Bab 12 Terungkapnya Kebenaran
Bab 12 Terungkapnya Kebenaran
Aku melihat Ayah memeluk dan mencium mesra ibuku. Dalam hatiku, aku sangat merindukan mereka berdua. Aku menginginkan pasangan hidup seperti Ayahku. Pasangan yang selalu ada dalam setiap suka dan dukaku. Dia yang selalu mendampingiku saat tersulit dalam hidupku, bukan seperti Matt yang telah mengkhianatiku.
"Cleo, aku juga pamit sebentar ya. Ada banyak tugas menantiku hari ini."
"Baiklah Helios, terimakasih banyak karena kau telah banyak menemaniku disaat tersulit dalam hidupku."
Helios tersenyum dan membelai lembut kepalaku, "Jangan sedih lagi, disini masih banyak orang-orang yang menyayangimu. Oh ya, aku akan memberimu sebuah telepon Cleo."
"Telepon? Untuk apa telepon itu Helios?"
"Untuk menghubungiku, saat aku sedang jauh dan tidak bisa mendengar suara hatimu."
"Suara hatiku? Jadi kau bisa mendengar suara hatiku selama ini?"
"Tentu saja bisa. Maka dari itu, kemarin aku bisa langsung muncul dihadapanmu saat kau berada di apartemen Lucy. Tapi, jika aku sedang bertugas aku tidak akan fokus dan tidak akan bisa mendengar suara hatimu jika memanggilku. Makanya aku memberimu telepon ini."
"Aku malu sekali Helios. Kenapa kau baru mengatakan hal ini padaku?"
"Kenapa malu? Tidak ada yang perlu kau takutkan padaku. Aku tidak akan pernah memberitahukan isi hatimu kepada siapapun."
"Tetap saja aku malu. Aku malu justru karena kau bisa mendengar suara hatiku Helios, kalau itu orang lain justru aku lega."
"Hahaha... Dasar aneh! Sudahlah pegang telepon ini erat-erat. Kalau kau membutuhkan aku, kau tekan saja nomer satu dari telepon itu. Nanti kau akan terhubung denganku dan kalau aku bisa meninggalkan tugasku aku pasti langsung menemuimu. Tapi jika aku tidak bisa menemuimu, aku akan meninggalkan pesan padamu di telepon itu. Mengerti?"
"Ya aku mengerti Helios."
"Baiklah aku pergi sekarang."
Sebelum Helios menghilang, aku menarik tangannya dan menatap wajah tampannya.
"Ada apa lagi Cleo?"
"Terimakasih Helios untuk semuanya."
Helios mengecup kepalaku lalu ia menghilang dalam pusaran angin yang datang dihadapanku. Aku terdiam terpaku. Tanganku meraba kepala yang dikecup Helios tadi, "Helios, apa yang telah kau lakukan padaku? Kenapa kau banyak melakukan hal yang manis untukku?" batinku.
Aku tersenyum dan aku duduk disamping ibuku. Ibu sedang mengelap tubuhku memakai washlap. Dia juga membantu suster untuk mengganti pakaianku.
Setelahnya ibu duduk kembali disisiku sambil memegang tanganku. Ibu menciumi tanganku dan ibu menangis. Aku sangat sedih melihat ibu bersedih seperti itu.
"Cleo, bangunlah Nak. Sudah satu minggu kau berada diatas ranjang ini. Apa kau tak merindukan ibumu ini Nak? Cleo, kasihanilah ibu yang sudah tua ini. Ibu tak bisa jika, terus melihatmu terbaring tak berdaya diatas tempat tidur ini," ibu berkata sambil menangis.
"Ibu, kumohon jangan menangis Bu. Aku ada disini, didekatmu. Aku sangat menyayangimu Bu. Kumohon hentikanlah tangisanmu Ibu. Aku sangat sedih melihatmu menangis seperti itu.
Tok tok tok!!
"Masuklah," kata ibu.
Aku melihat orang yang tak kuinginkan hadir didekatku. Aku sangat membenci orang itu. Rasanya ingin sekali aku meludahi wajahnya! Karena dia benar-benar orang yang licik dan bermuka dua.
"Tante, maaf aku baru sempat kesini," tukas Lucy.
"Oh, kau Lucy. Masuklah, tak apa Lucy. Tante paham jika kau dan Kia juga punya kesibukan lain diluar sana."
"Terimakasih Tante karena telah mau memaklumi semua kesibukanku. Bagaimana keadaan Cleo hari ini tante?"
"Masih sama seperti sebelumnya Lucy. Masih belum menunjukkan perubahan apapun juga."
"Bersabarlah Tante, mungkin saja nanti Cleo akan mendapatkan keajaibannya."
"Apakah mungkin keajaiban itu ada Lucy? Kenapa tidak? Kita harus selalu berdoa dan yakin pada keajaiban yang mungkin diberikan Tuhan kepada Cleo. Kita jangan berputus asa Tante."
"Ya Lucy ucapanmu memang sangat benar. Kau memang sahabat setianya Cleo. Cleo beruntung memiliki sahabat sepertimu."
"Ibu dia tak sebaik itu! Dia adalah musuh dalam selimut. Dia telah mengambil calon suamiku dibelakangku! Aku tak akan pernah menganggapnya sebagai sahabatku lagi!" teriakku penuh amarah.
Dua jam Lucy berbincang dengan ibuku dan menemaninya. Aku kesal sekali melihat keberadaannya disisiku. Dia dan Matt sama-sama seorang pengkhianat. Aku muak melihat mereka masih berada disekelilingku.
Kring kring kring!!
Ada bunyi telepon yang nadanya sama dengan telepon Matt. Kenapa aku baru tahu kalau bunyi nada dering mereka berdua juga sama.
"Hallo."
"Hallo sayang, kamu dimana? Ayo kita makan siang bersama. Kita bertemu di restoran biasa ya."
"Oh oke, aku masih di Rumah Sakit. Aku menengok sahabatku Cleo yang sedang sakit," Lucy menjawab telepon sambil melirik kearah ibu.
Setelah itu ia menutup teleponnya. Aku yakin itu pasti telepon dari Matt. Pasti mereka merencanakan sesuatu dibelakangku.
"Tante, sudah jam makan siang. Aku pamit pulang dulu. Besok kalau aku libur, aku akan kembali kesini lagi."
"Ya Lucy, terimakasih banyak ya. Hari ini kau telah menemani tante mengobrol sampai siang begini. Terimakasih karena kau adalah salah satu sahabat terbaik Cleo. Kau salah satu sahabat yang masih memperdulikan keberadaan Cleo."
"Sama-sama Tante."
Setelah berpamitan Lucy segera keluar dari ruang perawatanku. Aku penasaran dengan Lucy. Aku mengikuti Lucy dari belakang. Aku ingin tahu kemana ia akan pergi hari ini.
Lucy membuka pintu mobilnya, aku langsung masuk kedalam mobil saat ia membuka pintu. Aku duduk dikursi bagian belakang. Aku menatap Lucy dengan tajam. "Hai, Lucy! Kenapa kau tega sekali melakukan ini padaku! Bisa-bisanya kau berselingkuh dengan calon suamiku dibelakangku!" aku berteriak sendiri didalam mobil.
Lucy menjalankan mobilnya kearah restoran yang ia janjikan bersama seseorang yang ia telepon tadi. Aku berlari keluar saat Lusy membuka pintu mobilnya. Kuikuti Kemana Lucy berjalan.
Aku melihat Matt diujung meja sedang melambaikan tangannya kearah kami. Lucy mendekat dan kemudian mereka saling mencium pipi dan berpelukan didepanku.
"Hallo sayang, aku sangat merindukanmu," sahut Matt.
"Bukankah baru saja semalam kita menghabiskan malam berdua Matt."
"Ya tapi aku masih merindukanmu juga," Matt menciumi tangan Lucy.
Aku benci melihat mereka. Tapi aku penasaran dengan apa yang mereka bicarakan.
"Apa kau sudah mendengarkan perkataan dokter?"
"Perkataan yang mana?"
"Perkataan Dokter mengenai keadaan Cleo."
"Sudah. Aku sudah mendengar diagnosa Dokter tentang Cleo."
"Lalu bagaimana keputusan Dokter mengenai kondisi Cleo saat ini?"
"Cleo koma. Dokter tidak bisa memprediksikan kapan ia akan sadar."
"Bagus kalau seperti itu, kita bisa segera meresmikan hubungan kita kearah yang lebih lanjut."
"Bersabarlah dulu Lucy, tunggulah dulu beberapa saat lagi. Aku harus benar-benar memastikan kematian Cleo dulu. Setelah itu aku ingin melihat kehancuran keluarganya. Baru setelah semua impianku terwujud, aku bisa memikirkan hubungan kita kearah yang lebih lanjut lagi."
"Sebegitu bencinyakah kau Matt dengan keluarga Cleo? Hingga kau berniat melihat mereka hancur karena kehilangan Cleo."
"Tentu saja Lucy. Aku bahagia, karena akhirnya hari kehancuran mereka akan segera tiba."
"Apa kau memiliki dendam pribadi kepada Cleo? Sampai kau mengharapkan kematiannya?"
Matt tak menjawab pertanyaan Lucy berikutnya. Aku melihatnya tersenyum. Tapi senyumnya itu sungguh mengerikan. Seumur-umur aku mengenal Matt baru kali ini aku melihatnya tersenyum mengerikan seperti itu.
"Sudahlah, jangan bahas dia lagi. Lebih baik sekarang kita makan dengan nyaman. Aku malas membicarakan dia terus. Dia sudah tak penting bagiku sekarang."
"Kalau Cleo tak penting, lalu siapa yang paling penting menurutmu saat ini dalam hidupmu?"
"Apa aku masih harus menjawabnya Sayang?"
"Tentu saja Sayang, itu hal yang sangat penting bagiku."
"Tentu saja kamu Sayang. Kamu adalah hal yang paling penting dalam hidupku saat ini, esok dan selamanya."
Aku muak melihat dan mendengar perkataan mereka berdua. Sungguh, jika bukan karena aku ingin mengetahui lebih dalam apa rencana mereka sebenarnya kepada aku dan keluargaku, aku tak ingin berada disamping mereka seperti sekarang ini.
___Bersambung__