Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

KABAR KABUR

“What the fuck! Are you kidding me?”

Lova hanya melirik ke arah Evelyn yang berseru nyaring dengan wajah tidak percaya itu sekilas. Wanita dengan rambut panjang itu hanya menopang dagu malas.

“Evelyn!” si pemilik nama menoleh ke arah sekitar, mendapati teman-teman sekantornya yang merasa terganggu dengan teriakkannya barusan. Evelyn langsung membungkuk berkali-kali dengan cengiran dan tangan yang menyatu sebagai permohonan maaf.

“Siapa? Alder?” kini Evelyn mendekat ke arah Lova dengan merendahkan suaranya. Lova mengibaskan tangannya dengan wajah jengah.

“Gue laper. Makan aja yuk.”

Lova berdiri yang langsung diikuti dengan si tukang kepo. Siapa lagi jika bukan sahabat berwajah cantik mempesona yang bertolak belakang dengan tingkahnya yang super absurd.

“Lov. Cerita dulu, ih.” Evelyn jelas ingin mendengar kisah lebih lengkap dari sahabatnya itu.

“Tauk ah, Eve. Gue juga gak nyangka tuh bocah bisa ada di depan mata gue tiba-tiba. Di pasar lagi. Pas gue dasteran lagi.”

“Ih lo mah gak ada seri-serinya jadi perawan, Lov. Yakali ke pasar pagi-pagi dasteran doang. Emak gue aja blush on-an timbang mau beli bubur ayam depan komplek.”

Ingin rasanya Lova melemparkan gelas berisi air di depannya ke arah Evelyn yang sekarang berteriak girang.

“Uda! Sate padang duo dengan porsi jumbo, yo.”

“Siap meluncur, Uni Evelyn,” balasan itu jelas dari si Uda asli dari Padang yang menjual sate padangnya di depan gedung penerbitan tempat Lova dan Evelyn bekerja.

“Terus-terus, bentukan dia sekarang gimana?”

Lova menggeleng dengan wajah kesal melihat keantusiasan Evelyn mendengarkan ceritanya. Rasanya Lova sudah malas membahas kejadian di pasar waktu itu bahkan ingin melupakan. Tapi lihat pancaran keingintahuan dari wajah sahabatnya ini.

Helaan berat keluar dari bibir wanita bernama lengkap Arlova Zemira itu.

“Penampakannya sekarang?” Anggukan dan senyuman lebar tercipta sempurna dari Evelyn. “Gede. Item. Perutnya buncit terus banyak bulu di sekitar badannya.”

Brak! Evelyn menggebrak meja di depannya dengan wajah sebal. Lova yang merasa ketahuan sedang mengerjai, tertawa terbahak.

“Anjir! Gue udah dengerin serius juga. Genderuwo kali, ah.”

“Duo sate padang porsi jumbo.”

Suara riang Uda sate padang yang sampai sekarang tidak diketahui namanya oleh Evelyn dan Lova menghampiri dengan dua piring sate padang yang masih mengeluarkan asap.

“Makasih, Uda,” ucap Lova dengan senyuman.

“Samo-samo, Uni Lova.” Uda sate padang ini sangat ramah.

“Uda.” Panggilan itu membuat langkah Uda yang hendak pergi terhenti. “Mau daging untuk tambahan buat sate gak?”

Evelyn adalah gadis dengan sejuta ketidak-warasan yang punya hati malaikat dan sikap yang sangat baik. Lihat saja, betapa luwesnya dia berbicara dengan logat Padang untuk berinteraksi dengan Uda-Uda sate padang ini? Lova akui bahwa Evelyn sangat supel.

“Boleh. Dima tu, Uni?”

Love mendelik ke arah Evelyn yang mengerling dengan senyuman mencurigakan ke arahnya.

“Di depan kito ni, Uda.” Evelyn dengan tangan menjulur ke arah Lova berucap santai. “Saya serahkan sahabat saya yang tidak seberapa ini untuk Uda cincang sebagai tambahan daging sate padang Uda.” Gelakan terdengar setelahnya.

“Evelyn! Lo pikir gue ayam ternak!”

Uda sate padang dan beberapa pelanggan hanya menatap dengan gelengan heran, melihat tingkah gila kedua sahabat itu.

~.~.~.~

Lova dan Evelyn berjalan kembali ke arah kantor dengan sesekali tertawa karena cerita dan lawakan jayus yang Evelyn sampaikan.

“Ke mana aja sih lo berdua?” Seseorang dengan napas terengah menghampiri Lova dan Evelyn dengan mata berbinar.

“Apaan sih, Ta? Nyeruduk aja kek kerbo bule,” ujar Evelyn dengan alis bertaut.

“Emang kerbo bule bisa nyeruduk, Eve?” Lova bertanya dengan wajah yang benar-benar tidak tahu.

“Bisa. Apalagi cuma nyeruduk kepala lo biar ilang dikit tuh telminya.”

Lova memukul lengan Evelyn yang terkekeh. Kembali melihat Lita yang sudah meredakan napasnya menjadi teratur.

“Emang ada apa, Ta?”

“Ini gila banget, Lyn. Ada pengusaha muda yang ngebeli hampir sepenuhnya saham di penerbitan kita ini. Dan dia bakal kerja bareng-bareng sama kita di sini. Kantor kita bakal jadi surga dunia karena tuh bos baru.”

Lita menyatukan kedua tangannya dengan mata berbinar menerawang jauh.

Lova dan Evelyn hanya saling pandang dengan wajah bingung.

“Kayak apaan sih si bos barunya? Sampe lo bilang kantor kita bakal jadi surga dunia?”

Dengan ringisan geli Evelyn bertanya pada Lita yang masih tersenyum mengerikan.

“Itu bos umurnya baru 22 tahun. Tapi udah selesaiin S2 bisnis di Inggris. Terus tampangnya, Masya Allah gak kuat.”

Siapa pun yang melihat Lita sekarang, akan berpikir gadis ini gila karena sikap berlebihannya.

“Elah brondong.” Evelyn mengibaskan tangannya tidak tertarik. Lita memicing ke arah Evelyn yang terdiam. Sepertinya dia salah berucap.

“Buat cewek-cewek telat kawin kayak kita mah, brondong begitu anugrah kali, Lyn.”

“Kita?” Evelyn dan Lita melihat ke arah Lova. “Lo aja berdua. Gue kagak ikutan, dah. Gue mah ogah sama brondong.” Lova berlalu.

“Elah, kemakan omongan sendiri baru tahu lo mah, Lov. Paling tua juga gayaan banget,” gerutu Lita yang hanya dibalas dengan lambaian tangan dari Lova.

Memang, di antara beberapa karyawan perempuan di kantor penerbitan ini, Lova adalah yang paling tua. Siapa yang menyangka bahwa gadis dengan tubuh berhenti berkembang itu sudah berumur 34 tahun? Sedang teman-temannya yang lain, baru berumur 33 tahun ke bawah.

“Emang lo udah liat muka bos baru itu, Ta?” Evelyn melihat Lita yang sekarang nyengir dengan garukan di kepala.

“Belum sih. Baru denger-denger juga dari yang lain.” Lita mengeluarkan cengiran tanpa dosanya.

Evelyn menutup matanya sekilas. Rasanya ingin menjitak kepala Lita yang sekarang bergelayut di lengannya.

“Informasi gak pernah akurat tiap lo yang nyampein.”

~.~.~.~

Lova merentangkan tangannya ke atas. Melemaskan otot-otot di tubuhnya yang sedikit kaku karena terus berhadapan dengan kekasih harga matinya, komputer.

Tugas sebagai penerjemah novel memang paling berat dan jarang ada yang bertahan lama di posisi itu. Tapi sudah lima tahun ini, Lova menggeluti dunia penerjemahan dengan bermodalkan sedikit ilmu saat dia menunaikan S1 di jurusan Bahasa Inggris Keguruan.

Keguruan? Ya. Siapa yang menyangka bahwa Lova menjadi seorang penerjemah saat ini. Lova dikuliahkan dan dilatih menjadi seorang guru. Tapi dia tidak benar-benar menyukai dunia mengajar. Otak Lova tiba-tiba membeku jika berbicara tentang pendidikan.

Syukur-syukur bisa wisuda 3,5 tahun dengan IPK membanggakan pula. Gue tuh emang sehebat itu.

Oke, lupakan tentang kepedean dari gadis berkulit kuning langsat khas Indonesia ini.

Lova hanya ingin mewujudkan keinginan kedua orang tuanya yang tinggal di desa. Melanjutkan pedidikan dikeguruan dengan harapan sang anak sulung akan menjadi seorang guru.

Apalah daya Lova yang tidak tertarik dengan dunia guru mengguru. Lova sangat berterima kasih bahwa di program studinya juga mengajarkan tentang penerjemahan dan interpenur. Menjadi seorang tour guide atau penerjemah seperti saat ini adalah tujuan utamanya.

Jadilah Lova sebagai penerjemah novel asing. Lova tidak suka menulis. Dia hanya menyukai buku apa pun yang bisa dibaca dan bisa dinikmati menjadi sebuah karya seni.

Bersyukurnya Lova memiliki kedua orang tua yang mendukung apa pun keputusannya. Lova bahkan membantu pendidikan sang adik laki-laki yang sekarang tinggal bersamanya karena sedang menjalankan pendidikan kedokterannya.

Satu hal yang selalu menjadi beban di pikiran Lova saat ini adalah permintaan kedua orang tuanya agar dia bisa cepat menikah.

Pacar aja kagak punya.

Ini Indonesia. Yang umur 25 saja sudah di anggap perawan tua jika tak kunjung menikah. Sedang Lova sudah berada di umur 34 saat ini. Lova akan dengan senang hati berdiam diri di rumah saat berada di kampung halaman. Menghindari pertanyaan kapan menikah yang membuat mulut Lova gatal ingin menjawab, kapan meninggalkan dunia yang fana ini?

“Lov,” panggilan itu membuat Lova menoleh. Seseorang dengan baju yang sudah cukup berantakan mendekatinya. “Balik sama siapa lo?”

Lova melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan malam. Hari ini dia lembur, menyelesaikan novel yang harus di setor ke Pak Gustian, ketua timnya, dua hari lagi.

“Di jemput sama si Arnav, Mas.” Lova tersenyum menatap Rizal, teman sedevisinya, yang sekarang mengangguk.

“Arnavnya di mana?”

“Udah di bawah deh kayaknya.”

“Ya udah, hayuk. Bareng aja ke bawahnya.”

Lova mengangguk dan men-shut down komputernya. Meraih tas selempang dan hoodie pink yang bertengger di sandaran kursinya. Lalu berjalan mensejajari langkah Rizal.

Rizal. Pria baik yang menjadi salah satu idola di seluruh gedung penerbitan ini karena ketampanannya. Tubuh tinggi yang menyimpan otot-otot seksi di balik bajunya. Umurnya sudah memasuki tahun ke 36. Sayangnya, Rizal belum memiliki istri.

Banyak perempuan yang mengejar Rizal, sebenarnya. Tapi Rizal terlihat tidak peduli dan terkesan tak acuh. Mereka bilang Rizal itu angkuh, tapi Lova merasakan setiap perhatian tercurah dari pria dengan kulit lebih putih di bandingkan dengannya itu.

Lova bukan gadis yang tidak peka dengan apa yang terjadi. Lova mengerti, bahkan sangat mengetahui bahwa Rizal menaruh hati padanyanya. Tapi Lova tidak ingin membuat Rizal kecewa, bahwa sedikit pun Lova tidak pernah menganggapnya lebih dari seorang teman satu devisi.

Jadilah Lova yang membiarkan segalanya berjalan secara normal. Toh, Rizal belum menyatakan apa pun padanya meski sikap pria itu sudah menunjukkan bagaimana perasaannya.

“Hai, Nav.”

Pria muda yang duduk di atas motor matic besarnya itu menoleh dan tersenyum sambil melambaikan tangan.

“Eh, Bang. Mau ngejemput si Bibik, Bang.”

Arnav melirik ke arah Lova yang sudah mengacungkan kepalan tangannya di udara. Andai Rizal sedang tidak terkekeh saat ini, Lova pasti sudah menghajar adiknya itu habis-habisan.

Umur Lova dan Arnav terpaut sepuluh tahun. Sehingga Arnav lebih sering memanggilnya dengan sebutan bibik dibanding kakak. Dan sekarang Arnav sedang menyelesaikan kuliah kedokterannya yang tinggal setahun lagi.

“Masih cantik gini dikatain Bibik.” Senyuman Rizal yang melirik Lova membuat Arnav membulatkan bibirnya geli. Lova yakin bahwa pipinya sudah memerah sekarang.

“Gue duluan, deh. Hati-hati bawa motornya, Nav.”

“Siap, Bang.” Arnav mengacungkan salah satu jempolnya.

“Gue pulang, Lov.”

Sekilas Lova merasakan Rizal mengusap lengannya. Lova hanya tersenyum sambil mengangguk. Rizal berlalu dengan kedua kakak beradik yang masih melihat punggungnya.

“Dia suka sama lo tuh, Bik.” Arnav menyenggol lengan kakaknya kuat. Lova menoleh dengan wajah berkerut malas.

“Bocah aja. Sok tahu banget.”

“Eh, jangan salah ya, Bik. Gue gini-gini bisa ngebaca tuh bahasa tubuh orang lain. Dan gue liat, dia kayaknya suka sama lo.”

“Lo mau jadi dokter apa peramal? Awas aja gak selesai tuh pendidikan. Gue jadiin pisang krispi lo entar.” Ancaman Lova hanya berbalas gelakkan dari Arnav.

“Iya, iya. Ih galak amat si Bibik. Lagi PMS nih pasti. Hayuk, ah, pulang.”

Lova menerima sodoran helm dari Arnav. Dan naik ke belakang motor matic besar milik adiknya itu.

“Tapi dari pada lo ngejomblo mulu umur tiga puluhan begini, bang Rizal bisa jadi salah satu mangsa buat dijadiin khilaf sama lo deh, Bik.”

Lova memukul kepala Arnav yang di lapisi helm dengan helm yang masih di pegang oleh Lova.

“Masih aja!” Arnav terbahak. Lalu segera menjalankan motornya untuk menghentikan omelan sang kakak.

~.~.~.~

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel