6. Serangan
"Leon!" Trixie tiba-tiba menjerit histeris sembari terisak lirih. "Jangan pergi!"
Tangisan wanita itu semakin keras. Air mata telah membanjiri wajahnya, merefleksikan kesedihan yang begitu mendalam dan mengguncangkan batinnya.
"Ssh... aku ada di sini."
Entah apa yang ada di dalam pikiran Aiden saat itu, mungkin dia malah tidak berpikir sama sekali ketika menarik pelan kedua tangan Trixie, membuat wanita itu duduk dan langsung... memeluknya.
Namun ajaibnya, wanita itu tiba-tiba saja berhenti menangis.
Dan Aiden pun merasakan tubuh lembut dengan suhu kulit Trixie yang panas itu kini justru memeluknya dengan jauh lebih erat.
"Leon..." bisik wanita itu.
"Aku tahu kalau kamu masih hidup. Meskipun mereka semua mengatakan bahwa itu hanyalah halusinasiku... tapi aku yakin kalau kamu nyata, dan aku ternyata benar!"
Aiden membiarkan Trixie terus meracau dan terus memanggilnya dengan nama Leon, nama yang sama dengan yang diucapkan oleh asisten wanita itu saat tadi melihatnya.
Dari sini ia pun dapat melihat benang merahnya. Bahwa entah bagaimana, Trixie Bradwell dan asistennya merasa bahwa dirinya mirip dengan seseorang bernama Leon.
Dan dari racauan wanita ini, Leon sepertinya adalah seseorang yang dekat dengan Trixie. Juga sepertinya telah meninggal dunia.
Manik legam lelaki itu sedikit melebar karena kaget, ketika Trixie yang tiba-tiba saja menyentuh pipinya serta mendekatkan wajahnya.
Trixie mengecup bibir Aiden dengan sepenuh hati, sepenuh kerinduan yang selama ini membuatnya sulit untuk memejamkan mata di malam hari.
Batinnya yang selama ini kering dan tandus karena terlalu merindukan Leon, kini terasa disiram oleh dinginnya hujan yang menyejukkan.
Sebutir air mata kembali jatuh melintasi pipinya, ketika Trixie kembali mengulangi kecupannya untuk yang kedua kali, tak peduli meski lelaki di depannya sama sekali tak membalasnya.
Aiden menggeretakkan geraham dan mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat, berusaha untuk menolak godaan besar yang tengah melandanya.
Damned. Harusnya ia bisa mengelak saat bibir Trixie menyentuh bibirnya. Wanita ini telah salah sangka, mengira dirinya adalah lelaki lain, dan sudah sepantasnya Aiden menjelaskan kesalahpahaman ini.
Tapi Aiden hanyalah lelaki normal yang sebenarnya sungguh sangat kesulitan untuk menahan diri, ketika sesosok wanita semenawan dan sesensual seorang Trixie Bradwell menciiumnya.
Persetan! Ia tak peduli jika Trixie sedang membayangkan lelaki lain. Bukan salahnya, karena bukan dirinya yang lebih dulu memulai!
Satu tangan lelaki itu tiba-tiba saja terulur untuk mencengkram tengkuk Trixie, lalu sebuah suara geraman kasar yang keluar dari mulutnya mengiringi sergapan Aiden yang meelumat bibir Trixie dengan kuat.
Aiden sangat tidak puas dengan kecupan ringan seperti tadi. Ia butuh lebih, karena bibir sensual Trixie yang lembut dan bercita rasa semanis ceri ternyata berhasil membuatnya ingin terus menagih.
"Mmmh..." Trixie mengguman lirih ketika lidah Aiden bergerak dengan liar di dalam mulutnya, menginvasi eksistensinya dengan cara yang liar dan membabi-buta.
Dirinya merasa telah tenggelam dalam kebahagiaan, karena mengira Leon-lah yang menciiumnya.
Saat Aiden semakin terhanyut pada nikmatnya Trixie, saat itu juga sebuah kesadaran baru membuatnya terhempas kembali ke dunia nyata.
Manik legam Aiden menangkap bayangan seseorang yang sedang mengendap-endap melalui pantulan cermin besar seluruh badan yang terletak di samping meja kerja.
Seseorang yang mengenakan baju serba hitam, topeng hitam, dan sebuah hand gun teracung di depannya.
Serta-merta Aiden pun melepaskan pagutannya dari bibir Trixie, lalu mendorong wanita itu agar kembali berbaring di sofa.
Lalu semuanya pun terjadi dengan begitu cepat.
Trixie menjerit dan menutup kedua telinga serta memejamkan matanya, ketika melihat Aiden mengeluarkan sebuah senjata berwarna hitam dari balik mantelnya.
Lalu lelaki itu pun mengarahkannya ke sebuah titik, dan suara senjata berperedam pun terdengar bagai kelebat sebuah belati yang menikam jantungmu.
***