Bab 5. Keraguan Dalam Penjelasan
Aroma rumah sakit yang khas kembali menyapa Belva. Sekitar setengah jam yang lalu dia duduk di ruang tunggu pasien sambil menyalakan radar waspadanya untuk mencari sosok Ares di antara orang-orang yang berlalu-lalang.
Beberapa detik yang lalu dia mulai memikirkan kemungkinan buruk tentang satu hal, bisa saja hari ini adalah jadwal pria itu libur. Satu hal yang tidak pernah dia perkirakan sebelumnya. Namun meskipun begitu, dia tetap duduk di sana, dengan terus memperhatikan sekitar.
Sampai akhirnya, dia menangkap sosok yang dia kenal. Ares Ducan, sedang berjalan di lorong yang berada di sisi kirinya, terlihat sendirian dan tidak terlihat tergesa-gesa. Belva menghela napas lega, kekhawatirannya telah terbantahkan. Saat itu juga, dia langsung berdiri dan setengah berlari untuk kembali menemui Ares.
Raut wajah Ares terlihat tidak senang ketika menyadari siapa yang saat ini sedang mengarah padanya. Pria tampan itu menghela napas saat Belva telah berdiri di depannya. Tampak jelas Ares tak menyukai keberadaan Belva.
“Maaf, aku menemuimu lagi hari ini,” ucap Belva pelan, dengan tatapan dalam pada Ares.
Ares tidak menyahut, dia hanya menatap kesal pada Belva. “Minggir, Nona,” sinis pria tampan itu seakan tak ingin diganggu.
Dada Belva berdenyut sakit saat menghadapi penolakan Ares lagi. Namun dia tidak bisa menyerah begitu saja. Ada nyawa yang harus dia perjuangkan untuk mendapat pengakuan ayahnya.
“Kau harus mendengarkanku, Ares. Aku tidak berbohong tentang hal yang kuucapkan kemarin padamu. Aku benar-benar hamil, dan aku membutuhkan pertanggung jawabanmu!” Nada bicara Belva sedikit meninggi, akibat rasa kesal yang timbul dibuat oleh Ares.
Fokus Ares terpecah saat dia melihat ayahnya—Zeus, dokter bedah terbaik di Alpha Hospital yang terlihat dari kejauhan. Pria paruh baya yang masih sangat tampan itu tampaknya baru keluar dari ruang operasi.
Wajah Ares terlihat gusar karenanya. Dia tidak ingin sang ayah mendengar masalah ini. Tanpa berpikir panjang, dia menarik tangan Belva dan membawanya ke arah parkiran khusus dokter dan karyawan rumah sakit yang selalu sepi.
Langkahnya terus maju sampai dia berhenti di sebuah mobil sedan hitam mewah. “Masuklah,” perintahnya pada Belva.
Meskipun sedikit bingung, tapi Belva segera menuruti perintah Ares untuk masuk ke dalam mobil. Sementara pria tampan itu telah memutar dari arah depan dan bergegas untuk duduk di belakang kemudi.
“Hanya ini tempat yang paling aman untuk membicarakan omong kosongmu.” Ares menatap tajam pada Belva.
Sedikit takut, Belva meneguk ludahnya yang mencekat di tenggorokan. Sorot tajam pria itu berhasil menembus keberaniannya yang telah dia kumpulkan saat berangkat ke rumah sakit untuk menemuinya.
Belva bahkan tidak memikirkan pandangan Ares lagi terhadap dirinya. Dia tidak peduli apakah pria itu menganggapnya sebagai wanita murahan atau pembohong besar yang sedang mencoba untuk menjebak pria kaya dengan cerita karangannya. Sungguh, dia tidak peduli lagi. Sebab bagaimanapun, kehidupannya yang saat ini dipertaruhkan jika tidak mendapatkan pertanggung jawaban dari pria itu.
Tangan Belva merogoh tas kecil yang dari tadi dia genggam erat untuk mengalihkan perasaan cemasnya. Satu lembar kecil hasil print USG kemarin segera dia berikan pada Ares.
“Aku yakin kau bisa membaca hasil pemeriksaan itu. Kemarin aku memeriksakannya di sini, dan itu adalah anakmu, Ares. Demi Tuhan, kau adalah pria pertama yang menyentuhku. Setelah malam itu, aku tidak pernah berhubungan seks dengan pria manapun. Jika kau masih tidak percaya, saat anak itu lahir, kau bisa melakukan test DNA.” Belva kembali menjelaskan.
Belva sedikit putus asa akan penolakan Ares. Satu-satunya cara adalah menjelaskan, dan meminta Ares melakukan test DNA. Hanya itu cara yang terlintas di pikiran Belva.
Ares terdiam sejenak di kala menerima hasil USG itu dan memperhatikannya dengan serius. Cukup lama dia memandangnya, sampai akhirnya dia menoleh pada Belva dengan tetap mempertahankan tatapan tajamnya.
“Kenapa aku harus mempercayaimu?” tanya Ares lagi.
Kepingan memori Ares mengingat tentang kejadian bodoh di mana dirinya terjebak cinta satu malam oleh perempuan yang menggodanya. Meski samar-samar, tapi sekarang Ares mengingat wajah Belva.
“Karena aku hanya melakukannya itu denganmu!” jawab Belva cepat.
Ares kembali terdiam. Dia ingat betul rasa Belva pada malam itu. Sangat sesak dan nikmat. Dia yakin kalau Belva masih perawan saat itu, dan sejujurnya, dia hampir memercayai jika janin yang sekarang berada di kandungan Belva adalah anaknya.
Namun ada satu hal yang membuatnya ragu. Setelah malam itu, bisa saja Belva melakukannya dengan pria lain, benar? Mengingat bagaimana liarnya perempuan itu saat menggoda, sampai akhirnya Ares menyerah dan mengambil keperawanannya.
“Tingkat keberhasilan dalam satu kali hubungan seks adalah sangat kecil presentasenya. Bisa saja kau hamil dengan pria lain setelah malam itu merayuku.” Ares mengatakannya dengan tegas, dan tanpa perasaan.
Perkataan Ares berhasil melukai hati Belva. Malam itu dia memang salah, sangat bersalah. Namun bukan berarti setelahnya dia akan tidur dengan semua pria yang dia temui. Ares adalah satu-satunya pria yang pernah menyentuh tubuhnya, bahkan mengambil keperawanannya.
“Aku bukan perempuan seperti itu, asal kau tahu saja.” Belva berusaha menahan emosinya agar tidak meledak. “Aku hanya melakukannya denganmu, tidak pernah dengan pria lain.”
Pernyataan itu membuat Ares menjadi sedikit bangga dengan dirinya sendiri. Namun tetap saja, dia tidak bisa tiba-tiba bertanggung jawab hanya karena satu bukti yang sedang dia pegang saat ini.
“Who knows. Aku bahkan tidak bisa mengetahui apakah semua cerita yang telah kau katakan padaku itu benar atau tidak,” kata Ares tenang.
Belva menunduk. Emosinya telah memuncak. Telinganya mulai berdengung karena menahan tangisnya agar tidak pecah di depan Ares. Dia memang telah membayangkan hasilnya tidak akan berjalan dengan lancar, tapi dia juga tidak menyiapkan diri untuk menerima jawaban yang seakan sangat merendahkannya.
Selama ini dia sangat menjaga keperawanannya demi suaminya. Apakah adil ketika dia hanya melakukan satu kesalahan, lantas membuat pria yang telah menghamilinya dengan seenaknya melontarkan kata-kata yang sangat menyinggung perasaannya?
“Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku, Ares. Aku benar-benar mengira bahwa kejadian malam itu semuanya ada di dalam mimpiku. Aku tidak pernah menyangka kalau kau benar-benar ada dan nyata.” Suara Belva mulai terdengar pecah.
Ares masih menatap Belva yang sedang menunduk, kemudian kembali melempar pandangannya pada dinding basement berwarna abu-abu, tepat di arah pandangannya. Dia tidak pernah mengira akan ada kejutan dalam hidupnya seperti ini.
“Ada hal lain yang ingin kau sampaikan?” tanya Ares lagi, setelah ada jeda beberapa detik.
Belva masih menunduk, menuntaskan air mata yang telah menetes tanpa suara. Perasaannya benar-benar melebur tak karuan. Dadanya terasa sesak, dan pikirannya tak bisa berpikir lagi untuk mencari jalan keluar dari masalahnya.
“Semua hal yang kusampaikan hanyalah ingin meyakinkanmu bahwa bayi yang berada di dalam perutku saat ini adalah anakmu. Percaya atau tidak, mau atau tidak, dia adalah darah dagingmu. Seperti yang aku bilang tadi, bahwa aku berani untuk melakukan tes DNA untuk membuktikanya padamu.”
Kedua mata Belva tampak berbinar, dia kembali menahan emosinya agar tetap bisa berpikir benar dalam posisi yang sangat tidak benar ini. Tangannya kembali merogoh sesuatu di dalam tasnya.
Satu lembar kecil memo yang selalu dia bawa kemana-mana, dan satu pensil telah berada di genggaman tangannya. Dengan cepat, dia menulis nomor ponselnya dan memberikannya pada Ares.
“Tolong simpan ini. Kau bisa memikirkan semua hal dan penjelasan yang telah kukatakan padamu. Aku akan memberikanmu waktu untuk itu.” Belva menyodorkan lembar kecil itu pada Ares. “Aku akan menunggu telponmu. Tolong segera hubungi aku setelah kau selesai berpikir.”
Belva keluar dari mobil Ares dan menjauh cepat, dengan membawa kekecewaan dan rasa sesak yang menekan dadanya dengan sangat keras. Tampak tatapan mata Ares terus menatap punggung Belva yang mulai lenyap dari pandangannya.
***