Bab 2 Pekerjaan dan Uang
Bab 2 Pekerjaan dan Uang
Kalau dibilang lelah, maka Jana akan bilang lelah tentu saja. Terkadang dia harus menyembunyikannya sendirian. Semua serba sendiri tanpa ada yang menemani.
Jana sudah membersihkan semua ruangannya, lantas segera menuju ruang kantor. Anggap saja ini kantor, meski tak mengoperasikan komputer dan alat digital lainnya, namun tetap saja ya kantor. Ruang tidur untuk tidur, kantor untuk bekerja. Padahal, hanya gudang penyimpanan alat saja.
Wanita itu segera mencangklong tasnya di bahu, hanya tas lusuh seharga 50 ribu rupiah yang dibelinya di pasar dengan perdebatan alot soal tawar menawar harga. Dia sudah berpamitan kepada supervisor yang menjadi atasannya.
Jana hanya berjalan lesu tak berminat sama sekali, di jalanan kampus yang masih ramai dengan mahasiswa yang saling mengumpul, berjalan sendirian, ataupun berduaan. Mereka semuanya memiliki teman, kecuali para nerd dan para intovert bisa jadi. Hanya saja, Jana yang merasa tak memiliki kenalan di kampus ini. Kampus dengan gedung-gedung tinggi menjulang berisi banyak kegiatan belajar mengajarnya.
Kapan dia bisa merasakan itu semua? Nanti, kalau ada uang. Yang jelas entah kapan dia memiliki uang agar bisa merasakan bangku kuliah. Kalau mendudukinya sudah seringlah dia. Wanita itu ingin seperti para manusia yang berjalan dengan sibuk pada gadgetnya, namun apalah daya ponselnya hanya ponsel penggerus yang tak ada gunanya selain mengirim pesan dan bertelpon saja. Tanpa aplikasi chatting dan media sosial! Oh shit!
Sedari kecil dia sudah sengsara. Ibunya tak tahu dimana dan ayahnya tiada. Lengkap sudah. Dia tersiksa dengan bibinya yang terus menerus menjadikannya babu gratis! Pembantu yang tak harus dibayar, hanya memberi makanan sisa! Mereka jahat! Pamannya saja yang baik namun tak tahu apa yang diperbuat oleh bibi dan sepupunya itu.
Ingin mengadu? Ayolah... dia harus tahu diri karena menumpang! Secepatnya dia akan keluar dari rumah yang menyiksa ituu. Mengontrak rumah ataupun kos sepetak kamar kecil, thats so enough!
Jana mencegat angkutan umum yang selalu berlalu lalang di depan kampus besar itu. Sangat macet, biasanya. Namun kali ini lebih sepi dan santai. Dia segera memasukinya untuk menuju tempat kerja keduanya. Dia lebih baik bekerja romusha meski upah kecil asal tak di rumah pamannya, dengan begitu dia hanya perlu menghabiskan energi untuk dirinya sendiri dan menghasilkan uang. Dia tak berbohong. Seorang Jana memang suka uang.
Jana cukup nyaman bersandar di dinding angkot itu meskipun kotor sekalipun. Hanya dengan posisi duduk saja dia bisa terpejam sebentar, memenuhi rasa ingin tidurnya karena lelah bekerja dan bisa menghemat sedikit energi.
“Neng, sudah sampai nih...” tukas si sopir membangunkan Jana. Sopir itu sudah tahu Jana akan berhenti dimana, Jana selalu pulang pergi menggunakan angkutan umum. Wajah-wajah langganan. Anggaplah begitu.
“Eh, iya bang! Ini ongkosnya!” Jana segera turun setelah memberikan selembar uang yang diserahkannya kepada sang sopir.
Teman kerjanya yang sudah bersiap pulang, tersenyum melihat kehadiran Jana.
“Jana!!” Tangannya melambai penuh semangat menyambut kedatangan wanita itu.
Jana tersenyum kecil, “sudah sana pulang.” ucapnya sambil menyalami wanita itu. Wanita itu dijemput suaminya dengan motor matic sederhana, namun terlihat bahagia.
Jana segera berganti baju, sekedar mencuci wajahnya agar segar kembali dan melaksanakan sholat. Dia keluar sudah menenteng keranjang. Dia akan menyortir barang yang sudah kadaluwarsa dan bisa diambil sedikit untuknya, ya makanan yang mendekati tanggal kadaluwarsanya akan dijual murah oleh sang bos, setidaknya dia bisa lebih hemat untuk stok camilan di kamarnya.
“Bagaimana Jan? Tadi lembur ya?” seloroh Dewi, teman satu shiftnya yang tengah mendata penjualan untuk hari ini.
“Iya... karena ada artis, lumayan duit lemburnya,” timpal Jana masih terus menyusuri rak-rak produk.
“Eh, kamu jangan ambil banyak-banyak, nanti bos curiga.” Dewi memperingati Jana. Memang mereka tak bisa seenaknya mengambil barang yang padahal tak akan dijual lagi itu. Namun, namanya bisnis, sekecil apapun peluangnya akan menjadi ladang uang.
“Nggak kok...”
“Jan, nanti ada barang datang, tolong didata ya?” pinta supervisornya yang sudah keluar toko dengan terburu-buru.
“Iya pak.” Satu kata yang mampu Jana sampaikan.
Malam itu tak terlalu ramai. Memang ada satu mobil pengangkut barang yang mengirimkan stok pesanan mereka. Jana segera mengambil list barang dan mendatanya. Dia yang tengah repot mengurusi barang masuk ditinggal sendirian. Dewi terburu-buru menuju toilet akibat merasa kebelet.
Jana tak menyadari ada pembeli yang masuk melewatinya. Pria itu sudah pusing mencari-cari obat untuk sakit kepala dan juga air mineral dingin. Di kasir malah tak ada orang satupun. Yang ada hanya wanita sibuk di dekat box-box depan halaman.
Dia berdecak kesal. “Ck!! Mbak saya mau bayar!” sentaknya.
“Eh iya Mas?!” Jana mencari-cari kemana Dewi, namun tak ada. Mau tak mau Jana menaruh papan jalannya dan berjalan menuju kasir.
“Ini aja ya, Mas? Satu obat pereda sakit kepala dan satu air mineral dingin.” Dia menyebutkan pesanan si pelanggan lalu mengarahkan barcode barang itu.
“Iya.”
DEG!
Jantung Jana berhenti mendadak saat itu juga. Suara yang tadi ada di ruangan yang sama dengannya. Suara seorang Gama, si Drummer ternama yang tengah naik daun. Dia mencoba bersikap biasa saja meski gugup bukan main mengingat dirinya malah memergoki Gama yang berganti pakaian itu.
Grep!
Matanya tak berkedip untuk beberapa saat ketika Gama menyambar botol air mineral yang baru dipindai kodenya itu. Seolah tengah menonton slow motion dari pria tampan namun terkesan urakan itu, Jana melihat jelas bagaimana adam apple milik pria itu bergerak naik turun saat ini.
Wajahnya spontan memerah, dia berpaling menunggu pria itu menyerahkan uang untuk membayarnya.
“Kembaliannya 34.500 ya Kak?” ucapnya sopan sambil menyodorkan uang kembalian itu.
Namun, Gama yang sibuk dengan ponselnya segera mengambil struk pembelian tanpa mengambil kembaliannya saat ini.
“Eh?! Kak?! I—ini kembaliannya,” teriak Jana mencoba mengejar pria itu. Namun Gama malah sudah masuk ke dalam mobilnya sendiri dan mengabaikan Jana.
Gama tahu kalau wanita itu mengejarnya. Memori otaknya yang terbilang baik itu kini sudah ingat siapa wanita itu.
Dia kalau tak salah ingat tetangga depan rumahnya yang selalu menyapu halaman saat subuh-subuh masih gelap saat dirinya baru pulang dari rekaman dan kegiatan manggungnya atau sekedar nongkrong di klub malam.
Wanita yang terbilang rajin dan bekerja keras tentu saja.
Gama mulai melajukan mobilnya, dia membuka sedikit kaca mobilnya dan melambaikan tangannya dengan santai pada Jana yang masih terpaku kebingungan tentu saja.
“Bagaimana kembaliannya ini?!” Jana memekik sendirian, merasa bingung dengan uang yang tak bernilai besar bagi Gama namun besar bagi Jana tentu saja.
Jana kembali dengan lesu. Dewi yang sudah kembali dari toilet pun mengambil list barang yang tertunda itu. Melanjutkan apa yang dikerjakan Jana. Wanita itu tampak bingung dengan keadaan Jana yang masuk ke toko dengan bingung.
“Kamu kenapa Jan?” tanya Dewi.
“Ah... tidak...” Jana hanya menggelengkan kepalanya merasa bingung karena masih saja tak habis pikir, bagaimana uang itu dikembalikan olehnya?