Bab 8 Aku Bisa Menyelamatkannya
Di dalam ruang tunggu, Daneesa ditinggalkan sendirian.
Dia berdiri diam, tidak tahu apakah dia harus pergi atau tetap tinggal.
Daneesa langsung mengenali bahwa pria yang mengenakan kacamata berbingkai emas adalah salah satu dari orang yang duduk di kursi belakang mobil saat terjadi kecelakaan mobil kemarin.
Adapun yang satu lagi ... dengan temperamen yang mulia, menyalurkan aura seseorang yang telah berkuasa untuk waktu yang lama. Ditambah dengan bau darah pada saat itu, serta situasi saat ini, orang yang berada dalam keadaan genting pasti dia!
Dalam sekali lihat, orang itu bukanlah orang sembarangan. Karena Daneesa terjebak masalah dengannya, jadi harusnya dia segera pergi dari tempat ini.
Namun, karena dorongan hatinya sebagai seorang ahli medis, dia tidak tega jika harus pergi begitu saja.
Saat dia ragu-ragu untuk masuk, teriakan khawatir Revano terdengar dari dalam, "Tuan muda ...."
Daneesa tidak sempat memedulikan apa pun dan segera melangkahkan kakinya ke ruang tunggu.
Begitu masuk, dia mencium bau obat herbal yang kuat.
Di ranjang pasien yang bersih, pria dengan wajah lemah berbaring di ranjang dengan mata terpejam. Wajahnya pucat dan dia dalam keadaan tidak sadarkan diri, pipinya bersemu merah, menunjukkan keadaan yang tidak normal.
Sekilas, dia tahu bahwa pria itu sedang demam, demam tinggi yang seharusnya sudah berlangsung lama.
Revano dan Abby yang berada di sampingnya merasa cemas dan panik.
Xavier belum pergi sejak dia datang tadi malam dan menginap semalam di balai pengobatan.
Sampai saat itu, keadaannya masih baik-baik saja.
Baru ketika Revano memanggilnya, barulah dia menyadari ada yang tidak beres. Xavier tidak bisa bangun, napasnya sesak dan dahinya terasa panas.
Revano panik, lalu dengan cemas melangkah keluar untuk mencari Kakek Bram.
Abby juga baru pertama kali melihat situasi seperti ini. Dia memaksakan diri untuk tenang, menahan kepanikan dalam suaranya dan berkata, "Pak Revano, sekarang Kakek Bram tidak ada di sini dan keadaan Tuan Xavier sedang genting. Bagaimana kalau kita bawa Tuan Xavier ke rumah sakit dulu?"
"Hanya itu yang bisa kita lakukan untuk saat ini."
Revano tidak berani menunda. Dia mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi pihak rumah sakit.
Alhasil, ketika dia hendak menekan nomor yang dituju, dari sudut matanya dia melihat sekilas sesosok tubuh yang berjalan menghampiri sisi tempat tidur, mengulurkan tangan kepada Tuan Xavier.
Mata Revano langsung melotot. Dia melangkah mendekat dengan waspada, menarik pergelangan tangan orang itu dan berteriak tegas, "Apa yang kamu lakukan?"
Orang itu tidak lain adalah Daneesa.
Daneesa tidak menyangka akan tindakannya dan terdiam sejenak. Namun, dia mendongak dengan tenang, menjawab sambil menatap Revano, "Aku tidak berniat jahat, hanya ingin memeriksa keadaannya. Mungkin aku bisa menolongnya."
Revano membutuhkan waktu sejenak untuk mengingat bahwa ini adalah orang yang ada di aula tadi.
Dia melepaskan tangannya dan mengamatinya dengan waspada, lalu bertanya, "Siapa kamu, sepertinya aku tidak pernah melihatmu sebelumnya!"
"Aku ...."
Daneesa tidak tahu harus menjawab apa.
Melihat Daneesa tergagap, Revano jadi makin curiga dan menatapnya dari atas ke bawah.
Setelah menatapnya beberapa saat, entah kenapa wanita itu tampak agak familier.
Dengan sekelebat cahaya di benaknya, dia teringat akan kecelakaan mobil yang terjadi kemarin dan tiba-tiba tersadar. "Aku ingat! Kamu pengemudi mobil yang tiba-tiba berhenti di jalan kemarin, 'kan?"
Yang dikhawatirkan akhirnya terjadi.
Daneesa memalingkan muka sedikit malu. "Ya, itu aku."
Revano mengerutkan kening padanya. "Kenapa kamu di sini? Kamu tahu tentang obat-obatan? Apa kamu dokter baru di balai pengobatan ini?"
Abby yang berada di sampingnya membantu menjelaskan, "Bukan. Pak Revano, ini Nona Daneesa, penyedia obat kami di pusat kesehatan. Dia pelanggan tetap dan juga akrab dengan Kakek Bram. Dia bukan orang jahat."
Setelah mengatakan itu, Abby melirik Daneesa, lalu mengatakan, "Nona Daneesa, barusan kamu bilang bisa menyelamatkan Tuan Xavier, apa itu benar? Apa kamu paham keterampilan medis? Dulu, sepertinya ... aku tidak pernah dengar."