3
Aku sudah berada di depan kontrakan Ocean. Pria yang aku inginkan mati-matian ini adalah pria yang kehidupannya sangat-sangat biasa. Dia hanya tinggal di kontrakan kecil dengan cat yang sudah memudar. Dari data yang aku lihat di kampus, Ocean hidup sendirian. Ibunya sudah tidak ada sementara ayahnya, tidak pernah ada catatan mengenai ayahnya. Atau mungkin Ocean adalah anak diluar nikah. Ya, itu mungkin saja.
Tok,, tok,, tok,, aku mengetuk pintu rumah Ocean.
Kriett, pintu terbuka. Sosok pria tampan dengan wajah kasar muncul dari balik pintuk. Ah, aku belum pernah menjelaskan bagaimana rupa Ocean. Dia memiliki rambut berwarna caramel, rambutnya sampai ke leher yang artinya dia memiliki rambut cukup panjang. Wajahnya bersih dari jerawat, hidungnya mancung nan angkuh. Alisnya hitam dan lebat. Rahangnya kokoh, bibirnya seperti buah Cherry, sangat menggiurkan. Yang aku suka dari Ocean adalah rambutnya, dia sering mengikat rambutnya dan bagian itu dia terlihat sangat tampan.
Saat ini dia mengenakan pakaian santai seperti biasanya, hanya saja dia mengenakan jeans selutut bukan jeans panjang seperti yang biasa ia kenakan.
"Masuk."
Tanpa dia persilahkanpun aku pasti akan masuk. "Well, jadi begini isi dalam rumahmu." Aku mengamati dalam kontrakan Ocean yang isinya cukup rapi. Dindingnya tidak selusuh tampak luar, aku yakin Ocean sendiri yang melukis dinding kontrakannya. Tak ada barang mahal di dalam kontrakan Ocean, hanya beberapa property yang aku yakini harganya tak akan lebih dari satu dressku. Bukannya aku sombong tapi pakaianku memiliki nilai yang mahal, Mommy yang mengajarkan aku untuk membeli barang mahal. Katanya agar tidak mempermalukan keluarganya.
"Duduk disana." Dia menunjuk ke sofa.
Aku melihat ke sofa yang lusuh, "Baiklah." Aku segera duduk ke sofa.
Dia membuka tirai jendelanya, membiarkan sinar matahari memasuki dari kaca jendela.
"Tunggu dulu," Aku menahannya saat dia ingin menggoreskan kuas ke kanvass.
Aku membuka coat yang aku pakai, menurunkan resleting dressku.
"Apa yang mau kau lakukan!"
"Oh ayolah, Ocean. Aku tidak mungkin memintamu melukisku dengan pakaian yang melekat di tubuhku. Aku bisa menggunakan pelukis lain jika aku ingin itu. Aku ingin dilukis naked."
"Gila!" Dia mengumpat. "Keluar dari sini!"
"Kau tidak punya pilihan, Ocean."
"Aku tidak akan melakukan itu."
"Why? Kau takut tergoda akan tubuhku?"
"Menjijikan." Dia berdesis.
"Aku asumsikan jawabanmu adalah tidak. Maka lukis saja aku jika kau tidak tergoda."
"Kau benar-benar pelac*r."
"Ayolah, aku datang kesini bukan untuk menjual tubuhku, lagipula kau tak akan punya uang jika aku benar-benar jadi pelac*r."
"Aku tidak akan mengeluarkan satu senpun untuk tubuhmu."
"Kau terlalu menghinaku, Sayang."
"Berhenti memanggilku sayang!" Dia bersuara tajam.
"Baiklah, Sayang. Ups, Ocean." Aku mengedipkan mataku padanya. "Kita lanjutkan." Aku kembali menurunkan resletingku. Membuang dressku kelantai, lalu melepaskan bagian lainnya hingga tak ada yang menutupi tubuhku.
Aku sudah merendah sampai seperti ini, dan aku harap Ocean akan tergiur dengan tubuhku.
"Pose apa yang cocok untukku?"
Dia menatapku jijik, "Berbaring disana." Dan bersuara ketus seperti biasanya.
"Ah tidak, aku lebih suka begini," katakanlah aku binal, j*lang atau murahan. Aku benar-benar ingin dia tergoda padaku. "Lukis aku sedetail mungkin." Kataku dengan posisi yang sangat tidak sopan. Aku duduk bersila di atas sofa dengan wajah angkuh, rambut indahku terikat acak.
Dia mulai melukis, rasanya harga diriku benar-benar jatuh. Dia tak tergoda sedikitpun. Tidak, aku belum menyerah. Semakin dia jual mahal maka aku akan semakin menggodanya.
Aku bangkit dari sofa dan mendekat ke Ocean. Aku pikir lukisanku sudah selesai. Menjakjubkan. Dia memang pelukis yang hebat.
"Hasil yang tidak mengecewakan." Aku sengaja menempelkan tubuhku ke punggung Ocean. Dia bergerak dan mendorongku kasar.
"Jangan pernah mendekatiku!"
Cukup, Ocean. Ini sudah keterlaluan. Apa yang membuatnya begitu angkuh. Dia tidak kaya raya namun keangkuhannya mengalahkan bangsawan. "Ayolah, Ocean. Kita bisa bersenang-senang. Tak ada ruginya bersamaku. Aku akan membiayai hidupmu. Kau akan memiliki tempat tinggal bagus dan juga mobil mewah."
"Kau menjijikan!"
"Kau terlalu angkuh, Ocean."
"Pergi dari sini!" Dia mengusirku. Aku mendekat padanya, mencoba untuk menciumnya namun aku gagal.
"Brengsek!" Dia mendorongku lagi hingga aku terjatuh ke lantai dingin. "Bawa ini dan pergi dari sini!" Dia melempaskan kanvass dan juga pakaianku.
Sakit.. Aku tak peduli rasa sakitnya. Yang aku tahu aku menginginkannya.
Ku raih pakaianku, "Aku tak akan berhenti sebelum kau jadi propertyku."
"Dream on!"
"Aku sudah sering memimpikanmu, Sayang. Memimpikanmu mencumbuku dengan kasar, panas dan bergairah. Kau memompaku kasar dan aku mendesah keras."
"Pelac*r sialan!" Dia memakiku lagi.
Aku tersenyum getir, "Aku bahkan lebih rendah dari pelac*r karena pelac*r tak memelas dan merendahkan dirinya seperti yang aku lakukan padamu."
"Berhentilah mengusik kehidupanku. Aku membencimu. Benar-benar membencimu!"
Sorot matanya melukaiku, dia berkata sesuai dengan apa yang ia rasakan.
"Aku tak akan berhenti." Aku sudah selesai memakai pakaianku. "Simpan lukisan itu untukmu. Aku sengaja memintamu agar kau bisa menyimpannya." Ku raih tas dan juga coatku.
Aku kembali mendekat pada Ocean, ingin mengecup pipinya namun dia mendorongku lagi. Tunggulah, Ocean. Kau pasti akan jadi milikku.
"Sampai jumpa besok, Sayang." Aku tersenyum padanya dan segera keluar dari rumah Ocean.
Masuk ke mobilku lalu segera melajukannya ke restoran, aku belum makan dan perutku sangat membuat tak nyaman.
Sampai di cafe aku turun dari mobilku, masuk ke dalam cafe dan memesan makanan.
Selera makanku mendadak hilang. Rupanya Tristan tak kembali karena acara keluarga. Mereka benar-benar tak memikirkan aku. Bagaimana bisa Tristan mengajak istri lainnya makan di tempat ini. Bahkan Mommy juga ada di sana. Tuhan, kenapa rasanya begitu menyesakan.
"Daddy." Suara manja Stevan membuatku semakin sesak. Kenapa aku tidak bisa hamil? Kenapa?
Melihat kebahagiaan Tristan saat menggendong Stevan membuatku merasa buruk. Apakah aku sudah menghalangi kebahagiaan mereka?
Apa yang kau pikirkan, Kya. Merekalah yang sudah merusak kebahagiaanmu. Datang kesana dan hancurkan mereka.
Pemikiran jahatku benar tapi aku tidak bisa melakukan itu. Jika aku kesana, bukan mereka yang akan hancur tapi aku. Aku yang akan dibuang dan dicampakan. Akulah yang cacat.
Selera makan sudah hilang, tak ada alasan aku tetap di cafe. Ku letakan beberapa lembar uang lalu keluar dari cafe sebelum mereka menyadari kedatanganku.
Aku kembali masuk ke dalam mobilku. Air mata jatuh tanpa kuperintahkan. "Kya, ayolah. Jangan menangis." Kuhapus air mataku. Segera kunyalakan mobil dan pergi.
Ring.. ring..
"Ya, Zava."
"Mau temani aku ke Venesia?"
"Berapa hari?"
"4 hari saja."
"Baiklah. Kapan?"
"Hari ini."
"Mendadak sekali, tapi tak apa. Aku sedang butuh liburan."
"Sampai jumpa, Kya."
"Sampai jumpa, Zava."
Ku lepaskan headset dari telingaku. Aku berani mengiyakan ucapan Zava karena aku tahu Tristan tak akan menghambatku. Dia bahkan akan sangat senang karena bisa bersama dengan anak dan istrinya yang lain.