Bab 5
Dan aku memanggilnya "Bry" terdengar tak biasa dan aneh. Ah, ada apa denganku. Bukannya kemarin aku sempat was-was dan takut pada lelaki yang tidak pernah ramah itu.
"Little sweety, kamu harus sembuh ya? Bukannya kamu mau bertemu keluargamu di jakarta. Ayah Dimas dan Oma Ratih?" terdengar suara Emily yang berbicara pada Cherry. Gadis kecil itu di dudukkan pada sofa ruang tamu oleh Bryan.
"Hallo Dim..." lirih suaraku karena lelah.
"...."
"Ya, sebentar lagi kami berangkat"
"...."
"Tentu, jangan khawatir, sampaikan pada ibu, adikku sayang. Kami akan segera berkunjung."
"....."
"Atur saja, bawa juga pacarmu pak dokter."
"....."
Bersamaan aku yang mengakhiri telpon. Bryan membawa keluar dua koper besar, bawaanku ke Jakarta yang segera diterima seorang sopir, yang rupanya menunggu diluar sejak pria itu datang.
Bryan kemudian bergegas masuk dan menggendong Cherry dalam tubuh besarnya.
Sementara, aku tengah berpelukan dengan Emily dan memberi nasehat pada gaya hidup Emily agar dia menjaga diri. Aku juga menitipkan salam permintaan maaf pada Nyonya Brigitte karena tidak sempat pamit sendiri. Mungkin
"Hmm..." Bryan berdehem.
"Bisakah kalian tidak bermain drama" katanya sarkastik.
Aku memutar bola mata jengah lalu melepas pelukan Emily yang menangis. Firasatnya Ms. Walter tak akan kembali, hal yang sama yang juga ku rasakan.
"Kita pasti akan bertemu lagi Em." Aku mengusap pelan punggung Emily, wanita itu sama menangisnya denganku.
"Terimakasih untuk semua, Emily. Aku tidak tahu bagaimana kami tanpa kamu."
"Jangan begitu, aku senang memiliki room mate seperti dirimu, aku yang terlalu lelah tinggal dengan bibi yang cerewet itu juga merasa beruntung tinggal bersamamu." Katanya diantara tangis dan tawa.
"Baiklah, Em. Aku harus berangkat." Pamitku mengakhiri sesi mengharu biru ini.
"Cherry, kau tidak berpamitan dengan Em dulu?" Cherry dengan bibir yang tak lagi menggigil kareba telah ku berikan pereda panas, mengangsurkan tangannya pada Emily.
"Em, aku pasti rindu." Katanya sedih, demamnya masih tinggi. Kedua pipinya juga memerah sebanding dengan demamnya yang pasti membuat Cherry tersiksa.
Akhirnya aku melambai pada Emily, untuk memasuki mobil yang sudah siap sejak beberapa saat lalu.
Bryan yang kemudian membukakan pintu mobil untukku, menungguku dengan sabar karena harus memangku Cherry yang tentu tidak mau duduk sendiri dalam keadaan seperti itu. Pria itu kemudian masuk melewati pintu sisi lainnya.
Aku melambai sesaat kearah Emily, sebelum mobil yang kami tumpangi menembus pekatnya malam, menuju bandara tersibuk nomor empat di Britania raya.
Perjalanan dari tempatnya ke bandara Manchester membutuhkan waktu 30 menit. Karena seharian ini aku tak sempat tidur, Maka aku biarkan saja kantuk mewarnai perjalananku, sementara Cherry yang dalam pengaruh obat pun telah kembali terlelap semenjak memasuki mobil Bryan.
"Kita sudah sampai" ucap Bryan.
"Mommy..." tangan halus mungil itu terasa membelai pipiku.
"Hoam... maaf." cicitku sambil menutup mulut dengan sebelah tangan. Aku masih belum sadar kepala ini nangkring nyaman di pundak kokoh Bryan. Dan saat tersadar buru - buru aku menegakkan kepala dan membuang pandangan jauh dari pria itu. Jangan tanya ekspresi Bryan, pria itu bertindak seolah biasa - biasa saja di depanku. Tidak ada yang istimewa, hanya aku yang merasa sungkan sendiri. Jadi aku meminta maaf.
"Maaf. Aku tidak sengaja."
"Its Ok." jawabnya acuh.
Seseorang membantu mengeluarkan koper kami dari bagasi mobil yang mereka kendarai.
Sementara satu tangan Bryan menggendong Cherry, dan satu tangannya yang lain menggandeng tanganku. Sempat shock atas perlakuan ini, hingga mataku terus memandang kearah tanganku yang tengah digenggam tangan besar itu. Tapi kemudian aku tak membiarkan pikiran aneh memenuhi otaknya. Sehingga aku pura-pura tak peduli saat Bryan terus saja menariknya masuk kedalam pesawat pribadi itu.
Seorang pramugari yang melihat pemandangan ini pun terbengong menatap kami. Entah apa yang membuatnya begitu.
"Silahkan tuan, nyonya" katanya ramah.
Pramugari cantik berseragam biru bernametag Anna itu memandu kami untuk mengenakan sabuk pengaman setelah kami duduk. Karena pesawat akan segera lepas landas.
Bryan sepertinya sudah tak sabar menunjukkan Cherry pada Ayahnya Robby Walter. Orangtua Vivian juga pasti akan menerima Cherry dengan suka cita, pikirku. Aku jadi menyesali yang ragu akan apalah Cherry baik-baik saja apabila pulang ke Indonesia nanti, melupakan akan ada orang-orang yang menyayangi dirinya lebih dari aku.
Ketika pesawat sudah diatas ketinggian dan stabil. Bryan berkata tegas padaku.
"Tidurlah, bawa juga Cherry. Dia butuh istirahat maksimal. Aku tidak mau anakku sakit berkepanjangan." Ucap Bryan tak mau dibantah. Andai aku mau aku bisa saja mendebatnya betapa kalimatnya itu mengganggu, dia lupa apa lima tahun ini aku yang menjaga Cherry. Mana mungkin dia akan kubiarkan sakit berkepanjangan. Namun aku yang memang sangat lelah hanya merespon dengan gumaman kecil. Lagipula aku juga butuh tidur. Aku menggendong Cherry kemudian menuju sisi lain kabin, sebuah kamar yang menghabiskan 3 deret jendela sangking luasnya menurutku. Dengan sigap Anna si pramugari membantu kami.
Aku masih terjaga hingga beberapa menit ke depan, membayangkan bagaimana Jakarta. Menerka sakit yang mungkin diderita Robby Walter ayah Bryan. Membayangkan betapa ibuku akan sangat bahagia akhirnya kau pulang, setelah beberapa tahun ini merajuk padaku karena lebih mementingkan orang lain dari pada keluarga sendiri. Aku juga memikirkan sikap Bryan padaku yang ternyata tak se-kaku bayanganku setelah dulu dia sering memperlihatkan ketidaksukaan pada diriku.
13 jam berlalu, 15 menit lagi kami akan landing. Sejak beberapa jam yang lalu setelah dia terbangun, Cherry terus saja berceloteh riang, apa saja ditanyakan. Bahkan dia bilang ingin punya adik bayi seperti Lily tetangga kami di Manchester. Dan permintaan Lily sukses membuat kami dua orang dewasa terdiam.
Aku memalingkan wajah datar. Sementara aku tahu, Bryan menatap ekspresiku dengan pandangan yang sulit diartikan. Sedangkan Cherry hanya mengerjapkan matanya bingung.
"Mami, daddy... kalau begitu besok kita beli adik saja ya? tak perlu susah-susah membuatnya." katanya polos mengisi suasana awkward yang tercipta diantara kami.
Sontak kami berdua tertawa terbahak-bahak.
"Cherry sayang." Aku berusaha menjelaskan setelah menguasai diri terlebih dulu.
"Kalau cherry bersikap baik, rajin belajar, dan mau makna sayur, Daddy akan memberimu adik. Jangan pikirkan apa-apa dulu sekarang ya.
Cherry sehat, mami senang, okey?"
Cherry mengangguk patuh, sesaat kemudian Bryan menginterupsi.
"Kami akan segera memberimu adik, honey." Aku tak paham
"Benarkah Daddy?" katanya penuh harap.
"Tanyakan Momy-mu." sahut Bryan, tak menyangka dia bisa jahil begitu.
"Mami." seru Cherry dengan puppy eyesnya yang seringnya bisa membuatku luluh.
Sontak aku gelagapan, ingin aku mendelik kesal kearah Bryan. Tapi demi kesopanan aku tak mungkin melakukannya, apalagi di depan Cherry yang mulai merajuk.