuk.

Aku merasa tidak berdaya, tidak kuasa menanggung rasa sakit ini sendirian, hingga kesedihan ini ku curahkan lewat butiran-butiran air mata yang mengalir membasahi pipi bulat ku.

Aku memikirkan berbagai cara agar pertunangan ini bisa dibatalkan, tapi aku berada di jalan buntu dimana jurang yang menjadi akhirnya. Jika aku melangkah maju maka keluargaku akan malu muka, jika aku menerima maka aku akan dihadapkan pada pernikahan yang tidak aku inginkan seumur hidupku.

'Apa yang harus kulakukan sekarang?' ucapku di dalam hati dengan gejolak dari dalam dada.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel