Chapter 3 : Marry Me
"Sir, semua sudah selesai!"ucap seseorang yang berdiri tegas tepat di belakang Alexander.
Pria itu melirik sedikit lalu meletakkan gelas sloki berisi alkohol di atas nakas yang ada di sudut tempat tidur.
"Kau mau kemana?"tanya Joana yang melangkah ke arahnya, meraih tubuh pria itu dan memeluknya erat.
Alexander segera menepisnya, mendorong kuat tubuh wanita itu ke atas ranjang hingga pandangan Joana membulat lebar.
"Sudah ku peringatkan, jangan coba menyentuh tanpa izin ku!"bentaknya sarkas lalu memalingkan pandangan ke arah lain.
"Sudah batalkan pengantaran nya?"tanya Alexander pada bodyguard yang masih berdiri di dekatnya dengan pandangan datar.
"Sudah sir, tidak ada pengantaran apapun selama satu bulan ke depan!"balasnya cepat melirik ke arah Joana yang tampak memasang wajah merah. Ia cukup menelan rasa malu akibat tingkah Alexander.
"Panggil Michella dan tunggu aku satu jam lagi,"titahnya terdengar begitu arogan dengan congkak yang ia tunjukkan.
"Baik sir,"pria itu memutar tubuhnya cepat, mematuhi perintah segera.
"Alexander. Kita perlu bicara!"sudut mata pria itu beralih tajam saat Joana berdiri di depan nya dengan pandangan intens.
"Minggir!"
"Alex, apa kau tidak paham juga? Aku hamil dan kau harus bertanggung jawab,"pekiknya lantang mencoba memukul pria itu dan di tangkap cepat oleh Alexander lalu kembali melemparnya ke tempat tidur.
"Alex,"Joana menahan napas, merasakan pria itu memegang lehernya kuat.
"Sejak awal, kau hanya fantasi ku sebagai Lorna dan perlu kau ketahui, anakku tidak layak berada di rahim pelacur seperti mu,"ucap Alexander penuh penekanan, begitu pedas.
"Sir,"potong Michella membuat pria itu akhirnya melepaskan cengkeramannya dan segera menjauh dari Joana yang langsung memegang leher panjangnya.
"Kita berangkat satu jam lagi, kau ikut dengan ku. Billy harus menjaga Milla di mansion!" Michella melirik ke arah Joana lalu mengangguk datar pada Alexander.
"Urus dia!"ucap Alexander melangkah menjauh dari kamar meninggalkan keduanya begitu saja.
"Aku dengar kau hamil?"tanya Michella memicingkan pandangan begitu lekat pada Joana.
"Kenapa? Kau iri karna sebentar lagi aku akan menjadi nyonya di mansion ini?"
Seketika Michella terkekeh kencang, tidak kuat menahan tawanya yang nyaris meledak.
"Kau tidak pernah berubah. Hobby mu pamer, tapi sungguh lelucon itu sangat menghibur. Terimakasih Joana Roses!"
"Apa yang lucu menurut mu Michella. Aku sedang tidak bicara main-main,"
"Bagaimana kalau kita test?"potong nya cepat membuat wajah Joana berubah drastis.
"Aku sudah melihat hasil testpack!""
"Aku rasa hasil testpack itu tertukar dengan milik Leila."lagi Michella menyanggah, jarang ia tersenyum begitu lebar karena sesuatu hal.
"Diam kau Michella, kau—"
"Kau tahu apa tugas Dr. Milla di sini?"potong Michella begitu tidak sabar.
"Ia memberiku pil anti kehamilan, dan aku memberikan itu padamu diam-diam."
"Michella!"
"Itu perintah tuan Alexander, kau meminumnya dengan lahap,"
"Kalian semua brengsek!"
Joana melangkah cepat ke arah Michella dan mendorong sudut tubuh wanita itu agar ia bisa menjauh dan segera melangkah keluar.
"Hey ceritakan bagaimana wajah tuan Alexander saat mendengar kebohongan konyol itu!"teriak Michella masih ingin menghinanya lebih lama. Sayangnya wanita tukang pamer itu memilih pergi daripada meladeninya seperti biasa.
"Sial harusnya aku tidak mendengarkan mommy untuk membohongi Alexander agar ia menikahi ku, ahhh sial! Aku benar-benar bodoh!"maki Joana memegang kepalanya begitu kuat memikirkan banyak hal. Sungguh mungkin ia tidak punya muka lagi untuk berhadapan pada Alexander sekarang.
____________
Lorna mengulum bibir, memegang mug berisi coffee latte tanpa menghirupnya sedikitpun. Entah sejak kapan ia melamun, begitu jauh dan mulai tertekan akhir-akhir ini. Ia menjalin hubungan bersama Rowan berharap Alexander semakin jauh dari pikirannya. Tapi kenapa bayangan itu malah mengintainya setiap saat.
Ia berdebar merasakan sesuatu yang mungkin akan terjadi, takut sekaligus tidak siap dengan sesuatu yang kini berputar di kepalanya.
"Kenapa kau melamun?"mendadak Lorna Kembali terkejut, Rowan memeluknya erat dari belakang.
"Rowan, kau membuat ku terkejut!"Lorna melepas pelukan pria itu lalu memutar tubuhnya menatap ke arah nya begitu lekat.
"Aku ingin bicara, masuklah ke dalam!"Rowan membuang napas pelan mengangguk dan melangkah mengikuti Lorna.
"Ada apa?"Rowan menatap tajam mata hazel Lorna, begitu intens. Wanita itu masih berpikir sejenak mencoba mengumpulkan kalimat yang padat di pikirannya.
"Apa kau benar-benar serius dengan hubungan ini?"tanya Lorna membalas tatapan kekasihnya itu sambil melihat Rowan tersenyum tipis.
"Aku mencintai mu, Lorna."balasnya pelan mencoba meraih ujung rambut panjang wanita tersebut.
"Kemarin kau meminta ku untuk menikah dengan mu kan?"tanyanya mencoba yakin akan keputusan yang tengah menjadi dilema di otaknya.
"Apa itu masih berlaku? Jika iya aku akan membelikan mu cincin yang baru—"
"Tidak perlu! Aku tidak butuh cincin atau apapun itu. Aku hanya butuh kau!"Lorna menelan ludah seakan begitu berharap. Mungkin dengan begini ia benar-benar bisa keluar dari bayang masa lalu.
"Kau yakin dengan ini?"Rowan mendekat memegang pinggul wanita itu dan sedikit meremasnya.
"Yah! Aku setuju untuk menikah dengan mu,"balasnya begitu pelan, sungguh Lorna masih menyimpan ribuan keraguan tapi ia ingin memperbaiki kualitas hidupnya. Ingin seseorang mencoba mengisi kekosongan hidupnya. Ia ingin hidup dengan baik, sangat baik.
"Thanks Lorna. Aku akan mengurus dokument, bisa serahkan berkas mu?"Lorna terdiam, ia bahkan tidak membawa sehelai pakaian pun saat sampai di Haggen. Apalagi berkas penting seperti itu.
"Aku kehilangan berkas. Apa kau punya solusi agar aku bisa mengurusnya cepat?"
"Bagaimana bisa kau bertahan di sini tanpa—"
"Rowan aku tidak ingin membahas hal itu, bagaimana caranya itu sama sekali tidak penting!"Lorna memalingkan pandangannya ke arah lain lalu di tangkap kembali oleh pria tersebut hingga pandangannya kembali bertemu.
"Aku akan mencoba mencarikan solusinya untuk mu,"balasnya lagi sambil mengeluh pelan dan mengedarkan pandangan ke wajah Lorna yang begitu cantik.
Ia mendekat, mencoba menyatukan bibir mereka hingga tubuh Lorna langsung mematung. Sungguh ciuman itu tidak ada rasanya, hambar dan begitu kosong. Ia hanya mencoba menghormati Rowan sebagai kekasihnya sekarang, dan mungkin akan menjadi suaminya. Mungkin!
Pria itu menaikkan tubuh Lorna di atas nakas, menyentuhnya pelan hingga wanita itu memegang bahunya begitu kuat. Pria itu menenggelamkan ciumannya yang berbekas di leher Lorna, mencoba menyingkap pakaian wanita itu sebisanya.
"Izinkan aku memiliki mu lebih dulu,"pintanya begitu terdesak, miliknya mengeras dalam hitungan detik. Sungguh Lorna terlalu sulit untuk di lepaskan begitu saja, ia seakan bisa mencuri hati siapapun lewat senyumannya.
Lorna hanya diam, ia menutup mata membiarkan pria itu menjelajahi tubuhnya.
"Kau milikku, hanya milikku Lorna. Ingat itu kau milikku!"
"Rowan lepas!!!"wanita itu mendorongnya kuat, lalu menutupi tubuhnya kembali dengan pakaian yang nyaris terlepas. Masih saja suara Alexander terbenam jauh di kepalanya, membutakan tiap keinginan Lorna untuk mencari kepuasannya, namun itu sulit. Rasanya seperti ada kekuatan besar yang mencoba membuat semuanya begitu sulit.
Rowan mengepal tangan, lalu memukul malas dimana wanita itu duduk. Ia marah dan begitu kecewa.
"Fuck!"keluhnya dalam hati lalu segera memutar tubuhnya keluar.
"Rowan!"pekik Lorna mencoba mencarikan suasana. Namun sedikitpun pria itu tidak menoleh dan segera memasuki mobilnya. Pergi ke club malam dan menyalurkan hasratnya di sana, ia benar-benar terdesak Akibar Lorna. Frustasi dan begitu penasaran ingin mencicipi rasanya bercinta dengan wanita itu. Wanita yang selalu bisa membakar gairahnya dalam sekejap, ia bahkan sulit membedakan mana cinta ataupun hanya gairah semata.
Sementara Alexander mulai bergerak, ia keluar dari mansion nya menuju bandara. Michella sudah mengantongi banyak info tentang Rowan, mereka hanya tinggal menemukan Lorna dengan benar. Milla memilih ikut, ini permintaan wanita hamil! Ia juga sama, merindukan Lorna dalam jutaan detik. Mereka partner hebat di masanya.
"Aku harap kau bisa memperbaiki semuanya Alexander,"ucap Milla sambil menatap pria itu sejenak.
"Aku punya rencana,"balasnya sambil menelan saliva.
"Jangan terlalu yakin, ini sudah sangat lama. Banyak yang berubah dalam 3 tahun!"ingat Milla membuat Billy menarik lengannya segera. Berharap wanita itu tidak terlalu jauh untuk ikut campur dalam urusan Alexander.