Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Pengkhianatan dan Perpisahan

Bab 1 Pengkhianatan dan Perpisahan

Hujan kembali mengingatkan semua hal yang sudah dilewati bersama. Entah bagaimana bisa semua berlalu tanpa kesan yang indah di akhir. Nyatanya, kisah yang tidak berakhir bahagia itu ada, bahkan banyak terjadi. Dengan derasnya hujan yang turun ingatan menyakitkan mulai menumbuhkan kebencian lagi dengan mengingat apa yang terucap terakhir kalinya untuk perpisahan hubungan yang sudah lama terjalin.

Memori itu kembali terlintas. Malam yang dingin, di bawah langit berhiaskan bintang, dua insan dihadapkan dengan situasi tegang. Lelaki yang duduk di hadapan pacarnya mulai mengeluarkan suara, "entahlah, mungkin aku sudah bosan, atau mungkin kita memang tidak berjodoh, sehingga hatiku berpaling kepadanya." Laki-laki itu berkata dengan jelas meskipun tidak berani menatap kedua bola mata gadis yang duduk di depannya. Anindya Shakila Atmarini, gadis dengan penampilan sederhana yang mendengar perkataan Kenzo Julian hanya bisa menahan air mata dan rasa sakit di hatinya sekuat tenaga.

*

"Jadi kamu maunya gimana?" tanya Anindya meminta kejelasan kepada kekasihnya.

"Tunggu sampai kamu dapat pekerjaan, dan kita menabung bersama. Aku tidak sanggup jika harus berjuang sendiri," ujar Kenzo.

Lelaki itu tidak menunjukkan niat baiknya sama sekali. Ia mengulur waktu tanpa meyakinkan kekasihnya bahwa mereka akan mendapatkan akhir cerita yang bahagia. Entah apa yang ada di pikirannya, tujuh tahun mereka bersama pembicaraan serius itu selalu menjadi pembicaraan omong kosong.

Anindya dengan ketulusannya terus bersabar. Apapun keputusan yang diambil bersama ia yakin pasti itu yang terbaik untuk hubungan mereka. Bukan bermaksud menjadi perempuan yang lemah, ia hanya ingin hubungannya baik-baik saja. Lagipula jika mereka menikah nanti ia harus menghormati Kenzo sebagai suaminya.

Anindya sebenarnya sudah melamar kemana-mana, namun memang nasibnya belum beruntung saja. Belum satupun dari perusahaan yang ia kirimi lamaran memanggilnya. Pak Setyo, Papa Anindya juga berusaha untuk membantu mencarikan pekerjaan, menanyakan ke teman dan sanak saudara. Kabar terakhir, Pakde Ranto memiliki kenalan di perusahaan property terkemuka di kota mereka.

"Jangan senang dulu jika ada kenalan di perusahaan itu, belum tentu mereka akan melihat lamaranmu." Kenzo merespons Anindya dengan reaksi yang datar.

Tak butuh waktu lama sejak lamaran dikirimkan Anindya dipanggil untuk interview sebagai staf Finance. Dengan gembira Anindya mengabari Kenzo. "Sayang, aku dipanggil untuk interview minggu depan," ujar Anindya di telepon.

Kenzo terdengar berbisik-bisik berbicara di telepon, "Selamat sayang. Nanti kita bahas lagi ya, aku lagi di luar ketemu orang penting."

"Kamu lagi di luar?" tanya Anindya.

Tanpa menjawab pertanyaan, Kenzo mematikan telepon. Anindya sedikit kesal, dan merasa aneh. Sepanjang hari ini Kenzo tidak mengabarinya, dan sekarang ia sedang di luar untuk bertemu seseorang. Tidak ingin menaruh curiga terlalu dalam, Anindya mengalihkan pikirannya untuk persiapan interview.

*

"Sayang maaf, kemarin aku sedang ada urusan, ada tawaran pekerjaan dari salah seorang teman, jadi aku menemuinya kemarin," jelas Kenzo yang menemui Anindya di rumahnya.

"Lama juga ya kamu pergi dengan temanmu. Sampai hari ini baru kamu mengabariku," ujar Anindya.

"Bukan begitu sayang. Oh iya, bagaimana dengan interview kerja itu? Aku senang sekali kamu bisa dipanggil di perusahaan ternama," ujar Kenzo berusaha mengalihkan pembahasan.

Anindya masih menaruh kesal kepada pacarnya. Iya berusaha tidak menjawab apa yang ditanyakan. Tapi seperti biasanya, hatinya selalu bisa luluh dengan rayuan dan ucapan Kenzo. Hal inilah yang membuat mereka bisa bertahan sampai bertahun-tahun. Entah karena kebodohan Anindya atau rasa cintanya yang terlalu dalam.

*

Hari interview tiba, Anindya berdandan rapi, dan sedikit merias wajahnya. Kenzo yang menjemput terpesona dengan penampilan kekasihnya. Ia tak menyangka, Anindya bisa terlihat secantik ini jika ia berdandan. Walaupun dandanan yang ia gunakan bukan riasan yang mencolok.

Anindya menghampiri, dan memakai helm di hadapan Kenzo, Kenzo tak dapat berhenti tersenyum.

"Ada apa? Penampilanku terlalu mencolok? Riasanku terlalu tebal?" ujar Anindya.

"Gak kok, Ndy. Kamu cantik, sesuai dengan penampilanmu. Aku suka.Coba kamu berdandan seperti ini setiap hari," ujar Kenzo.

"Kamu tahu bukan, jika aku sama sekali tidak tertarik dengan riasan. Ini karena aku terpaksa mengenakannya untuk interview kerja." ujar Anindya. Dengan muka ketusnya ia berjalan menaiki motor Kenzo.

Setelah menurunkan Anindya, Kenzo berpamitan untuk menemui temannya sembari menunggu Anindya. Rio-sahabat karib Kenzo-telah menunggu dengan sepupunya di salah satu cafe yang tidak jauh dari tempat interview. Mereka merencanakan bisnis bersama, juga hal lainnya.

*

Satu minggu setelah interview berlangsung. Akhirnya Anindya diterima bekerja di perusahaan property ternama. Ia berjanji akan memberikan yang terbaik untuk perusahaan itu. Rasa syukur tak henti Anindya ucapkan, bukan hanya dia, kedua orang tuanya juga turut berbahagia. Namun, tidak dengan Kenzo, ia sama sekali tidak terlihat senang.

Sesuai dengan diskusi yang telah mereka lakukan, Kenzo akan melamar Anindya ketika ia telah diterima kerja di perusahaan itu, dan mulai menabung bersama untuk pernikahan mereka. Tentu saja Anindya ingin menagih perkataan Kenzo tersebut. Anindya mengajak Kenzo bertemu agar lebih leluasa untuk berbincang.

Sabtu ini ketemu ya, WhatsApp Anindya.

Hampir dua jam WhatsApp-nya tidak dibalas, dan sekalinya dibalas Kenzo seperti menghindar.

Rio ngajak ke pestanya Juna, sayang. Dia sudah bilang dari kemarin, aku lupa mau bilang sama kamu.

Anindya tahu Rio adalah sahabat karib Kenzo, sehingga ia pun tidak bisa berkata apa-apa. Ia memiliki inisiatif untuk mengunjungi keluarga Kenzo. Selain untuk bersilaturahmi, ia juga ingin memancing pembahasan terkait dengan lamaran yang sudah Kenzo rencanakan. Bukan bermaksud agresif, ia hanya ingin memastikan saja apakah keluarga Kenzo mengetahui rencana lamaran itu, atau rencana itu hanya omong kosong saja untuk membuatnya selalu luluh.

Sabtu pagi, saat libur bekerja, ia bertandang ke rumah Kenzo tanpa menghubungi terlebih dahulu. Jam 10.00, biasanya Kenzo belum bagun, ia membawakan beberapa buah tangan untuk keluarga kekasihnya itu. Namun, adik Kenzo yang membukakan pintu terkejut melihatnya datang.

"Kak, Ndy," ujar Farid dengan wajah tegang.

"Ibu ada?" tanya Anindya dengan senyum manisnya.

"A … ada, Kak. Masuk dulu," ujar Farid mempersilahkan Anindya masuk.

Anindya menunggu dengan wajah bahagianya. Tak lama, Bu Rosa menghampiri Anindya.

"Eh, Ndy. Tumben sekali kesini," ujar Bu Rosa.

Anindya menyalami, dan memberikan buah tangan yang ia bawa.

"Aduh, repot-repot sekali," tambah Bu Rosa

"Tidak kok, Tante. Ibu sehat?" jawab Anindya.

"Sehat kok. Kamu ke sini sendiri? Tante kira kamu di jemput Kenzo. Sekitar jam 9 tadi dia sudah pergi," ujar Bu Rosa.

"Pergi, Tante? Kemana, Tan?" tanya Anindya terkejut.

"Menjemput seseorang katanya."

Anindya semakin tak habis pikir, Kenzo tak mengabarinya sama sekali, dan langsung pergi begitu saja. Ia tetap berpikiran positif, mungkin saja kekasihnya pergi dengan Rio. Ia melanjutkan obrolan dengan Bu Rosa, dan melupakan pikiran negatif yang terus timbul.

*

Tiga bulan sudah Anindya bekerja, dengan begitu masa percobaannya sudah selesai dan ia menjadi karyawan tetap. Selama tiga bulan itu pula ia berusaha menabung agar rencananya dengan Kenzo dapat terwujud. Namun, Kenzo masih belum ada pembahasan lebih lanjut. Meskipun Pak Setyo sudah bertanya keseriusan Kenzo, tetapi tidak ada kejelasan yang diberikan. Orang tua Kenzo pun tidak membahas apapun kepada Anindya ketika ia datang ke rumah mereka.

Anindya berusaha untuk berbicara kepada Kenzo setiap kali mereka bertemu, namun kekasihnya itu selalu mengalihkan pembicaraan. Kali ini, ia kembali ingin membahas rencana mereka sebelumnya melalui chat.

Sayang, lagi sibuk? tanya Anindya.

Menunggu cukup lama, akhirnya Kenzo membalas, Lagi duduk di luar. Kenapa, Ndy?

Aku mau bahas sesuatu, balas Anindya.

Apa? tanya Kenzo.

Kita sudah tujuh tahun bersama, dan sebelumnya kamu berkata akan merancang lamaran ketika aku sudah mendapatkan pekerjaan. Apakah kamu tidak ada pikiran untuk hal itu lagi? tanya Anindya.

Nanti kita bicarakan. Aku mau keluar sama Rio dulu, balas Kenzo.

Kenzo menghilang dan tidak membalas chat Anindya. Kecewa, sedih, marah bercampur jadi satu saat ini. Berusaha untuk menghilangkan kekecewaan dengan terlelap sejenak, mungkin bangun nanti semua akan kembali baik-baik saja.

*

Sabtu malam, Anindya berpamitan dengan Kenzo untuk pergi dengan teman-temannya. Kenzo mengizinkan, ia juga akan pergi dengan teman-temannya. Di jalan pikiran gadis berpenampilan sederhana itu berpetualang jauh, ia lebih banyak termenung. Sedikit banyaknya yang ia pikirkan adalah hubungan dengan kekasihnya.

"Melamun aja kamu. Ini malam minggu, cuma kita aja," ujar Vivi menghibur.

"Ah, tidak kok. Jadi kita mau kemana?" tanya Anindya.

"Ada cafe asik banget, kalau tidak salah baru buka. Yang punya ganteng katanya," ujar Nova.

"Kamu ini, lelaki saja yang dipikirkan."

"Inilah nikmatnya menjadi single, bisa melirik kemana saja," ujar Nova tertawa.

Sesampainya Vivi, Nova, dan Anindya di cafe tersebut, Vivi harus berpamitan karena adik lelakinya yang mengalami kecelakaan. Nova menawarkan diri untuk mengantarkan karena mereka pergi dengan mobilnya. Tetapi, Vivi tidak enak dengan kedua temannya, sehingga ia memutuskan menggunakan taxi saja.

Setelah mengantarkan Vivi pergi, mereka pun masuk ke dalam cafe. Gelagat Nova sudah tidak enak, ia berusaha sesegera mungkin untuk pergi dari cafe tersebut.

"Kenapa sih, Va?" tanya Anindya.

"Aduh, pokoknya kita harus pergi dari sini. Kamu mau kemana aku anterin deh, asal gak di sini, ya," ujar Nova,

"Iya, tapi kenapa?"

"Sudahlah, ayok kita pergi." Tarik Nova.

"Apaan, sih, Va."

Nova berhasil menarik Anindya pergi dari cafe tersebut. Anindya masih bingung, mengapa sahabatnya mendesak ingin berpindah tempat, seperti ia baru saja melihat mantan pacarnya yang tidak ingin ditemui. Namun bukan mantan pacarnya yang ia lihat, melainkan pacar dari sahabatnya, Kenzo.

Di mobil yang berjalan, Anindya melihat Kenzo sedang tertawa bersama seorang wanita cantik. Ia merangkul wanita itu dengan riang dan gembira, dan yang tak terduga, di tempat itu ada Farid, adik Kenzo. Anindya pun meminta Nova memberhentikan laju mobil.

"Va, berhenti, Va …," ujar Anindya memegang tangan Nova.

"Ha, kenapa?" tanya Nova yang tidak juga berhenti.

"Va, berhenti …!" teriak Anindya di dalam mobil.

Ia pun turun dari mobil, dan kembali berjalan ke cafe yang baru saja mereka kunjungi. Anindya hanya berdiri di depan cafe tersebut, menghadap ke arah Kenzo, dan menatapnya dengan penuh air mata. Kenzo yang tak sadar, masih merangkul gadis di sampingnya, dan tertawa bahagia.

Farid yang pertama kali menyadari keberadaan Anindya mendadak terdiam. Ia berusaha memberikan kode kepada Kenzo. Ketika Kenzo melihat Anindya, ia hanya menatap dengan wajah lesunya. Ia berpamitan sebentar, dan beranjak dari duduknya untuk menemui kekasihnya.

Namun, Anindya sudah tak sanggup bertemu dengan Kenzo, ia beranjak pergi dengan tangisannya. Ia berlari memasuki mobil Nova, dan meminta Nova pergi dengan secepat mungkin.

*

Kenzo mulai mencoba merayu dan mengajak kekasihnya bertemu. Anindya setuju, namun ia tidak ingin dijemput oleh Kenzo. Mereka janjian di cafe outdoor yang biasa mereka kunjungi. Entah rayuan apa yang akan dikeluarkan Kenzo kali ini, dan alasan apa yang akan digunakan kali ini.

Anindya datang tanpa melihat Kenzo. Ia duduk dan mengalihkan pandanganya, minuman kesukaan Anindya sudah tersuguh di atas meja. Kenzo masih diam seribu bahasa, ia yang cakap dalam berbicara dapat terpaku, dan bungkam.

"Gimana perjalanan ke sini tadi?" tanya Kenzo.

"Jangan banyak basa-basi. Apa yang mau kamu katakan?"

Kenzo menarik nafas panjang, dengan pelan ia berkata, "Aku tidak akan membela diri kali ini. Aku akan memberikan pengakuan. Selama hampir satu tahun ini aku menjalin hubungan dengan perempuan itu."

Anindya menundukan kepalanya, ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, dan mencoba tetap tegar.

"Entahlah, mungkin aku sudah bosan, atau mungkin kita memang tidak berjodoh, sehingga hatiku berpaling kepadanya." Kata-kata yang dikatakan Kenzo sangat jelas.

Anindya ingin pergi, namun tak sanggup mengangkat tubuhnya, juga tak sanggup untuk melihat Kenzo. Ia mengalihkan pandangan ke sudut lain untuk menenangkan hatinya, dan sekuat tenaga tidak mengeluarkan air mata. Kenzo hanya menunduk diam setelah mengatakan ucapan yang sangat menyakitkan itu.

"Aku minta maaf, Ndy," ucap Kenzo.

Anindya masih terdiam. Ia menarik nafas dalam, dan mulai bersuara, "setelah sekian lama bersama? Kita sudah berjanji, akan membahas apapun, termasuk kebosanan dalam hubungan. Tapi sekarang …" Air mata Anindya mulai jatuh.

"Aku tak bisa membohongi perasaan setelah bertemu dan bersama dengannya. Aku sudah memutuskan akan menikah dengannya. Aku harap kamu bisa paham." Kenzo pergi begitu saja meninggalkan Anindya.

Anindya menangis tersedu setelah Kenzo beranjak. Dadanya terasa semakin sesak, ia memegang gelas dengan erat, dan meluapkan tangisannya. Banyak hal yang muncul di pikiran yang membuatnya semakin larut dengan kesedihan. Tidak ingin semakin menjadi pusat perhatian, Anindya memutuskan untuk pulang.

*

Sesampainya di rumah, Bu Risma dan Pak Setyo, Mama dan Papa Anindya yang sedang bersantai menonton TV melihat wajah Anindya yang sembab. Anindya yang hanya memberikan senyuman bergegas memasuki kamarnya.

"Ndy …" panggil Bu Risma. Anindya mengabaikan panggilan itu, sesegera mungkin ia menutup pintu dan menguncinya.

"Pa, itu kenapa?" tanya Bu Risma khawatir.

"Coba cek dulu," ujar Pak Setyo.

Bu Risma bergegas menghampiri Anindya. Dari luar, sayup-sayup terdengar suara tangisan. Bu Risma semakin khawatir, berusaha memanggil, namun tidak ada jawaban yang diberikan.

"Ndy, ngobrol, yuk," rayu Mama.

Tak tahan dengan kesedihan yang ia rasakan Anindya pun memeluk Mamanya. Elusan yang diberikan oleh Bu Risma membuat Anindya sedikit tenang. Bu Risma mengajaknya masuk ke kamar, dan menutup pintu.

Anindya menelepon Vivi, ia menangis hingga tak dapat berbicara. Vivi sangat khawatir, entah apa yang terjadi padanya malam-malam seperti ini. Anindya meminta Vivi menemaninya tidur malam ini, banyak hal yang ingin ia bicarakan. Kesedihannya tak bisa ia ungkapkan hanya melalui telepon saja.

Vivi yang merasa khawatir bergegas menuju rumah Anindya. Entah apa yang akan terjadi jika Vivi tahu cerita sebenarnya. Mungkin saja ia akan mendatangi Kenzo dan memakinya. Vivi tak pernah melihat Anindya menangis sampai tak bisa berbicara, ia memiliki firasat pasti yang dialami sahabatnya itu bukan masalah biasa.

Untungnya rumah Vivi dan Anindya tidak begitu jauh, sehingga tak butuh waktu lama untuk sampai. Seperti kebanyakan sahabat, Vivi langsung bergegas masuk ke dalam.

"Malam, Om," salam Vivi.

"Malam, Vi. Ndy ada di kamar sama tante," ujar Pak Setyo.

Vivi bergegas ke kamar Anindya. Ia melihat wajah sembab, dengan mata bengkak, juga hidung memerah Anindya. Ia menghampiri sahabatnya itu dan memberikan pelukan.

"Are you okay?"

Tangisan kembali pecah. Bu Risma membiarkan kedua sahabat itu saling berbicara. Ia berharap gadis kecilnya dapat kembali ceria seperti dulu. Sakit rasa hati melihat anak tercintanya menangis karena cinta, namun ini adalah kehidupan dewasa yang harus dijalani. Bukankah putus cinta itu biasa?

"Calm down. Tarik nafas, tenangin diri, baru kita ngomong," ujar Vivi.

Sedikit merasa tenang, Anindya mulai bercerita.

"Vi, aku ada salah? Apa aku kurang menarik? Aku membosankan? Atau …" Pertanyaan- pertanyaan terus diberikan kepada Vivi. Vivi mulai bisa membaca ada apa sebenarnya. Dalam situasi seperti ini, Vivi mencoba tenang.

"You are the best person that I know. Kamu orang baik, Ndy."

Vivi ingin terlebih dahulu mendengarkan keluh-kesah sahabatnya itu, lalu ia akan berkomentar banyak. Vivi sangat menenangkan karena itulah Anindya menelepon Vivi untuk menemaninya.

Cerita dimulai tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh Kenzo. Bercampur tangisan, Anindya terbata mengucapkan kata demi kata. Sesekali Vivi mengusap punggung Anindya untuk menenangkan.

Di akhir ceritanya, Anindya tetap melontarkan perasaan sayangnya kepada Kenzo, bagaimana ia berusaha menjadi yang terbaik selama tujuh tahun bersama. Namun tampaknya semua yang Anindya lakukan telah sia-sia. Ia menyadari, hubungan yang telah lama dijalani tidak memberikan jaminan akan bersama selamanya. Ia pun berusaha membangun benteng kebencian.

*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel