Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kejadian Tidak Terduga di Hotel

Aku tak berani lagi menatap Bara, setelah mengucapkan selamat malam aku keluar begitu saja dari mobilnya. Malu sekali rasanya. Aku yakin laki-laki itu pasti sedang menatapku dengan pandangan yang meremehkan. Wajar, karena dia pasti menilaiku seperti seorang wanita murahan yang rela melakukan apapun untuk mendapatkan rupiah.

Mengesampingkan rasa maluku pada Bara, ada suatu kebahagiaan yang menyeruak di hati, mengingat sebentar lagi anakku--Langit akan segera dioperasi. Semoga Tuhan memberikan kesembuhan pada putra semata wayangku itu.

Senyuman tak pernah henti membingkai wajahku selama perjalanan kembali menuju ke rumah sakit. Tak sabar rasanya untuk segera membagi kebahagiaan ini dengan ibu, juga Langit.

Bulan sabit di langit tampak tersenyum seakan juga merasakan kebahagiaanku, pun dengan hamparan bintang yang berlomba mengedipkan sinarnya seperti sedang menggodaku. Seumur hidup belum pernah aku merasakan kebahagiaan yang teramat seperti ini.

Kutepikan motorku sejenak ketika melewati penjual pecel lele, memesan dua porsi untuk kumakan bersama ibu dan Langit. Selembar uang seratus ribuan yang sengaja kusisihkan akhirnya kubelanjakan juga.

Langit pasti senang sekali jika aku datang dengan membawakan makanan favoritnya, meskipun makanannya masih dijaga pihak rumah sakit tapi setidaknya nanti dia bisa mencicipinya sedikit.

Dengan penuh semangat kembali kupacu motorku, senyumanku semakin merekah sempurna melihat sebuah kantong yang berisi dua kotak pecel lele yang tergantung di motorku.

***

"Assalamualaikum," aku membuka pintu ruangan tempat dimana Langit dirawat.

Tak ada sahutan. Ternyata nenek dan cucunya itu sudah tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing.

Aku mendekat, menatap bergantian pada wajah-wajah yang membuatku tegar dan selalu menjadi asupan semangat bagiku selama ini hingga aku mampu bertahan, karena aku yakin dengan cinta dari mereka aku pasti bisa menghadapi masalah, sebesar dan seberat apapun itu.

Mataku diselimuti mendung pekat, dan perlahan tetesan itu mengalir membentuk anak sungai di pipiku.

Ibuku terlihat membuka mata, mungkin dia sadar aku datang. Begitulah ibuku, wanita terhebat dan terkuat yang menjadi teladanku. Cepat-cepat kuusap air mataku karena tak ingin beliau melihatnya. Tidurnya tak pernah nyenyak, apalagi semenjak Langit sakit.

"Laras? Kamu sudah pulang sayang? Tapi, kenapa bajumu berbeda? Perasaan tadi kamu nggak pakai baju ini." Ibu mengamati penampilanku dengan mata yang belum terbuka dengan sempurna.

Ya Tuhan, bisa-bisanya aku lupa mengganti pakaianku. Aku merutuki kecerobohanku.

"Ini baju Zara, Bu, tadi dia ngajak aku datang ke pesta," kilahku. Ibu ... maafkan aku, aku terpaksa berbohong padamu. Bagaimana mungkin aku mengatakan yang sejujurnya.

"Oh iya, tadi Laras beli pecel lele, yuk kita makan. Udah lama sekali rasanya kita tidak makan pecel lele," ucapku mengalihkan pembicaraan.

"Kamu dapat uang dari mana? Kalau ada rejeki berhematlah untuk biaya pengobatan Langit."

"Ibu tenang saja, dan satu lagi, Laras punya kabar gembira." Aku mengajak ibu untuk duduk.

"Apa?" tanyanya tak sabaran.

"Langit akan segera dioperasi." Air mataku mengalir begitu saja ketika mengatakan hal itu pada ibu. Begitu juga dengan ibuku, beliau ternganga dan langsung menutup mulutnya, ekspresi kaget sangat kental di wajahnya, dan bendungannya pun jebol, aliran sungai dari matanya membanjir.

"Kamu dapat uang darimana, nak?" tanyanya sambil terisak dan berurai air mata.

"Aku pinjam dari bos, Bu, dan bisa dicicil selama aku bekerja." Lagi ... aku terpaksa kembali membohongi ibuku.

Aku menghambur ke dalam pelukan ibu, tapi kali ini berbaur air mata kebahagiaan, tidak seperti hari-hari kemaren yang penuh kesenduan.

"Semoga Langit segera pulih kembali," lirih ibu dalam pelukanku.

"Aamiin ...." Itu juga keinginanku, karena tak sanggup rasanya melihat berbagai alat yang melekat di tubuh Langit.

"Ma ...." Bergegas aku menghampiri Langit saat mendengar lirih suaranya memanggilku.

"Iya sayang," sahutku, kubelai rambutnya dan kucium setiap inci wajahnya.

Langit tersenyum, tangannya terulur meraih pipiku dan mengusapnya. Kusambar tangan mungil itu dan mengecupnya. "Kamu akan segera pulih sayang," bisikku.

Langit tersenyum, "Terima kasih, Ma. Langit sayang Mama." Tangisku semakin menjadi saat kalimat itu keluar dari mulutnya, meskipun itu bukan kali pertama Langit mengucapkan hal itu padaku.

"Sayang ... tadi Mama beli pecel lele, kamu mau?" tanyaku.

Langit menggeleng, "Kata dokter nggak boleh, Ma. Bolehnya cuma makan makanan yang diberikan suster."

"Sedikit?" tawarku, karena aku yakin Langit juga pasti ingin menyicipinya.

"No, Mama, Langit mau sembuh," tegasnya.

Jika Langit sudah bicara seperti itu aku tak bisa apa-apa lagi.

"Cucu nenek pinter." Ibuku mendekat dan memeluk cucu satu-satunya itu. Kami bertiga saling berpeluk dalam haru.

Akhirnya aku dan ibu memutuskan menunggu hingga Langit tertidur kembali untuk memakan pecel lele.

"Baik, Bu, saya akan segera melaporkan pada dokter kalau ibu sudah membayar administrasinya agar secepatnya dokter bisa bertindak, dan semoga dek Langit secepatnya kembali pulih," ucap petugas administrasi ketika aku membayar biaya operasi Langit.

"Terima kasih, mbak." Aku tak sabar lagi mendengar keputusan dokter, semoga semuanya berjalan lancar.

Aku kembali ke ruangan Langit, dan bersiap untuk segera berangkat ke kafe. Beberapa lembar pakaian sengaja kubawa ke rumah sakit agar aku tidak terlalu kerepotan untuk pulang balik ke rumah.

"Sayang ... sabar, ya, dokter sedang mempersiapkan operasimu," kuhampiri langit yang tengah dibacakan cerita oleh ibu.

"Iya, Mama." Langit ... dia selalu bersemangat dan itulah salah satu yang menjadi sumber kekuatanku. Apalagi melihat senyumannya, meskipun wajah Langit persis seperti ayahnya, tapi hal itu tak lantas membuatku tidak menyukainya. Tidak seperti ayahnya yang begitu kubenci, kebencianku pada ayah Langit sudah mendarah daging rasanya. Meskipun sudah sekian tahun tak bertemu, tapi rasa benci itu masih enggan beranjak. Namun, di sisi lain ada sebuah hikmah yang kuambil dari pertemuanku dengan laki-laki tak bertanggung jawab itu, yaitu hadirnya langit dalam kehidupanku.

Gawaiku yang terletak dalam tas merah yang diberikan Tika dan Miranda padaku tadi malam berbunyi. Aku beranjak menuju sofa tempat dimana tas itu terletak.

"Bara?" gumamku ketika nama laki-laki yang baru kukenal semalam itu terpampang di sana.

Aku melangkah keluar, menjauh dari ibu dan Langit agar mereka tak mendengar perbincanganku dengan Bara.

"Cepat datang ke tempat semalam!" titahnya, bahkan aku belum sempat bicara apa-apa.

"Tapi saya harus bekerja," protesku, karena dalam perjanjian dia tidak melarangku untuk bekerja.

"Lima belas menit dari sekarang!" Terkadang orang kaya memang semena-mena. Lalu, bagaimana mungkin dia memberiku waktu hanya lima belas menit saja. Kalau jalanan lancar mungkin aku bisa sampai sebelum waktu yang dia tetapkan, tapi jika macet? Apa dia tidak memikirkan itu? Umpatku.

Bergegas aku pamit pada ibu dan juga Langit, tak lupa kupeluk dan kucium kedua malaikatku itu sebelum keluar.

***

Akhirnya ... aku sampai juga di hotel, tempat dimana Bara menungguku, tapi entahlah, entah dia memang tinggal di sana atau hanya sekedar menjadikannya sebagai tempat pertemuan kami. Aku tak perlu pikirkan hal itu.

Tiga orang petugas receptionist menganggukkan kepalanya saat aku melewati mereka, meski tergesa masih kusempatkan untuk melemparkan senyuman pada mereka.

Napasku ngos-ngosan ketika sampai di depan pintu kamar Bara. Baru saja tanganku terangkat untuk mengetuk pintu, pintu sudah terlebih dahulu terbuka, sepertinya laki-laki ini punya ilmu telepati sehingga tahu kalau aku sudah tiba.

Dia menatap sengit pada tanganku yang masih terangkat, cepat-cepat aku menurunkannya.

"Masuk!" titahnya. Dasar laki-laki, tak bisakah dia berbasa-basi sedikit saja.

"Pilih pakaian yang cocok untukmu, sudah saya siapkan di lemari. Nanti Tika dan Miranda akan ke sini untuk membantumu." Singkat, tepat dan jelas.

Tanpa bicara aku segera berlalu menuju ke lemari yang terletak di dekat tempat tidur. Lemari berukuran hampir sama tinggi dengan loteng dengan ukiran naga di puncaknya.

Aku membuka lemari itu dan melihat beberapa lembar gaun sudah tergantung di sana. Saat tengah asik melihat satu persatu, aku dikejutkan oleh suara deheman Bara, saat aku menoleh ke belakang ternyata laki-laki bertubuh tinggi tegap itu sudah berada tepat di belakangku.

Matanya tajam menatap padaku, membuat aku menjadi ngeri dan seketika membuatku mundur beberapa langkah hingga tubuhku terbentur lemari.

Selangkah dia maju semakin mendekat padaku, sedangkan tatapnnya masih fokus tak berkedip.

"Apa yang akan dilakukan laki-laki ini?" batinku, tiba-tiba aku merasa ngeri dan gemetaran.

Bara maju selangkah lagi, sedangkan aku sudah tak bisa mundur barang seinci pun, posisiku benar-benar sudah tersudut.

Tangan Bara terulur, reflek aku menyingkirkannya. Namun, nahas, aku jadi hilang keseimbangan dan oleng. Agar tidak terjatuh, tanganku mencari tempat berpegang, tanpa kuduga ternyata tanganku berpegang pada tangan Bara, entah karena kaget atau posisinya yang tidak siap, laki-laki itu ambruk dan tanpa sengaja menindihku hingga kami berdua terpuruk ke dalam lemari. Dan satu lagi kesialanku, ditepat yang bersamaan Miranda dan Tika muncul. Dua orang yang membantu urusan penampilanku itu ternganga melihat keadaan kami yang sangat ... entahlah, susah kuungkapkan dengan kata-kata, dan aku sangat yakin siapapun yang melihat aku dan Bara dalam kondisi seperti itu pasti berpikir yang tidak-tidak.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel