Pustaka
Bahasa Indonesia

Wanita Bayaran

43.0K · Ongoing
Mella Selfiana
30
Bab
7.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Laras, seorang wanita yang rela menjadi wanita bayaran demi mendapatkan uang untuk biaya pengobatan anaknya yang sedang menderita penyakit kronis.

Cinta Pada Pandangan PertamaRomansaBillionaireSweetAnak KecilIstriMenyedihkanMemanjakanBaperDewasa

Fonis

"Bagaimana, Ras? Dokter menyarankan anakmu untuk operasi." Dengan berurai air mata ibuku menyonsongku ke pintu rumah sakit, wajah tuanya sembab karena air mata yang tak kunjung berhenti.

Namaku Laras, seorang ibu muda berusia dua puluh sembilan tahun, dengan satu orang anak laki-laki berusia tujuh tahun. Ya, sudah beberapa bulan terakhir ini aku, ibuku dan Langit--anak semata wayangku tinggal di sini, di sebuah rumah sakit, karena Langit divonis menderita penyakit jantung bocor. Aku tak mengerti kenapa di usianya yang baru tujuh tahun anakku sudah menderita penyakit menakutkan itu.

Badanku terasa lemas, tulang belulang terasa tak berdaya, beberapa hari yang lalu dokter juga sudah bicara denganku mengenai biaya untuk operasi Langit, jumlahnya sangat fantastis, apalagi bagiku yang hanya seorang pelayan kafe.

Lantas, kemana Ayahnya Langit? Entahlah, akupun tak tahu dimana keberadaannya sekarang, aku sudah tak pernah bertemu dan berkomunikasi lagi dengannya setelah dia menalakku empat tahun yang lalu karena dia lebih memilih gundik selingkuhannya, dan semenjak saat itu akulah yang mengurus Langit, mencukupi segala kebutuhannya meski harus banting tulang.

Kudekati Langit yang terbaring di ranjang di sebuah ruangan serba putih ini, aroma obat-obatan sangat menyengat menusuk penciumanku, selang infus menancap di pergelangannya, beberapa kabel juga melekat di dadanya, entah alat apa itu aku tak tahu.

Wajah anakku sangat pucat, matanya terpejam, dan tubuhnya yang kian hari semakin kurus.

"Sayang ... kamu harus kuat, ya. Mama janji akan berusaha sekuat tenaga agar kamu bisa di-operasi, Mama janji." Kubelai rambutnya yang sudah lebih panjang dari biasanya.

Ibuku mendekat dan memegang bahuku sambil terus terisak.

"Ras ... bagaimana?"

"Ibu tenang saja, pasti akan kuusahakan." Apalagi yang bisa kulakukan selain menenangkan hati ibuku, meskipun sejujurnya aku juga belum tahu jalan keluarnya, kemana akan kucari uang sebanyak itu?

***

Sudah hampir semua kontak yang tersimpan digawaiku kuhubungi, tapi mereka hanya minta maaf dan membantuku dengan doa. Aku maklum, karena hampir semua teman-temanku berasal dari kalangan yang sama denganku, kerja hari ini untuk makan besok pagi.

Tinggal beberapa kontak lagi yang belum kuhubungi, aku sudah pesimis, dengan tak yakin kupencet tombol hijau pada kontak berna Zara. Meski tak yakin, tapi aku tetap harus mencoba.

"Assalamualaikum, Ras? Bagaimana keadaan Langit?" Zara adalah salah satu sahabatku di kafe. Namun, kami jarang bertemu karena berbeda sift.

Aku terisak, jawaban apa yang harus kuberikan? Karena mulutku tak sanggup mengatakan kalau Langit sedang tidak baik-baik saja.

"Apa dia harus dioperasi segera?"

"Iya," jawabku disela-sela isakan.

"Lalu kamu belum mendapatkan biayanya?" tebak Zara, "cepatlah ke kafe, aku ada usul, semoga bisa membantu."

Langsung saja kuputuskan panggilannya, menyambar tas kecil yang tergeletak di meja kecil di samping ranjang Langit.

"Sayang ...  Mama pamit sebentar, ya, doa kan mama agar Mama bisa mendapatkan jalan keluarnya. Mama sayang kamu, apa pun akan Mama lakukan agar kamu sembuh." Tak lupa kukecup keningnya.

"Kamu mau kemana, Ras?" tanya ibuku yang sedari tadi mengaji di samping Langit.

"Laras mau ke luar sebentar, Bu

Doakan Laras." Kupeluk erat tubuh wanita yang selalu berada di sampingku itu. Hanya beliaulah satu-satunya orang yang selalu mendampingiku, karena memang aku tak punya siapa-siapa lagi, ibuku adalah anak tunggal, sedangkan ayahku sudah meninggal sejak aku masih remaja, dan sejak saat itu pula keluarganya tak mau tahu lagi tentangku juga tentang ibuku.

"Hati-hati, Nak, ingat kami yang menunggumu di sini." Selalu itu pesan ibuku ketika aku akan pergi, mengingatkan kalau mereka selalu menanti kepulanganku.

Kupacu motor butut yang kubeli beberapa tahun yang lalu sebagai saranaku untuk pergi bekerja. Meskipun motor ini kujual, uangnya tak akan cukup untuk biaya operasi Langit.

Dibawah kelamnya lahir malam tanpa Sinaran bulan dan bintang, kususuri jalanan, berharap cahaya terang menyambutku.

Kuusap air mata yang tak henti-hentinya menetes.

"Aku harus kuat! Aku pasti kuat!" Kutekankan kata-kata itu dalam hatiku.

Setelah tiba di kafe, kuparkirkan motorku, setengah berlari aku masuk, mataku fokus mencari keberadaan Zara.

"Ras ...." Dari salah satu meja yang terletak di sudut kafe Zara memanggilku, kebetulan kafe tidak terlalu ramai, jadi Zara tidak sibuk.

"Bagaimana? Apa kamu bisa membantuku?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Aku tidak bisa membantumu, tapi aku punya jalan untuk membantumu. Namun, aku tak yakin kau akan mau."

"Katakan!"

Panjang lebar Zara bercerita padaku, dan intinya dia menyuruhku untuk menjual tubuhku pada seseorang.

Nurani menolak, tapi mengingat keadaan Langit yang butuh pertolongan cepat akhirnya aku menyetujuinya. Tak ada yang lebih berarti dari pada Langit, meskipun itu harga diriku sendiri. Tak ada pilihan lain, kemana aku harus mencari biaya sebanyak itu dengan cepat kalau tidak mengikuti saran Zara.

***

Keesokan harinya setelah selesai bekerja, aku mendatangi alamat yang sudah diberikan Zara padaku. "Aku sudah membicarakan perihal ini pada orang itu," ucap Zara padaku ketika memberikan alamat tempat yang harus kudatangi.

Hotel ... dadaku berdebar melihat tulisan besar yang terpampang pada sebuah gedung bertingkat itu.

Setelah turun dari motorku, kurapikan rambut dan pakaian yang kukenakkan. Dengan dada berdebar aku mulai melangkahkan kaki ketempat yang belum pernah kumasuki seumur hidupku.

Gawai dalam tasku bergetar, ketika kulihat ternyata sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal.

"Kamar nomor 304!" Terdengar suara bariton dari seberang sana, dan aku yakin itu pasti orangnya. Orang yang diceritakan Zara padaku, orang yang akan memberiku bantuan untuk biaya pengobatan Langit.

Sekilas aku mengangguk pada resepsionis yang berada di balik meja kerjanya.

Menaiki lift dan menyusuri lorong, kini aku sudah berdiri di depan kamar dengan nomor 304. Jantungku berdegup semakin kencang.

"Ya Allah, maafkan aku," lirihku dalam hati.

Sebelum aku mengetuk pintu, pintunya sudah terbuka dari dalam, dan di hadapanku berdiri seorang laki-laki berpenampilan parlente, tubuhnya tinggi tegap menjulang, berkulit putih, hidungnya bangir dan memiliki warna bola mata coklat, alisnya yang tebal menambah kesan kesan tegas garis wajahnya. Ternyata berbeda seratus delapan puluh derajat dengan yang ada dalam pikiranku. Karena ketika Zara menceritakan padaku yang ada dalam pikiranku adalah seorang laki-laki tua, bertubuh pendek dan perutnya yang buncit.

"Masuk!" titahnya sembari memberiku jalan.

Dengan langkah ragu aku memasuki ruangan mewah itu. Sebuah ranjang ukuran besar terhampar di sana, satu set so berwarna coklat tua, televisi berukuran besar juga ada di sana, entah apalagi setelah itu karena aku lebih memilih untuk menundukkan pandangan.

"Kamu Laras?" tanyanya sambil menghenyakkan tubuh di kursi di hadapanku.

"I-iya, Pak," sahutku terbata.

"Pak?" Nada suaranya seperti keberatan mendengar panggilan yang kusematkan padanya.

"Ma-maaf."

"Panggil aku Bara!"

"Ba-baik." Entah kenapa aku tiba-tiba menjadi gagap.

"Jangan tegang. Santai saja. Makanlah dulu! Sepertinya kamu butuh tenaga," ucapnya sambil menyodorkan seposrsi nasi goreng padaku, sepertinya sudah sengaja dia siapkan sebelum aku datang.

"Maaf, saya tidak lapar!" tolakku.

Krreeeook ....

Sial! Dasar perut tidak bisa diajak kompromi. Rutukku.

Laki-laki bernama Bara itu tertawa sinis. "Sudah, jangan terlalu buru-buru. Makanlah!" Dia mengulangi perintahnya untuk yang kedua kali, "kau butuh energi!" Tubuhku terasa mengecil mendengar ucapannya. Karena sebelumnya aku belum pernah dihadapkan dengan keadaan seperti ini.