Bba 4
Malam ini aku dibantu Emily berkemas. Aku sudah menjelaskan kalau kakek dari ayah kandung Cherry tengah sakit. Sementara Cherry begitu antusias, saat ku bilang akan mengajaknya ke Jakarta. mengunjungi kakek dan makam mami Vivi.
Aku memang menceritakan bahwa Cherry punya dua mami. Menurut pemahaman Cherry, mami Vivi yang mengandungnya dan mami Nia yang melahirkan dan membesarkannya. Memang terdengar lucu, tapi Nia membiarkan pemikiran itu, ia tak sanggup menyakiti Cherry yang masih sangat belia. Suatu saat Cherry akan mengerti kenyataan pahit ini.
Sebisa mungkin aku tidak membohonginya. Aku akan memberikan yang terbaik untuk Cherry, hidupku bahkan nyawaku. Aku akan menua dengan melihat Cherry tumbuh, sekolah, kuliah, bekerja, menikah. Aku akan memastikan itu. Aku sanggup melajang seumur hidup demi Cherry. Tapi aku lupa bahwa Cherry butuh sosok ayah yang sesungguhnya yang memberikan rasa aman untuknya.
"Kau melamunkan Mr. Walter, Ms.Walter?!" ledek Emily. Emily mengira aku masih mencintai ayah putriku. Dia mengira aku melarikan diri dari suamiku. Itu karena aku masih menyandang nama belakang pria itu. Yeah, Emily dengan segala dugaannya.
"Emily... Dengarkan ceritaku. Kau satu-satunya teman dekatku disini. Tapi ceritaku ini hanya untuk dirimu sendiri. Bukan orang lain. Bisakan kau menjaga rahasiaku?" Aku memegang tangan halus Emily. Gadis tulus yang dua tahun ini setia menjadi sahabat bahkan keluarga. Karena Emily pula aku bisa bekerja pada Nyonya Brigitte.
"Tentu Ms. Walter... Ceritakan, aku sungguh penasaran akan dirimu sejak kau menetap disini. Kau itu terlalu misterius untuk ukuran seorang ibu muda." Katanya antusias.
Mengalirlah cerita yang sesungguhnya. Siapa Cherry, siapa diriku, dan siapa Mr. Walter.
" Aku tak pernah berinteraksi secara langsung dengan pria itu lebih dari lima menit. Kecuali kalau mengharuskan kami berada dalam satu ruangan. Misal seperti jamuan makan dan acara formal lain yang kebetulan kami bertiga harus hadir."
Meskipun kadang beberapa kali tak sengaja aku memergokinya sedang menatapku, dengan tatapan yang sulit diartikan, lanjutku dalam hati.
Kemarin pria itu tengah menatapnya penuh rindu. Atau dia hanya merasa kepedean saja. Aku tak mau ambil pusing, aku akan profesional. Kini mau tak mau aku akan sering berhubungan dengan pria itu kan seumpama Cherry masih bisa dia miliki sebagai putrinya.
Bicara soal Cherry, gadis mungil nan cantik itu tengah tertidur pulas dengan sebaris senyum di bibirnya. Saat Mommynya bilang dia harus pergi tidur karena besok dady akan menjeput mereka pagi-pagi sekali. Betapa senangnya dia akan bertemu dadynya lagi.
Cherry benar-benar menganggap Bryan ayahnya. Manik matanya berkaca-kaca saat aku mengijinkan Cherry memanggilnya dady. Oh cherry sayang pria itu memang ayah kandungmu, batinku frustasi.
Emily, mendekap mulutnya dengan mata melotot kaget akan kenyataan yang ku alamiku . Hari-hari berat selama 5 tahun ini dan masa muda yang terenggut. Harus jauh dari ibu dan adikku, hanya telpon penghubung kami untuk mengobati rindu, dan kenyataan yang harus ku hadapi jika Bryan menginginkan putrinya kembali, aku telah kehilangan segalanya.
"Tidakkah kau ingin menjadi ibunya Cherry selamanya Nia...." tanya Emily dengan satu alis terangakat.
"Tentu Em.... aku yang merawatnya sejak setelah dia dilahirkan, aku memberinya makan dengan tanganku, mendekap erat tubuh mungilnya dengan segenap yang aku punya. Kau pikir aku tak ingin melihatnya tumbuh dewasa?" Aku bersungguh - sungguh saat mengatakan itu.
"Kalau begitu jadilah Ms. Walter yang sesungguhnya Ni..." kata Emily yang membuatku sontak menggeleng.
"Kau dan saranmu sungguh gila Em, thanks."aku masih menggeleng heran dengan pemikiran Emily.
"Hei, Ni... orang buta tau kau cantik, menarik, siapa yang tidak tergiur melihatmu. Kau muda dan matang. Berondong pun akan bahagia setengah mati jika kamu mau berkencan dengan mereka." Emily berusaha meyakinkan aku.
"Terimakasih lagi, kau memujiku Em...." balasku sarkastik.
"Aku 29 tahun sekarang. Untuk ukuran orang orang indonesia aku sudah perawan tua."
Aku menerawang teringat pria terakhir di hidupnya 5 tahun lalu. Apa kabar dia ya... Hendra Setyawan. Mungkin Hendra sudah melupakannya dan menikah sekarang.
"Kau benar Em... aku sudah melewatkan banyak hal selama lima tahun ini. Tapi bagiku melihat Cherry bahagia membuatku sudah sangat bersyukur. Dia janji matiku dengan Vivian." lirih aku mengingat bagaimana cara Vivian meregang nyawa.
"Kau terlalu baik my lady.... mintalah ganti rugi 5 tahun hidupmu kepada hot daddy itu, mungkin yacht mewah dan sebuah pulau, terdengar baik. Kau bisa mengajakku berlibur nanti." kata Emily lucu.
"Otakmu memang sudah tidak waras Em...." Nia memutar bola matanya malas.
"Okey, selesai. Aku akan pergi tidur di kamar tamu. Istirahatlah, jangan pikirkan besok. Harusnya kau senang bisa ke jakarta. Kunjungilah keluargamu dan jangan lupa sering - sering telpon aku." Saran Emily yang membuatku bergumam menyetujui.
"Aku titip flatku ini ya Em?" Emily mengangguk meyakinkan.
"Semua akan baik-baik saja Nia. Tenanglah...aku tak akan menghancurkan rumahmu."
Pernyataan Emily kusambut kekeha. Hingga dering handphoneku menginterupsi. Nomor pria itu, dadynya Cherry. Begitu Nia memberi nama di ponselnya.
"Hallo" cicitku malas.
"Belum tidur? segeralah tidur mumpung masih ada waktu. Penerbangan jam 2 dini hari." kata suara diseberang sana.
Aku menoleh ke dinding tepat kearah jam yang dia pasang manis.
"Apa!" Aku memekik histeris
"Itu berarti satu jam lagi?" ujarnya gusar.
Pria bersuara maskulin itu terdengar terkekeh.
"Aku ada di luar rumahmu, bukalah. Sepertinya kopi cocok untuk udara sedingin ini." suaranya terdengar memelas.
Aku menghembuskan nafasnya, Bagaimana tidak, dia belum sempat tidur sama sekali. Padahal kemaren pria ini bilang penerbangan jam 4.
"Em, tolong bukakan pintu, aku akan membangunkan Little Pie-ku." Putusku sesaat setelah mematikan sambungan telpon. Emily menaikkan alisnya sebelah tanda bertanya ada apa.
"Cepatlah lah Em... Bryan sudah menjemput diluar."
"Oh, astaga Nia." sahutnya mulai mengerti kegelisahanku.
Aku berlari ke kamar Cherry di lantai dua rumah minimalisnya ini.
"Cherry sayang, bangun nak, daddymu sudah menjemput." Aku menepuk bokong penuh milik Cherry pelan.
"Mami, aku ngantuk." cherry masih enggan membuka mata. Aku berusaha menggendong Cherry yang masih terlelap, tapi alangkah kagetnya saat tangan ini merasakan suhu panas dari tubuh putriku.
"Sayang...kau demam?" Jelas aku jadi panik.
"Mommy maafkan aku, kemaren Lily memberiku udang. Aku enggan menolaknya. Dia bilang dia membawakan khusus untukku." permukaan wajah Cherry mulai memerah disamping panas yang melingkupi badannya.
"Oh, sayang. Harusnya kau bilang bahwa kau alergi udang." Aku sungguh khawatir, ruam-ruam merah mulai muncul di tubuh putih gadis kecil cantik ini.
"Dia seperti ku, alergi udang."
Terdengar suara bass dari pintu kamar Cherry. Bryan sudah ada di ambang pintu berdiri memperhatikan interaksi kami, Emily mengendik saat aku menatap bertanya, mengapa Bryan bisa sampai kamar ini.
"Ayo, Daddy gendong Cherry sayang." tawar Bryan dihadiahi anggukan canggung dari Cherry. Dan Anehnya gadis cilik itu menunjukkan binar meskipun matanya memerah karena demam dan ngantuk.
"Aku akan mengambil obat turun panas. Tolong pakaikan jaket itu untuknya, Bry." sahutku gusar dengan menunjuk jaket Cherry yang sudah ku siapkan dan berlalu mengambil obat.
Bahkan aku tak sadar bahwa sikapku kepada Bryan tak lagi kaku dan tegang. Ku lirik Bryan yang tengah tersenyum yang tak ku tahu alasannya.