Bab 12 Graduation Day
Bab 12 Graduation Day
Hari yang ditunggu oleh para mahasiswa Universitas Tunas Bangsa telah tiba. Sebuah photobooth menjadi tempat berkumpul para gerombolan mahasiswa yang ingin berfoto bersama dengan teman-temannya maupun dengan keluarga atau pacar yang ikut mengantar wisuda mereka.
Naura juga dua temannya sedang ikut berkerumun di depan photobooth bersama dengan keluarga mereka. Tiba saatnya mereka untuk berfoto ria. Dimulai dari Naura beserta keluarga, lalu Agni dan Via yang juga berfoto dengan keluarga mereka. Tak lupa mereka bertiga berfoto bersama. Bahkan agni pun berfoto dengan pacarnya. Via dan Naura yang memang tak memiliki pacar alias jomlo menaun pun tak lupa foto berdua. Gabriel juga tak lupa mengajak adiknya berfoto berdua.
Setelah berfoto mereka pun memasuki ruang tempat wisuda ini diadakan. Mereka duduk bersama didampingi dengan kedua orangtua masing-masing. Mereka bercengkrama ringan sambil menunggu namanya dipanggil untuk menghilangkan kecemasan yang melanda diri mereka. Setelah menunggu lama, akhirnya nama mereka telah dipanggil dan mereka telah mengikuti prosesi hingga akhir. Dengan bangga mereka berpelukan melepas semua rasa campur aduk yang ada di dada mereka.
“Akhirnya gelar sarjana dah kita dapat. Dan kita bisa bener-bener lulus bareng,” ujar Agni pada kedua temannya dengan senyum yang merekah di wajah mereka.
Setiap mahasiswa memiliki fasilitas yang berupa foto studio untuk mereka yang menginginkannya. Agni dan dua temannya pun tak menyia-nyiakan fasilitas itu. Mereka beserta keluarga menuju ruangan yang disediakan yang telah diubah bak studio foto.
Mereka hanya melakukan foto sendiri dengan toga mereka yang sudah dipindahkan talinya dalam prosesi tadi. Tak lupa Photografer menyuruh mereka berfoto dengan keluarga masing-masing. Setelah melakukan berbagai hal dan prosesi hari ini, hari pun semakin berlalu dan mereka mulai meninggalkan tempat wisuda dengan membawa ijazah mereka yang telah diterima pada hari ini.
***
Gabriel harus segera kembali ke Surabaya setelah mengikuti wisuda adiknya. Naura pun menyempatkan mengantar kakaknya meski dia masih lelah. Gabriel pun terlihat jelas bahwa dia sedang lelah. Naura duduk di kafe yang ada di bandara bersama dengan kakaknya. Mereka berangkat sengaja jauh dari jam terbang karena ingin berdua sebelum terpisah kembali.
Naura terlihat tidak rela untuk berpisah kembali dengan kakaknya yang baru bertemu beberapa hari. Naura bermanja pada kakaknya dan mengobrolkan banyak hal. Gabriel sungguh mengatakan akan menikahi kekasihnya sebentar lagi dan akan tinggal bersama Naura, meski hanya sebentar.
“Kakak akan sebentar di Surabaya. Kakak selesaikan semua yang di sana dan pindah di sini sama kamu. Tapi, kakak juga akan segera menikah sama Shilla. Kamu terima ‘kan kalau kakak gak tinggal di rumah Mama?” tanya Gabriel yang melihat adiknya menikmati minumannya. Naura mendongakkan wajahnya melihat kakaknya yang menatapnya sendu.
“Kenapa gue harus gak terima? Selama lo ada sama gue, di kota yang sama aja gue udah senang kok, Kak. Setidaknya ada alasan gue buat lebih berdiri tegak dengan semua sikap Mama,” jawab Naura. Naura memberikan senyum untuk Kakaknya agar pria itu tidak khawatir dengannya.
“Ra, lo punya hak buat menolak. Lo pakai itu, meski lo anak, saat Mama sudah terlalu melewati batasnya, lo bisa menyanggahnya atau malah menolak dan melarangnya,” kata Gabriel. Naura tersenyum sinis mendengar Kakaknya mengatakan hal tidak berguna seperti itu.
“Tapi, itu tidak berfungsi buat gue dan Mama, Kak. Mama akan selalu punya banyak cara untuk memaksa gue untuk mengikuti kemauan Mama apapun itu,” sahut Naura.
“Lo kapan mau berangkat ke Surabaya?” tanya Gabriel mengalihkan topik.
“Besok. Gue besok berangkat, entah Mama sama Papa kapan. Yang jelas gue besok berangkat. Aturan lo berangkat aja sama gue, Kak,” jawab Naura.
“Sorry, Ra. Besok gue ada meeting mendadak. Gak mungkin gue undur beberapa hari ke depan. Ini aja gue undur beberapa jam biar gue bisa istirahat sebentar. Besok gue akan jemput lo dan antar lo ke apartemen gue,” kata Gabriel merasa bersalah karena harus cepat kembali. Naura menghela napas panjang dan menganggukkan kepalanya meski sedikit tidak rela melihat Kakaknya bekerja keras.
“Lo harus traktir gue besok. ‘Kan mestinya hari ini, tapi lo balik,” keluh Naura.
“Iya, besok gue banyak traktir lo. Tapi, yang tahu kondisi gue ya. Gue lagi nabung buat nikah sama sahabat lo,” pesan Gabriel.
“Halah, lo mah gak usah pakai acara nabung juga bisa bawa Shilla ke KUA,” ujar Naura enteng membuat Gabriel tertawa.
Gabriel pun harus segera masuk saat panggilan untuk pesawatnya terdengar. Naura melihat punggung kakaknya yang berjalan meninggalkannya setelah memberi ciuman perpisahan di puncak kepalanya. Selama ada kakaknya rasa sedih dan kesal atas Mamanya bisa luluh karena keberadaan kakaknya yang selalu mendukungnya.
“Gue harap lo bahagia selalu Kak sama Shilla. Gue sayang sama lo meski gue selalu bikin lo kesal dan sebaliknya,” gumam Naura saat punggung kakaknya sudah tidak lagi terlihat.
Naura meninggalkan bandara dan masuk ke dalam mobilnya untuk pulang. Selama perjalanan pulang Naura merasa ingin sebuah ketenangan. Dia menjalankan mobilnya menuju pantai biasa dia datangi. Di bawah sinar rembulan, Naura memejamkan mata mendengarkan suara ombak.
Setelah puas, barulah Naura memilih untuk pulang. Gadis itu menjalankan mobilnya dengan perlahan untuk memperlama sampai ke rumah. Dia bahkan berputar mengelilingi kota. Entah setelah kakaknya kembali ke kota perantauan, rasa nyaman di rumah juga ikut terkikis.
“Assalamualaikum.” Naura mengucap salam saat masuk ke dalam rumahnya. Terlihat kedua orang tuanya sedang berada di ruang keluarga menonton tv. Naura menyalami keduanya dan Pak Ilham menyuruhnya duduk terlebih dahulu. Pak Ilham mematikan tv dan menoleh ke putrinya.
“Ara, sabtu besok kita ketemu sama keluarga Om Rangga. Jadi kita gak bisa lama di Surabaya. Kamu jelaskan juga ke kakak kamu,” kata Pak Ilham memberi tahu.
“Oh, benaran jadi ya, Pa. Ya udah, Ara berangkat besok ke Surabaya nyusul Kakak. Kakak ada janji sama Ara,” sahut Naura yang mencoba biasa saja meski dongkol sudah hinggap di dadanya.
“Maaf ya, Sayang. Kamu bisa istirahat aja dulu kalau gitu. Besok kamu berangkat sendiri ke Surabayanya. Papa sama Mama baru bisa lusanya saat hari wisuda Shilla,” kata Pak Ilham. Bu Rani hanya melihat anaknya itu.
“Iya. Ara masuk kamar dulu. Mau siapkan barang buat besok,” kata Naura yang langsung melenggang pergi meninggalkan kedua orangtuanya.
Di dalam kamar, Naura membuang hpnya ke tempat tidur dan mengunci pintunya. Ruang kamar Naura yang kedap suara sungguh menguntungkan membuat Naura bisa melampiaskan kekesalannya. Dia berjalan menuju balkon dan menyapa angin malam yang berhembus.
Sebuah pikiran janggal mulai menghinggap di kepala Naura. Rasa ragu tentang keputusannya mulai hinggap. Dia sangat mengenal Mamanya yang akan terus memaksanya dan melakukan banyak cara untuk Naura mengikuti permintaannya.
Rasa ragu itu hadir saat dia berpikir, jika dia merasa tidak cocok dengan calon yang menjadi pilihan kedua orang tuanya, apa yang akan terjadi selanjutnya. Naura memikirkan banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi jika hal itu menjadi nyata.
“Kalau gue gak setuju nantinya, Mama benaran bakal membatalkan apa enggak? Kenapa gue tiba-tiba gak yakin?” gumam Naura pada dirinya sendiri.
“Apa gue cari pacar ya?” tanya Naura pada dirinya sendiri.
Naura memilih masuk kembali dan memikirkannya sambil menyiapkan barang untuk dia ke Surabaya besok. Naura memasukkan satu persatu baju dan keperluannya hingga pikirannya tiba-tiba menemukan ide konyol.
“Gue akan cari pacar setelah melihat dia siapa. Urusan cari di mana itu gampang. Aplikasi cari jodoh sudah ada sekarang, ya kali gue harus nikah tapi di paksa,” gumam Naura sambil menutup kopernya.
**