Bab 17 Pesona Anindya
Bab 17 Pesona Anindya
“Anindya, maaf saya tidak bisa datang dalam pameran. Kamu tidak apa datang menggantikan saya?” ujar Abel.
“Tidak masalah, Pak, saya akan hadir, dan menyambut yang datang.” Anindya kembali mempersiapkan segala sesuatu, termasuk dengan kesiapan dirinya.
Malam hari ia mempersiapkan pakaian yang akan digunakan. Anindya merasa harus tampil dengan sempurna di acara tersebut. Penampilan yang baik akan menambah kepercayaan diri, itulah menurutnya.
Anindya juga mengundang kedua orang tuanya. Karena ini adalah acara pertama yang Anindya rancang. Ia ingin orang tuanya juga ikut bangga padanya, dan bisa membanggakannya di depan teman-teman mereka.
“Acara ini pasti akan sukses besar, Ndy,” ujar Bu Risma.
“Doakan ya, Ma.” Anindya meminta restu dari ibunya.
Semua persiapan untuk besok sudah lengkap, ia yakin tidak akan ada yang tertinggal. Anindya segera bergegas istirahat agar saat bangun esok hari merasa segar.
*
Anindya datang sebelum yang lain. Ia mengecek semuanya yang tertata untuk pameran. Gadis yang teliti dan perfeksionis itu tidak membiarkan sedikit pun cela pada acaranya.
“Wah, Bu, Cepat sekali datang,” ujar salah seorang staf yang membantu dalam pameran.
“Hanya mengecek sebelum acara dimulai, di mana yang lainnya?” tanya Anindya.
“Sedang di luar mengecek yang lainnya, Bu.”
Anindya bergegas menemui staf-stafnya untuk menyampaikan beberapa pesan. Pembagian tugas pun ia lakukan. Anindya yang tegang, namun berusaha tenang mencoba mengarahkan dengan sebaik mungkin.
Sebelum semuanya bersiap di posisi masing-masing, Anindya mengajak mereka untuk berdoa terlebih dahulu. Setelah itu mereka pun melakukan yel-yel untuk menambah semangat. Anindya merasa senang stafnya sangat mudah diajak bekerja sama.
Petinggi perusahaan sudah mulai berdatangan. Anindya mengantarkan ke tempat yang telah disediakan. Senyum bahagia terus Anindya sematkan pada bibirnya. Acara di hotel mewah ini akan berjalan dengan lancar sesuai rencana.
*
Tamu undangan sudah berdatangan, acara sudah dipenuhi dengan orang-orang yang penasaran yang program yang diluncurkan oleh perusahaan properti ternama ini. Anindya terus memantau, dan melihat satu per satu orang yang hadir. Senyumnya semakin merekah lebar kali ini.
Bukan hanya tamu undangan yang hadir, para wartawan dari berbagai media masa juga banyak yang hadir untuk meliput acara tersebut. Pemberitaan ini pastinya akan melebar luas sehingga membuat nama perusahaan akan meroket.
Acara dimulai, pembawa acara memulai dengan sesuai urutan acara, dengan beberapa kata sambutan dari petinggi, termasuk Anindya. Semua tamu undangan memperhatikan, cukup kagum dengan adanya program yang disampaikan.
Setelah acara sambutan, pameran dimulai tamu undangan dipersilahkan melihat replika dari properti yang menjadi program mereka. Anindya menyempatkan diri untuk berkeliling, dan menyapa beberapa tamu undangan. Anindya melihat orang tuanya sedang berbincang dengan kenalan mereka.
“Ma,” sapa Anindya.
“Hi sayang, selamat untuk kelancaran acaranya, ya,” ujar Bu Risma.
Anindya juga menyapa undangan lainnya yang ia kenal. Dari jauh ia melihat Dion yang datang sebagai tamu undangan. Ia tidak ingat jika Dion diundang pada acara ini karena bukan sebagai target mereka.
Ingin rasanya menyapa, namun ia merasa tidak perlu, pasti akan menjadi sorotan tajam nantinya. Syahreza selaku direktur utama juga datang, namun hanya sebentar saja, lalu pergi meninggalkan acara. Maklum saja ia petinggi yang sibuk.
Anindya hanya melihat ke arah Dion sembari tersenyum dan menganggukan sedikit kepalanya. Dion membalas senyuman itu dan pergi dengan rekanan bisnisnya yang lain. Mereka bagaikan dua sejoli yang tak bisa bersatu namun masih memiliki rasa.
Tamu undangan lainnya terus berdatangan, dan menghampiri Anindya. Banyak pertanyaan seputaran program yang ia buat, dengan lancar dan semangat Anindya menjelaskan. Ia berharap dengan penjelasan ini promosi dari mulut ke mulut akan lebih cepat.
Dunia marketing memang tidak terduga. Selain dengan mengadakan acara besar seperti, promosi dapat dilakukan juga dengan gratis. Banyak orang mudah terpengaruh dengan perkataan orang lain, sehingga promosi dari mulut ke mulut selain gratis juga bisa cepat menyebarkan berita.
*
Tamu undangan pria juga banyak yang tertuju pada Anindya. Pesonanya masih terpancar menjadikannya ikon pada pameran tersebut. Tak jarang, para undangan lelaki menghampirinya hanya untuk bertanya basa-basi. Hal ini membuat Anindya mau tak mau meladeni mereka.
Selain bercengkrama dengan para undangan, Anindya juga menyempatkan diri untuk berbincang dengan wartawan. Dengan penampilannya yang sexy, dan cantik ia terus menjadi sorotan. Sesi wawancara pun digelar, dengan tata bicara yang memukau, Anindya terlihat jika ia adalah wanita cerdas yang memiliki banyak nilai.
“Sebenarnya, apa tujuan dari program ini, Bu?” tanya pewarta.
“Tujuannya adalah membantu kalangan menengah untuk mendapatkan kualitas properti kelas atas. Selain itu, membantu keluarga kecil mendapat hunian yang nyaman.” Anindya menjelaskan dengan senyuman manisnya.
“Apa harapan ibu dengan diluncurkannya program ini?”
“Saya berharap program ini dapat membantu, dan memberikan kemudahan. Juga, program ini nantinya akan memiliki proses yang tidak sulit, karena kita sudah menggandeng rekanan bank terkemuka untuk menjadi partner pembiayaan.”
Anindya dengan percaya diri menghadapi banyak wartawan. Penampilannya yang sedari malam ia persiapkan tampak sempurna menjadi sorotan. Wartawan juga banyak yang menyukai perbincangan dengan Anindya.
Setelah melakukan wawancara Anindya duduk sebentar untuk mengistirahatkan kaki, dan badannya. Ia menghelakan nafas panjang, dan memainkan Hp-nya sebentar. Beberapa lelaki kembali menghampirinya, namun ia hanya bersikap ramah saja.
“Hi, Ndy, Selamat ya.”
Anindya yang sedang melihat Hp-nya langsung menoleh ke arah suara tersebut. Seorang teman lama yang menyapanya. Vivi, sudah lama sekali tidak bertemu dengan Anindya, ia datang ke pameran karena pacarnya menjadi tamu undangan.
“Vivi, ya ampun, sama siapa?” tanya Anindya.
“Wah, masih ingat aku?”
“Ya, masih lah. Sama siapa?”
“Sama pacarku, dia lagi sama temennya tadi,” ujar Vivi.
Anindya mempersilahkan Vivi duduk. Mereka berbincang karena sudah lama tidak bertemu. Vivi juga memuji Anindya karena acara berjalan dengan sukses. Ia juga berkata jika perusahaan properti tempat Anindya akan terkenal karena banyak wartawan yang meliput.
Vivi juga memperkenalkan pacarnya yang juga adalah calon suaminya. Mereka sedang mempersiapkan kehidupan rumah tangga. Anindya turut senang atas kabar berita tersebut, ia pun menemani sahabat lamanya itu melihat pameran.
*
Dion sama sekali tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Anindya, rasa rindu itu nyata ia rasakan. Ia mencoba menghampiri Anindya dengan harapan bisa mengobrol sedikit saja. Namun, banyak mata yang tertuju padanya setelah isu skandal mereka terbongkar.
“Bu, orang itu dari tadi memperhatikan ibu,” ujar salah satu staf.
“Siapa?” Anindya melihat sekeliling.
“Bapak berdasi biru tua itu, serem, Bu.”
Anindya melihat sekeliling. Kembali ia memergoki Dion yang sedang memperhatikan. Ia tak tahu harus bagaimana lagi dengan Dion. Jika ia bersikap ramah, Dion akan salah paham dengan sikapnya tersebut.
Anindya hanya memberikan wajah datar dan memalingkan pandangan dari Dion. Ia berharap dengan sikapnya tersebut Dion tidak lagi memperhatikannya. Seperti suaru peringatan keras bagi Dion jika hubungan mereka sudah berakhir.
“Sudah biarkan saj, mungkin dia pernah melihat saya di suatu tempat, dan ingin memastikan,” ujar Anindya pada stafnya.
“Baik, Bu. Saya permisi mengurus yang lain dulu ya, Bu.” Staf Anindya pergi meninggalkannya.
Anindya kembali menghampiri salah seorang tamu undangan yang ia kenal. Mereka berbincang banyak terkait dengan program yang baru saja diluncurkan, semua memuji Anindya. Perasan bangga muncul karena pujian yang ia terima, namun ini tidak membuatnya besar kepala.
Anindya kembali duduk sendiri meregangkan badannya. Ia kembali fokus dengan HP-nya meng-update beberapa postingan di social media. Ia membiarkan tamu undangan mengeksplore pameran tersebut.
“Hi Ndy, apa kabar?” Seorang lelaki berusaha menyapanya.
Anindya seperti mengenali suara tersebut, ia tidak langsung melihat. Perasaannya sudah mulai tidak enak mendengar suara tersebut. Ia perlahan melihat ke arah lelaki itu, wajahnya langsung berubah tidak ramah sama sekali.
Anindya berusaha mencari cara untuk menghindari lelaki ini, namun sebagai pemilik acara ia harus melayani dengan ramah. Sebisa mungkin hanya kata-kata penting yang akan ia keluarkan. Dia tidak ingin berlama-lama beramah tamah dengan laki-laki yang saat ini sedang menatapnya dalam.
***