Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 6

Sepanjang makan malam, tidak ada pembicaraan. Ruangan itu benar-benar hening dan hanya terdengar suara dentingan alat makan. Malam ini Charael tidak bergabung karena harus menulis surat ke Hurtvillia. Jadilah Tristan hanya berdua dengan Liliane.

Tristan tidak tahu apa yang diucapkannya pada Liliane di ruang kerja tadi siang itu benar atau tidak. Tetapi tampaknya benar. Pangeran Travis pernah mengirimi proposal lamaran untuk Liliane.

Tentu saja. Liliane adalah satu-satunya putri paling anggun di benua ini. Tidak ada orang yang tidak terpesona padanya. Rambut hitamnya yang berkilau, mata ungunya yang dalam, ucapannya dan perlakuannya yang anggun. Tetapi Tristan benar-benar tidak menyangka kalau Pangeran Travis yang akan melamar Liliane.

Memang tidak ada yang salah. Hanya orang itu yang bisa bersanding dengan Liliane. Seorang putri memang harus bersama pangeran untuk memimpin sebuah negara.

“Aku belajar memanah dari Raeliana,” kata Liliane di selah-selah makannya.

Tristan yang ingin mengangkat garpunya menurunkan kembali benda itu dan menatap Liliane dengan pandangan aneh. “Anda … belajar memanah?”

Liliane mengangguk lagi. “Mungkin selain Raeliana, hanya kau yang tahu.”

“Kenapa Anda memberitahu saya, Tuan Putri?”

“Entahlah. Mungkin karena aku percaya padamu?” Liliane tertawa pelan.

Percaya, ya?

“Kalau saya mengadukan hal itu pada Yang Mulia Pangeran, apa yang akan Anda lakukan?”

Liliane menggeleng. “Tidak ada. Hal semacam itu tidak akan bisa membuatku benci padamu.”

Tristan menarik sudut bibirnya. Bukankah lucu? Jika pengkhianatan tidak membuat Liliane benci padanya, lalu apa yang bisa membuat gadis ini menyingkir darinya?

“Padahal Anda tahu kalau saya juga tidak menyukai Anda memegang senjata.”

“Memangnya itu berpengaruh?” Liliane bersandar dan menatap Tristan. “Aku yang tidak memegang senjata pun tidak bisa menarik hatimu. Jadi, kenapa aku harus mengikuti hal itu?”

Tristan terawa. “Anda keras kepala sekali.”

“Aku rasa kau juga.”

“Maka dari itu, Tuan Putri. Kita tidak pernah cocok. Kenapa Anda tidak menyerah saja?”

Liliane membuang muka dengan dengkus pelan. “Untuk sekarang belum. Aku akan menyerah saat nanti aku sudah lelah.” Liliane kemudian berdiri dari duduknya.

Tristan juga ikut berdiri, menatap punggung Liliane yang berjalan ke pintu bersama pelayan pribadinya. Apa hanya perasaannya saja atau memang terjadi. Makin hari, Liliane terlihat makin lemah.

“Anda baik-baik saja, Tuan Putri?” tanya Tristan saat Liliane menarik pintu.

Liliane menolehkan kepalanya. Tersenyum manis pada Tristan. “Kau mengkhawatirkan aku?”

“Itu ….”

“Aku baik-baik saja, Tristan. Mungkin aku akan tidur lebih dulu, bukankah besok Nona Zainrick akan datang untuk mengajakku jalan-jalan? Kalau begitu, selamat malam untukmu, Tristan.”

Tristan tidak menjawab. Ia hanya menyaksikan sosok Liliane yang hilang di balik pintu ruang makan. Apakah perasaan sakit karena penolakan bisa menggerogoti tubuh seseorang?

Jika benar, sudah sebanyak apa hati dan tubuh Liliane yang digerogoti rasa sakit sejak gadis itu memutuskan untuk mencintai Tristan?

***

“Tuan Putri?” tegur Kelly saat mereka sudah sampai di kamar.

“Bisa kau matikan beberapa pencahayaannya, Kelly?” pinta Liliane. “Aku akan mengganti pakaian sendiri. Setelah mematikan pencahayaannya, kau boleh pergi.”

“Anda baik-baik saja?”

Liliane berbalik pada Kelly. Wajahnya basah karena air mata. “Apakah aku terlihat baik-baik saja sekarang?”

***

Tok! Tok!

Tanpa menunggu jawaban, orang yang mengetuk pintu itu langsung masuk. Tersenyum lebar melihat orang yang duduk di meja kerja, sedang menatap sesuatu.

“Lagi-lagi Anda memandangi gambar itu.”

Orang yang dimaksud mengangkat kepalanya. Tersadar bahwa ada orang lain di ruangan itu selain dirinya. “Aku tidak kau datang, Alvi.”

Orang bernama Alvi itu mengangkat bahu. “Anda sibuk memandangi gambar tuan putri sampai tidak mendengar saya mengetuk pintu.”

“Maafkan aku.”

“Yang Mulia Pangeran Travis,” kata Alvi saat menatap tajam kakaknya. “Anda sesuka itu pada Putri Liliane?”

Travis La Della Travia.

Pangeran pertama dari kekaisaran Travia yang berada di ujung bawah benua. Tepat di kaki wilayah Easter. Pria berambut perak dan bermata biru.

“Bagaimana proposal pernikahannya?”

Travis mengembuskan napas pelan dan memasukkan gambar Putri Liliane ke dalam laci meja, kemudian berdiri membelakangi Alvi. Menatap keluar jendela. “Entahlah. Kurasa lamaranku sudah ditolak mentah-mentah oleh Putri Liliane.”

Karena proposal itu adalah yang ketiga kalinya Travis kirimkan. Pertama adalah saat ia mendatangi Easter sebagai tamu pada perayaan kedewasaan Pangeran Ein. Tentu saja proposal itu akan ditolak karena sang putri masih 15 tahun. Lalu proposal kedua sudah Travis kirim beberapa minggu setelah putri melewati hari kedewasaannya. Jika usia menjadi alasan, seharusnya Putri Liliane tidak memberikan alasan lain lagi.

Mereka memang tidak harus menikah dalam waktu cepat. Tetapi setidaknya Travis menginginkan pertunangan. Pada proposal kedua, putri beralasan bahwa Easter sedang dalam masa perang dan tidak sopan jika mengadakan pesta pertunangan di saat kondisi seperti itu.

Travis bisa memakluminya.

Lalu proposal ketiga sudah dikirimkan beberapa bulan yang lalu. Sampai sekarang belum juga ada balasan dari putri atau pihak Easter.

“Bukankah kali ini Anda bisa langsung menemui putri?”

Travis melirik. “Seharusnya begitu.”

Ya, jika saja ada utusan Easter yang datang untuk memberikan undangan pada penobatan kaisar baru beberapa bulan lagi. Sayang, sampai hari ini belum ada undangan tersebut. Padahal tadinya Travis ingin datang lebih awal agar bisa mendekati Putri Liliane dan menanyakan proposal pernikahan itu secara langsung.

Sepertinya tidak ada celah, ya.

“Ha~ah,” Alvi mengembuskan napas kasar. “Padahal ada banyak gadis di Travia. Kenapa Anda malah memilih putri dari Easter? Tempat itu kan isinya orang gila.”

“Mereka itu orang kuat, bukan orang gila.”

“Makanya mereka gila. Memangnya ada negara yang mengeksekusi tahanan perang padahal masih belum ditentukan siapa pemenangnya?”

“Tapi Easter membuktikannya dalam peperangan itu. Mereka menang mutlak.”

Alvi mendengus. “Benar-benar, deh. Cinta itu bisa membuat orang jadi bodoh dan buta.”

“Daripada itu … apa kau mendengar kalau ayah mendapatkan undangan dari Easter?” Travis berbalik pada adiknya dan tersenyum.

“Belum. Apa aku harus pergi memeriksa kapan mereka akan memberikan undangan? Perlukah aku memeriksanya ke rumah para menteri tertinggi? Mungkin saja mereka sudah mendapat undangan. Ya … setidaknya kabar tentang undangan itu.”

“Tidak perlu, Alvi. Aku akan menunggu saja. Pangeran Ein tidak mungkin akan mengabaikan Travia, bukan?”

“Ah, tentu saja.”

“Kalau begitu pergilah beristirahat. Bukankah kau baru saja kembali?”

“Baiklah. Kalau begitu saya undur diri, Kakak.” Alvi membungkuk rendah pada Travis, kemudian meninggalkan ruangan.

Sepeninggalan Alvi, Travis kembali melihat bulan yang bersinar. Berharap punya kesempatan langsung untuk bertemu dengan Liliane dan bicara dengannya. Mungkin saja alasan-alasan yang gadis itu berikan selama ini karena mereka belum pernah bertemu secara langsung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel