Bab 3. AKU BUKAN PEDOFIL
Kediaman Abyudaya.
Sehari setelah acara pesta ulang tahun pernikahan Tuan dan Nyonya Besar Abyudaya, keluarga itu melakukan kegiatan seperti biasanya.
Pagi itu, seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di ruang makan. Masing-masing mengambil tempatnya, duduk dengan tenang sambil menunggu para pelayan menyajikan makanan dan minuman untuk sarapan.
Mereka pun menikmati makanan dalam diam. Tidak ada satu pun yang berbicara, hanya dentingan alat makan yang terdengar. Hingga makanan itu benar-benar tidak tersisa.
Para pelayan yang melihat para tuannya telah menyelesaikan sarapannya dengan sigap segera membereskan peralatan makan yang sudah kosong dan kotor dari atas meja makan.
Mahawirya mengambil koran yang akan dibacanya untuk mengetahui berita terbaru hari itu.
"Ayah—" Suara Lingga memecahkan suasana hening yang ada di ruangan itu.
"Apa maksud perkataan Ayah semalam sewaktu di pesta? Perkataan Ayah tentang Amelia yang akan bersamaku seterusnya?" lanjut Lingga.
Seakan tahu akan ada pembicaraan serius antar tuannya, bibi Sumi yang merupakan kepala pelayan keluarga Abyudaya segera menghampiri Kanaka—nona mudanya lalu mengajaknya pergi dari ruangan tersebut.
"Ehem ...." Mahawirya berdeham. Melipat dan meletakkan koran yang ia baca tadi kemudian mulai berkata, "Perkataan Ayah semalam sudah jelas. Ayah rasa kamu cukup pintar dan mengerti maksud Ayah."
"Ayah dan Mami berniat untuk menjodohkan kamu dengan Amelia, putri Manggala dan Elsa sahabat kami. Ini adalah janji kami dulu dengan sahabat kami. Kami ingin menikahkan anak pertama kami jika kami mempunyai anak.
Namun, karena anak pertama kami sama-sama laki-laki maka janji itu belum bisa kami tepati. Sampai akhirnya Elsa melahirkan seorang putri. Meskipun itu bukan anak pertamanya, sekarang apa salahnya kalau kamu menikah dengan gadis itu, toh dia juga masih anak dari sahabat Ayah dan Mami." Mahawirya berkata-kata panjang. Mencoba menjelaskan, berharap putranya mengerti.
Lingga masih bungkam, dia mengepalkan kedua tangannya. Nafasnya naik turun menahan kesal. Lingga merasa sang ayah terlalu memaksakan kehendak tanpa memikirkan perasaannya sedikitpun.
Lingga mengambil gelas yang berisi air lalu meminumnya dengan cepat. "Tapi, Yah. Perbedaan usia kami jauh. Kami juga baru bertemu lagi setelah beberapa tahun lalu. Kami belum benar-benar saling mengenal.
Sekarang dia baru berusia empat belas tahun dan aku ... aku belum menyelesaikan study-ku. Aku pun belum berpenghasilan. Bagaimana nanti aku akan bertanggung jawab atas dirinya? Dengan keadaan kami yang seperti ini bagaimana kami bisa menikah sekarang? Yang ada nanti aku dikira pedopil* lagi sama orang-orang, iihh amit-amit deh Yaahh," jelas Lingga tak kalah panjang dan lebar dari perkataan ayahnya tadi.
Pletak!
Sebuah sentilan mendarat di kening Lingga.
"Yang mau kamu menikah sekarang siapa? Ayah juga tahu kalau gadis itu masih kecil dan kamu belum menyelesaikan study kamu. Sambil menunggu gadis itu cukup umur dan study kamu selesai, kalian akan bertunangan dulu. Dalam masa-masa tunangan itu pergunakanlah oleh kalian agar bisa saling mengenal lebih dalam," kata Mahawirya.
Lingga menghela nafas dalam kemudian berdiri hendak pergi, dia merasa malas untuk meladeni permintaan ayahnya. Kepulangannya ke Indonesia kali ini dia pikir hanya untuk acara pesta pernikahan orangtuanya saja. Namun, ternyata dia salah. Dia juga mendapatkan permintaan perjodohan secepatnya. Hal yang sama sekali tidak ingin dia dengar dan tidak dia inginkan.
"Linggaa!" Mahawirya berteriak kencang karena kepergian putranya. Mendadak suaranya serak. Shiori bergegas mengambilkan air untuknya.
Lingga tidak menggubris, dia tetap melangkahkan kakinya menuju pintu keluar kediaman.
"Berani kamu melangkahkan kakimu keluar dari rumah ini sekarang, maka ayah akan mencabut semua fasilitasmu dan berhenti membiayai study kamu yang di Jepang sana!" Mahawirya dengan tegas mengeluarkan ancaman.
Mendengarkan ancaman sang ayah langkah Lingga terhenti. Dia mengepalkan kedua tangannya, memejamkan mata, mengambil nafas lalu menghembuskannya pelan.
Lingga terlihat sedang mengontrol emosinya. Tidak lama kemudian Lingga membuka matanya kembali. Merasa diri sedikit lebih baik, Lingga membalikkan badannya, dia kembali melangkahkan kaki menuju kamarnya yang berada di lantai 2.
Ceklek!
Lingga membuka pintu kamarnya lalu bergegas masuk ke kamar dan menutup pintu itu. Lingga membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dan memejamkan matanya.
"Dijodohkan? Menikah? Huh, ayah ada-ada saja! Bahkan sampai saat ini saja aku tidak ada pemikiran sampai ke sana. Pakai mengancam berhenti membiayai study lagi." Lagi-lagi Lingga mendengkus kesal.
***
Tok tok tok!
Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu di ketuk.
Ternyata Shiori yang mengetuk pintu.
Ceklek!
Pintu kamar dibuka.
"Boleh Mami masuk, Sayang?" ucap Shiori meminta izin. Meskipun kamar ini merupakan bagian dari rumahnya, tetapi dia juga tetap menghormati privasi anaknya.
"Masuk saja, Mi," jawab Lingga masih dengan mata yang terpejam.
Shiori masuk dan mendudukkan dirinya di tepi ranjang, mendekati putranya. Memulai perbincangan dalam bahasa Jepang.
"Dulu kami berempat. Ayahmu, mami, paman Manggala dan tante Elsa selalu bersama saat senang maupun duka. Paman Manggala akan selalu membantu ayah dikala susah begitu pun sebaliknya. Hingga akhirnya mereka sama-sama menjadi orang yang berhasil." Mata Shiori nanar menerawang saat mengingat masa lalu.
"Ayah dan Mami ingin kamu menikah hanya dengan anak dari sahabat karib kami. Kami hanya ingin hubungan dengan sahabat karib kami tidak terputus karena itulah kami ingin menjodohkan kamu dengan putri mereka." Shiori menoleh kearah Lingga, tersenyum lantas berdiri dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar Lingga.
Lingga terdiam beberapa saat sampai akhirnya dia membuka matanya.
"Huft, baiklah jika itu yang diinginkan ayah dan mami." Lingga berbicara pada dirinya sendiri lalu bangkit dari ranjang dan melangkah keluar dari kamarnya. Dia telah membuat suatu keputusan.
***
Lingga menuruni tangga rumahnya. Pandangannya dia edarkan untuk mencari sosok sang ayah.
"Bi, apa Bibi tahu di mana ayah sekarang?" tanya Lingga pada bibi Sumi.
"Tuan besar ada di ruang kerjanya Tuan Muda," jawab bibi Sumi.
"Terima kasih, Bi." Lingga dengan segera melangkah menuju ruang kerja ayahnya.
Tok tok tok!
Lingga mengetuk pintu setibanya dia di depan ruang kerja Mahawirya.
"Masuk!" Terdengar suara sahutan dari dalam ruangan.
Ceklek!
Lingga membuka pintu ruangan tersebut. Dia memasuki ruangan itu lalu menutup kembali pintunya, melangkahkan kakinya menuju sofa yang ada di ruangan itu lalu mendudukkan dirinya.
Mahawirya kala itu sedang duduk di kursi kerjanya sedang membolak balik berkas-berkas yang ada di atas meja kerjanya dan sesekali melihat laptop.
"Jadi, apa kamu sudah bersedia menerima perjodohan kalian?" tanya Mahawirya membuka perbincangan sambil meletakkan berkas-berkas lalu menolehkan kepala ke putranya.
Terdengar helaan nafas berat dari anak muda itu. "Aku akan bersedia menerima perjodohan itu, tapi dengan syarat."
Mendengar putranya mengajukan syarat, Mahawirya menghentikan kegiatan bekerjanya. Tangannya bersedekap, memasang wajah datar lalu berkata, "Selama syarat yang kamu ajukan tidak aneh-aneh maka Ayah akan menyetujuinya. Jadi katakan apa syaratmu?"