Bab 11 Lenyap Ditelan Bumi
Bab 11 Lenyap Ditelan Bumi
Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, namun Angga masih tak henti-hentinya mengecek ponselnya sejak tadi, berharap benda pipih itu akan berdering dan menampilkan nama sahabatnya di layar itu.
Kenapa Fachri belum memberinya kabar?
Apa pria itu sibuk?
Apakah Fachri baik-baik saja di sana?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benak Angga. Tak dipungkiri rasa cemas juga menghampirinya. Sedikit khawatir jika terjadi sesuatu dengan Fachri di Singapura sana.
"Astagfirullah," gumam Angga sadar dengan pemikirannya.
Tak lama, pria itu segera menggelengkan kepalanya. Mengenyahkan pikiran negatif tentang Fachri yang sempat menghampirinya.
"Dia pasti sedang mempersiapkan bahan presentasinya di sana," ujar Angga yang sebenarnya meyakinkan dirinya sendiri.
Angga kemudian berinisiatif untuk mencari berita tentang acara yang mengundang Fachri di internet. Rasa tidak sabar dalam hatinya membuncah, bangga dan terharu karena sebentar lagi dia akan melihat Fachri meluncurkan alatnya kepada publik di luar pulau Jawa, bahkan di luar Indonesia.
Angga melakukan itu semua semata-mata ingin memastikan bahwa Fachri baik-baik saja di sana. Angga hanya ingin menenangkan perasaannya yang sedikit cemas saat dia tidak melihat sahabatnya.
Tangan Angga begitu lihai mencari laman yang berkaitan dengan komunitas yang mengundang Fachri. Semua kata kunci telah dimasukkannya kedalam kotak pencarian, namun hasilnya justru membuat alis Angga bertaut bingung.
Bagaimana tidak, semua kata kunci yang berkaitan tidak ada satu pun yang memunculkan berita tentang Fachri. Jangankan Fachri, tetapi komunitas dan acara yang menyelenggarakannya juga tidak ketemu.
Angga semakin dibuat bingung. Pria itu kemudian memutuskan untuk menghubungi Fachri. Namun, lagi-lagi hasil yang didapatkannya membuatnya kembali cemas.
Beberapa kali mendial nomor Fachri, tidak membuat pria itu mengangkat panggilannya. Angga justru hanya mendengar suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang dituju tidak aktif.
Perasaan Angga semakin tidak enak. Rasa khawatir mulai muncul dalam hatinya. Ditambah lagi Angga tidak menemukan berita tentang acara yang diikuti oleh Fachri. Terhitung sudah dua hari lamanya pria itu pergi, dan selama itu juga dia tidak memberikan kabar apa pun.
Kemana pria itu?
"Apa mungkin dia sudah menghubungi wanita berhijab itu?" gumam Angga berspekulasi tentang Rani.
Fahcri dan wanita itu memang tidak memiliki hubungan apa pun. Namun, Angga mengerti dari tatapan mata mereka, ada sesuatu yang sengaja mereka sembunyikan.
Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, Angga kemudian mencari kontak temannya yang merupakan seangkatan dengan Rani di Fakultas Hubungan Internasional. Angga lalu segera mendial kontak temannya itu untuk meminta kontak Rani.
Tak lama setelah nada sambung terdengar, Angga menegakkan tubuhnya, tidak sabar menunggu suara dari seberang sana.
"SENO!" teriak Fachri tanpa sadar sesaat setelah panggilannya dijawab.
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" Suara di seberang sana terdengar panik sekaligus bingung.
Sebelum menjawab, Angga memejamkan matanya, mencoba mengatur emosionalnya.
"Maaf, aku hanya ... sudahlah, aku menghubungimu untuk meminta sesuatu. Apa kau memiliki nomor Rani, teman seangkatanmu dari Hubungan Internasional."
"Kau kenapa? Apa terjadi masalah? Suaramu terdengar cemas?" tanya Seno heran dengan suara Angga yang berbicara dalam satu tarikan napas, dia bahkan mendengar Angga sampai ngos-ngosan setelah kalimatnya selesai.
"Tidak. Ayolah, apa kau punya kontaknya?" sergah Angga buru-buru tidak ingin membahas hal lain.
"Tentu. Rani, wanita yang memakai hijab, kan?" tanya Seno memastikan.
"Ya, ya. Rani yang itu," jawab Angga cepat.
"Sebentar, akan ku kirimkan dari pesan."
"Baiklah, thanks, Sen. Assalamualaikum." Angga segera memutuskan sambungan telepon dan menunggu dengan tidak sabar.
Drrrt Drrt
Dengan secepat kilat Angga membuka pesan yang masuk, dan melihat beberapa digit nomor yang Seno kirimkan.
Tidak berpikir panjang, Angga langsung mendial nomor tersebut, berharap-harap cemas saat nada sambung mulai terdengar. Angga sedikit merutuk karena teringat belum memikirkan apa yang akan diucapkannya jika wanita itu menjawab panggilannya.
Apakah dia langsung menanyakan kabar Fachri?
Atau sebaiknya dia bertanya--
"Hallo, assalamualaikum?"
Tiba-tiba Angga menjadi gugup sesaat setelah suara lembut Rani mengalun ke dalam telinganya. Entah kenapa kepalanya menjadi blank, sekarang apa yang harus dia katakan.
"Hallo?" Suara Rani kembali terdengar saat Angga tidak mengeluarkan satu patah kata pun. "Ini siapa?"
"Fachri?"
Angga tersentak saat mendengar nama sahabatnya. Ya, kenapa dia bingung, bukankah dia ingin menanyakan apakah Fachri sudah memberi kabar kepada wanita itu. Sial! Dia sudah membuang waktu karena terlalu banyak berpikir.
"Fachri, apa itu kau?"
Angga berdehem pelan, "Tidak. Aku Angga ..."
"Angga?" tanya Rani. Tak lama wanita itu segera melanjutkan, "Angga teman Fachri?"
"Ya," jawab Fachri singkat. Angga pikir dia tidak perlu membuang waktu untuk berbasa basi, dia hanya ingin menanyakan kabar Fachri. Dan dia sangat berharap jika wanita itu mengetahuinya.
"Apa Fachri menghubungimu?"
"Bagaimana kabar Fachri?"
Angga dan Rani seketika diam. Pertanyaan itu terlontar secara bersamaan tanpa mereka rencanakan.
Angga lebih dulu sadar, tak bisa dipungkiri pria itu juga terkejut, bahkan rasa khawatirnya kini semakin membesar. Tubuhnya yang sesaat lalu tegak seketika menjadi lemas.
"Jadi, kau juga belum mendapatkan kabar?" tanya Angga dengan suara pelan yang masih bisa didengar oleh Rani.
"Tidak. Justru aku sedang mencari kontakmu, ingin menanyakan perihal ini," ujar Rani. "Fachri selalu bersamamu, jadi aku pikir kau lebih tahu keberadaan dan kondisinya saat ini. Fachri bahkan tidak memberi kabar sejak dua hari setelah keberangkatannya."
Angga bungkam. Perkataan Rani membuat pria itu tidak bisa berpikir apa-apa. Kabar Fachri tidak diketahui oleh wanita terdekat pria itu, lalu kepada siapa dia harus menanyakan keberadaannya.
"Aku sempat mencari acara yang mengundangnya. Tetapi aku tidak menemukan apa pun. Apa telah terjadi sesuatu? Kau harusnya tahu bukan, Fachri pasti memberimu kabar."
Angga bisa mendengar suara Rani yang terdengar khawatir. Tetapi tidak jauh berbeda dengannya, Angga juga khawatir, sangat. Jika dia mengetahui kabar Fachri, dia tidak mungkin menghubungi wanita itu untuk bertanya.
Dan kini, saat mendengar pertanyaan Rani, Angga justru semakin gugup untuk menjelaskannya kepada wanita itu. Pasalnya dia juga tidak tahu sama sekali tentang keberadaan Fachri, bahkan kondisi pria itu saat dia sudah sampai di Singapura.
"Angga, apa kau mendengarku?"
"Ya, ya. Aku mendengarmu. Tapi, Fachri ..."
Angga tidak melanjutkan ucapannya. Merasa ragu.
"Tapi apa?" tanya Rani tidak sabaran.
"Tapi dia juga tidak menghubungiku. Aku menghubunginya berulang kali, tetapi dia tidak menjawab sama sekali."
"Apa? Tapi, bagaimana bisa?" Rani terdengar shock ketika mendengar perkataan Angga.
Terlebih saat Angga mengatakan jika dia juga mencari tahu tentang acara itu, dan tidak menemukan apa pun seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya. Angga bahkan menanyakan hal yang sama di saat dia ingin menanyakan hal itu juga.
Setelah mendengar cerita Angga, Rani memutuskan untuk mengakhiri panggilan. Kini mereka sama-sama khawatir dan panik. Tidak tahu harus mencari kabar Fachri dari siapa.
Untuk sejenak Rani diam tidak melakukan apa pun. Namun, tak lama dia teringat sesuatu.
Bagaimana dengan orang tua Fachri?
Menyadari hal itu, Rani segera berdiri, dan bergegas keluar rumah untuk pergi ke rumah Fachri. Tidak peduli hari sudah malam, Rani dengan cepat menaiki motor maticnya untuk pergi ke rumah Fachri. Bahkan wanita itu sampai mengabaikan teriakan orang tuanya yang menanyakan kemana dia akan pergi.
Dalam pikiran Rani saat ini hanya ingin memastikan kabar Fachri. Harapan besar muncul di hati Rani, berharap orang tua Fachri akan memberikan kabar baik.
Sepuluh menit mengendarai motornya, Rani sampai di sebuah rumah bertingkat dua dengan cat biru pada dindingnya. Rani segera berlari dan mengetuk pintu, membiarkan motornya di pinggir jalan.
Tok tok tok
"Assalamualaikum ..."
"Bu, apa Fachri sudah mengabari?"
***