1. Fitnah dan Penghianatan
"Dasar, cewek bispak!"
Kata rendahan itu menggebrak dan menyakiti pendengaran Vella saat ini. Dia menatap nanar cowok ganteng berwajah suram yang kini tengah berdiri di depannya.
"Rino, apakah kamu tidak bisa mempercayaiku? Aku benar-benar tidak merayu juri itu, aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, dia masuk ke ruanganku begitu saja tanpa bisa aku cegah."
Untuk kesekian kalinya Vella mencoba menjelaskan pada Rino, tapi kini suaranya tak seantusias sebelumnya, binar wajah Rino yang sangat terluka seakan melumpuhkan kekuatan Vella.
"Aku ingin mempercayaimu, Vel. Tapi bukti menunjukan bahwa kamu ...." Rino tak sanggup melanjutkan kalimatnya kala melihat pakaian Vella yang terkoyak dan sudah tidak karuan rupa bentuknya.
Vella pun lemas, tangan yang tadinya memegang lengan sang kekasih jatuh tak bertenaga layaknya kehilangan nyawa setelah menangkap kekecewaan di wajah Rino.
Sepertinya kepercayaan itu benar-benar sudah hilang dari kekasihnya. Vella mulai putus asa.
Pendengaran Vella masih menangkap suara teman-temannya yang terus berbisik-bisik, mencibir, dan menatap jijik ke arahnya.
Bahkan dia juga menangkap senyum mengejek dari Andin yang tidak lain adalah adik tirinya.
Namun, setelah Rino menatapnya, tiba-tiba air wajah Andin berubah drastis, wajah yang tadinya mencemooh mendadak menjadi sangat sedih dan prihatin kala menatap Vella.
"Kak, kamu tidak apa-apa 'kan? Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana kamu bisa mengkhianati kak Rino?" Pertanyaan yang berkedok perhatian dari Andin seperti sedang menabur garam pada luka yang dirasakan Rino saat ini.
Vella tahu, Andin selalu iri dengan apa yang dia punya, tentu saja dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk membuatnya putus dengan Rino.
"Puas kamu sekarang?" tanya Vella dingin pada adik tirinya yang terlihat sedih.
"Kakak ... kepuasan apa yang aku dapat dari semua ini? Aku hanya khawatir sekarang kamu tidak bisa mengikuti kompetisi model, setelah kamu merayu salah satu juri."
Kepedulian di wajah Andin benar-benar tak bisa disangkal, terlebih perangainya yang lembut dan imut itu, jelas sangat mengelabui.
Semua orang tidak akan menyangka jika di belakang, Andin selalu ingin menjatuhkan Vella.
Dan benar, beberapa saat kemudian kepala sekolah mengumumkan bahwa Vella didiskualifikasi dari perlombaan. Bahkan dia mendapat ancaman akan dikeluarkan dari sekolah.
Rona pahit menyambangi wajah Rino, ada rasa sakit, tapi juga kasihan menatap kekasihnya tertegun dengan wajah nanar yang terus meneteskan air mata.
Tapi setelah ingat gadis pujaan hati dalam dekapan laki-laki dewasa dengan keadaan tak karuan rupa, jelas pemandangan memalukan itu sangat menyakiti perasaannya.
Satu-satunya kebaikan yang ingin Rino lakukan adalah melepaskan jaket yang dia kenakan, kemudian menyelimutkan pada tubuh Vella yang kini tengah mengenakan pakaian terkoyak. Lantas dia pergi begitu saja tanpa berucap apa-apa.
"Kak, kamu tunggu di sini ya, aku akan menelpon papa. Aku tidak bisa terus menemanimu. Aku harus mengikuti kompetisi lomba," ucap Andin lembut, padahal tujuan dari kata-kata tersebut adalah memperjelas bahwa Vella sudah ditendang dari perlombaan bergengsi di sekolah.
Beberapa saat yang lalu Vella baru datang ke sekolah dan masuk ke ruang ganti, dia ingin bersiap untuk mengikuti kompetisi model di sekolah.
Tidak lama setelah dia masuk ke ruangan, seorang pria dewasa juga ikut masuk dan menyerangnya tanpa aba-aba.
Vella sangat ketakutan, dia berusaha keras melawan laki-laki tersebut.
Tapi seberapa kuat dia mencoba, dia tetap harus mengakui bahwa tenaga seorang pria memang jauh lebih besar dari tenaga seorang gadis.
Kemeja biru yang dia kenakan terkoyak, dan menampakan kulit bahunya yang putih.
Vella mencoba berteriak. Namun, mulutnya dibekap, hingga dia mulai kesulitan mengeluarkan suara.
Satu-satunya yang menyelamatkan Vella saat itu adalah dobrakan pintu dan memperlihatkan begitu banyak orang yang menyaksikan dia dalam kondisi menyedihkan.
Vella benar-benar sangat bersyukur, pria bejat itu belum sempat merenggut kesuciannya.
Dia meminta pertolongan pada teman-teman dan para guru yang melihat kejadian itu.
Tapi laki-laki tersebut malah memutar balik fakta, bahwa Vella yang merayu terlebih dulu, demi memenangkan kompetisi model.
Sekarang Vella terpojok, dan tidak ada satupun yang mempercayainya. Bahkan dia baru saja kehilangan kepercayaan kekasih yang dia harapkan untuk mendukung.
Vella kembali tertegun sendirian menatap semua orang yang berangsur-angsur menjauh, setelah memberinya tatapan jijik dan ujaran mencela.
Dengan lemas Vella menyeka air mata, kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam saku.
Vella tak sanggup menyembunyikan isakan tangis kala menelpon mama kandungnya. "Ma ...."
"Vella, ada apa? Kenapa kamu menangis? Mama sudah tiba di bandara, sayang. Mama akan segera datang ke sekolahmu, jangan menangis, tetap semangat ya, kamu pasti menang."
Vella semakin terisak mendengar ungkapan semangat dari sang mama. Membuat perempuan di ujung telepon panik dan bertanya. "Vella, ada apa?"
Dengan susah payah Vella menjawab pertanyaan mamanya. "Ma, aku didiskualifikasi dari perlombaan. Aku difitnah."
"Difitnah bagaimana? Kamu sudah memberitahu papa belum?" Nada suara di seberang masih terdengar panik.
"Belum, papa pasti marah, Ma. Kepala sekolah mengancam akan mengeluarkan aku dari sekolah."
Meski belum mengerti situasi seperti apa yang sedang dialami putrinya, wanita di seberang masih mencoba menenangkan. "Baiklah, baiklah, jangan panik, mama akan segera datang ke sekolah. Kamu tunggu ya, tidak akan terjadi apa-apa denganmu, kamu adalah putri mama yang hebat, kamu tidak akan dikeluarkan dari sekolah."
Panggilan terputus, ucapan mama kandung Vella cukup membuat hati gadis tersebut sedikit tenang.
Tertegun cukup lama menunggu mamanya tiba. Sampai getaran ponsel membuyarkan lamunan sunyi. Vella menengok ke layar ponsel yang ternyata panggilan dari rumah.
Segera suara tangis sesenggukan mengejutkan Vella dari ujung sana. "Non, nyonya Vita mengalami kecelakaan, sekarang sedang kritis di rumah sakit."
Seakan nyawa Vella meloncat dari tubuh untuk kedua kali, mendengar mama kandungnya kecelakaan.
Vella menyahut tas ransel yang tergeletak di sebelahnya. Lantas berlari pergi dengan langkah tergesa-gesa.
Namun, di sebuah lorong yang sepi, dia kembali dihantam kenyataan pahit yang menghancurkan hatinya.
Rino kekasihnya, kini sedang berdiri berhadapan dengan Andin. Wajahnya datar, namun dia tidak mengelak ketika Andin berjinjit dan menyatukan daging lembut warna merah muda di bibirnya.
Perasaan marah dan dikhianati secara alami menggebrak hati Vella atas pengkhianatan ini.
Sementara alis Andin saat ini sedikit terangkat menangkap kehadiran Vella di lorong tak jauh dari tempanya memeluk Rino.
Seketika senyum mencela muncul di sudut bibir Andin mengejek Vella .
Perlahan Andin memutus ciuman untuk mengucapkan kata yang mematahkan hati Vella yang terluka.
"Kak Rino, aku mencintaimu. Seperti yang aku katakan sebelumnya, tidak ada yang lebih mencintaimu selain aku."