CHAPTER 7
Clara merenung seorang diri di dalam kamar, banyak hal yang tengah memenuhi kepalanya saat ini. Tak hentinya dia meneteskan air mata ketika mengingat sang ibu tercinta telah meninggalkannya untuk selamanya. Celin ... yang tidak lain adalah ibu kandung Clara menghembuskan napas terakhirnya dua hari yang lalu. Cukup lama dia sakit keras.
Bagi Clara meninggalnya sosok sang ibu merupakan pukulan terberat dalam hidupnya. Tidak dipungkiri selama ini banyak hal yang membuatnya menderita. Semua berawal dari kehamilannya yang tiba-tiba, membuat hidupnya bagai jungkir balik karena semuanya berubah dengan drastis. Pernikahan yang sudah diimpikannya kandas di tengah jalan padahal pernikahan itu akan diselenggarakan sekitar satu bulan lagi. Pria yang begitu dicintainya berubah menjadi seseorang yang sangat membencinya. Pria itu bahkan tidak segan menghina dan merendahkannya. Jika menggambarkan suasana hatinya saat Maxy meninggalkannya, bisa dikatakan Clara merasa hatinya bagaikan cermin yang hancur berkeping-keping.
Karena kehamilannya yang tiba-tiba itu pula semua warga Desa Tussand tidak mengakui keberadaannya lagi. Meski beruntung dia tidak dihukum ataupun dibully oleh warga desa tapi diperlakukan bagaikan orang asing cukup membuat Clara merasa hidupnya telah hancur. Bahkan seumur hidupnya dia akan hidup sebatang kara tanpa pendamping. Tidak ada satu pun pria yang mau menjadikannya istri, padahal dulu sebelum kehamilan itu bisa dikatakan dia sosok gadis yang dipuja oleh banyak pria karena kecantikan parasnya.
Penderitaannya tidak habis sampai di situ, kenyataan pahit lain harus diterimanya ketika bayi yang dia lahirkan ternyata bukanlah manusia. Melainkan makhluk penghisap darah yang bernama vampir. Meski awalnya dia frustasi tapi berkat dukungan sang ibu akhirnya dia memutuskan untuk membesarkan anaknya.
Selama ini semua bebannya terasa ringan karena sang ibu senantiasa mendukung dan membantunya. Tapi kini setelah ibunya tiada, Clara merasa sebatang kara. Tidak ada lagi sosok yang senantiasa menguatkan dirinya dalam menghadapi berbagai permasalahan di dalam hidupnya.
Masalah kepergian ibunya memang menjadi masalah terbesar bagi Clara tapi bukan hanya masalah itu yang membuatnya frustasi. Sosok putranya yang dia beri nama Cliff yang saat ini sudah menginjak usia 12 tahun, menjadi masalah besar yang membuatnya sangat frustasi. Anak itu mulai sering melawan perkataannya. Dia anak yang cerdas dan dengan cepat dia menyadari bahwa dirinya berbeda dari manusia biasa. Dia selalu bertanya pada Clara, makhluk apa sebenarnya dirinya karena entah bagaimana anak itu menyadari bahwa dia bukanlah manusia.
Cliff juga tak henti menanyakan tentang keberadaan ayahnya yang membuat Clara tidak sanggup lagi untuk menghadapi putranya itu. Sudah hampir dua tahun Clara tidak lagi tidur di dalam pondok menemani putranya. Dia lebih memilih untuk tidur di kamarnya yang dulu di dalam rumah mewahnya. Alasan lain yang membuat Clara tidak berani tidur bersama putranya karena Cliff mulai memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia makhluk yang berbahaya. Clara sering mendapati Cliff menatapnya seolah dia santapan baginya, mungkin semakin bertambah usianya membuat instingnya sebagai vampir semakin tumbuh. Aroma darah di dalam tubuh Clara tentu membuatnya berhasrat untuk meminumnya. Clara mulai takut pada putra yang dilahirkannya itu. Meski demikian, dia tidak benar-benar mengabaikan putranya. Dia masih mengantarkan darah hewan yang menjadi makanan putranya itu setiap hari. Walau tak dipungkiri, dia tidak pernah menemani Cliff berlama-lama lagi di dalam pondok, hingga selama hampir dua tahun ini Cliff nyaris menghabiskan waktunya seorang diri di dalam pondok.
Dulu ketika Celin masih ada di sampingnya, dia selalu menceritakan keluh kesahnya pada sang ibu. Sejauh ini Celin selalu berhasil menenangkan hati dan pikirannya sehingga dia bisa melupakan sejenak semua masalah di dalam hidupnya. Tapi kini ... setelah Celin meninggalkannya untuk selamanya, Clara merasa sebatang kara di dunia ini. Berulang kali dia berpikir untuk ikut menyusul ibunya pergi meninggalkan dunia ini yang menurutnya terlalu kejam baginya.
Tok ... Tok ... Tok
Terdengar suara ketukan pintu yang sontak membuatnya terhenyak sekaligus membuyarkan semua lamunannya. Dengan gontai dia melangkah menuju pintu. Dengan malas dia buka pintu itu. Tampak berdiri seorang wanita paruh baya yang tidak lain merupakan salah seorang pelayan di rumahnya.
“Nona ... Tuan besar menunggu anda di ruang makan. Sudah saatnya makan siang,” ucap pelayan itu yang hanya ditanggapi Clara dengan anggukan. Dia pun melangkah menuju ruang makan. Terlihat ayahnya tengah duduk seorang diri menanti kedatangannya. Mereka memulai aktivitas makan siang dalam keheningan, hanya terdengar suara piring dan sendok yang beradu memenuhi ruangan itu.
“Clara,” panggil ayahnya yang seketika membuat Clara menghentikan sejenak aktivitas makannya. Dia pun menatap wajah ayahnya.
“Setelah ibumu meninggal, kita hanya tinggal berdua di rumah ini. Kenapa kau tidak mengajak putramu untuk tinggal bersama kita di rumah ini? Jika kau ingin mengajaknya tinggal di rumah ini, ayah mengizinkannya.” Clara tersentak mendengarnya, pasalnya selama ini ayahnya itu selalu membenci putranya. Dulu dengan lantang dia menolak mengakui Cliff sebagai cucunya. Bukan hanya itu kekejaman ayahnya pada Cliff, dia juga bertekad tidak akan memberikan nama marga keluarganya pada cucunya itu. Namun, kata-katanya barusan bukankah itu pertanda bahwa ayahnya telah berubah pikiran dan mulai menerima Cliff sebagai cucunya?
Tentu Clara akan senang jika seandainya Cliff hanyalah anak normal. Dengan senang hati dia akan membawa putranya itu untuk tinggal bersama dengan mereka di rumah mewah ini. Tapi Clara sadar semua itu mustahil bisa dilakukannya. Cliff adalah vampir yang sangat berbahaya, mungkin seumur hidup dia akan menghabiskan waktunya terkurung di dalam pondok kecil nan sempit yang terletak di belakang rumahnya.
“Clara,” panggil ayahnya yang lagi-lagi membuat Clara terhenyak kaget.
“I-Iya, Ayah. Akan aku bicarakan dengannya,” jawabnya tampak kikuk karena dia tengah menggaruk tengkuk yang sebenarnya sama sekali tidak gatal. Dia hanya bingung jawaban apa yang menurutnya baik untuk diberikan pada ayahnya.
“Setelah ayah pikir-pikir, tidak seharusnya ayah membenci anak itu. Walau bagaimanapun dia sama sekali tidak berdosa, yang bersalah adalah ayahnya yang telah menodaimu dan menghamilimu tanpa mau bertanggung jawab. Seandainya ayah tahu siapa dia, pasti ayah sudah menembak mati dia.” Harry mengatakannya dengan wajah yang memerah, cukup membuktikan bahwa amarah di dalam dirinya tengah memuncak. Clara hanya menatap ayahnya diam, dia tidak berani menyahuti perkataan ayahnya yang tengah disulut emosi itu.
“Berapa usia putramu sekarang?” tanya Harry. Entah untuk keberapa kalinya Clara terhenyak. Dia tidak menyangka sang ayah yang biasanya tidak peduli pada putranya, kini menunjukkan sebuah ketertarikan.
“12 tahun, Ayah.”
“Hmm ... tidak terasa dia sudah besar. Namanya Cliff, bukan? Ibumu sering menceritakan tentangnya pada ayah. Ibumu bilang dia anak yang tampan dan cerdas.” Clara hanya menanggapinya dengan senyuman kali ini.
“Kau tidak pernah mengajaknya ke rumah ini, selama 12 tahun ini ayah bahkan belum pernah melihat wajah cucu ayah sendiri. Ajaklah dia ke rumah ini. Maafkan sikap ayah dulu pada kalian, ayah sudah memikirkannya baik-baik. Sudah ayah putuskan akan menerimanya sebagai cucu ayah.” Sungguh Clara ingin meneteskan air mata sekarang, sesuatu yang diimpikannya selama ini, kini menjadi sebuah kenyataan. Ayahnya yang selalu bersikap kejam padanya dan Cliff bagaikan sebuah keajaiban kini bersikap lembut bahkan mau menerima Cliff sebagai cucunya.
“Dia pasti belum makan, kan? Ajaklah dia untuk makan bersama kita. Ayah akan menunggu di sini.” Clara mengangguk disertai dengan senyuman. Namun, sesuatu yang dilupakannya membuatnya terbelalak kaget sekaligus panik. Dia tatap sebuah jam yang bertengger indah di dinding ruangan itu. Waktu menunjukkan pukul 12.23 saat ini. Sudah sangat siang dan dia belum mengantarkan makanan untuk Cliff. Lamunannya tadi di dalam kamar membuatnya melupakan suatu kewajiban yang harus dilakukannya setiap hari yaitu mengantarkan darah untuk Cliff.
“A-Ayah, aku akan menemuinya sekarang,” pamitnya pada sang ayah, dia melenggang pergi tanpa menunggu jawaban dari ayahnya.
Dengan tergesa-gesa dia berlari menuju peternakan milik ayahnya yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Setelah menerima darah hewan dari salah satu pegawai ayahnya yang sudah terbiasa menyisihkan darah hewan itu setiap hari, Clara kembali berlari dengan cepat menuju pondok tempat Cliff berada.
Dengan terburu-buru dia membuka kunci pada pintu, setibanya dia di pondok.
“Cliff, maaf ibu terlambat ... ibu ...” ucapannya terpotong ketika dia melihat keanehan di dalam pondok itu. Keadaan ruangan yang biasanya remang-remang karena selalu diterangi oleh cahaya lilin saja kini berubah menjadi gelap gulita. Ya, tidak ada cahaya lilin atau cahaya apa pun yang menerangi ruangan itu karena gorden jendela pun dalam keadaan tertutup rapat. Sebenarnya semenjak insiden Cliff membuka jendela ruangan ini sehingga tangannya terbakar sinar matahari ketika dia berusia 10 tahun, Clara menutup kaca jendela dengan kain hitam dari luar pondok. Hal itu dilakukannya agar Cliff tidak tergoda lagi untuk ikut bermain bersama anak-anak yang sering bermain di dekat pondok. Dia tidak ingin Cliff melihat anak-anak itu lagi, sesuatu yang selalu menjadi awal permasalahannya dengan Cliff.
“Cliff ... ini ibu, kau di mana, Sayang?” Tanyanya. Jantungnya berdetak sangat cepat mengetahui dia tidak bisa melihat sekeliling. Dia mengkhawatirkan keadaan putranya karena terakhir kali dia datang ke pondok ini kemarin ketika dia mengantarkan darah untuk Cliff. Dia khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada putranya. Nalurinya sebagai seorang ibu yang sangat menyayangi sang putra membuatnya merasakan kekhawatiran ini.
Dia berjalan memasuki pondok sambil meraba-raba sekeliling. Dia hanya berharap bisa meraba tubuh putranya di dalam ruangan gelap itu.
“Cliff ... Sayang ... kau ada di sini, kan?”
Gggrrrrrr
Clara terhenyak, dia mendengar suara aneh yang menyerupai suara geraman. Semakin lama suara geraman itu terdengar mendekatinya, spontan membuat Clara berjalan mundur. Jantungnya semakin berdetak cepat terutama ketika dia melihat sepasang iris mata berwarna merah bagaikan darah tengah bersinar di dalam ruangan gelap itu. Dia tahu betul siapa pemilik iris mata itu, dan melihatnya sukses membuat Clara mulai ketakutan. Dia menyadari keanehan pada sosok putranya.
“Sayang, kau pasti lapar ya? Maafkan ibu karena terlambat mengantarkan makanan untukmu. Lihat, ibu sudah membawakan makanan untukmu!” Dia mengangkat sekantong darah yang berada dalam genggamannya. Dia terperanjat kali ini ketika merasakan seseorang merebut kantong di tangannya itu dengan paksa. Tentu dia tahu yang melakukannya adalah putranya sendiri. Suara geraman itu seketika terhenti dan digantikan suara seseorang yang tengah meminum sesuatu dengan rakus.
Clara memanfaatkannya dengan berjalan menghampiri meja yang berada di dalam ruangan itu. Cukup lama dia menetap di dalam pondok jadi kurang lebih dia hafal letak barang-barang di dalam ruangan itu.
Setelah tangannya berhasil meraba meja, dia pun menemukan sebuah lilin yang masih utuh beserta pemantik api yang berada di atas meja itu. Tanpa ragu dia menyalakan lilin itu, seketika cahaya remang-remang menyinari ruangan gelap nan pengap tadi. Dia mengedarkan pandangan ke segala penjuru dan menemukan sosok Cliff tengah berjongkok di lantai sambil meminum darah yang dibawakannya tadi. Melihat putranya yang meminum rakus darah itu hingga tidak mempedulikan darah itu menetes ke lantai dan membuat sekitar mulutnya belepotan dengan darah, Clara pun menyadari kesalahan terbesarnya ini. Pasti putranya itu sangat kelaparan. Rasa bersalah yang amat sangat memenuhi relung hatinya, membuatnya meneteskan air mata.
“Ibu terlambat ...” Suara putranya menarik atensi Clara. Kini dia menatap ke arah Cliff yang tengah menatapnya tajam. Iris mata yang masih menyala berwarna merah, disertai dengan mulut yang penuh dengan darah membuat Clara ketakutan melihatnya.
“I-Iya, maafkan Ibu. Tadi ada sesuatu yang harus ibu kerjakan dulu. Maaf ya, Sayang.” Clara berusaha tersenyum meski hanyalah sebuah senyuman palsu. Tapi tampaknya Cliff menyadari hal itu. Dia menyeringai seram membuat Clara semakin ketakutan. Dia berjalan mundur semakin menjauhi Cliff tanpa disadarinya.
“Ibu takut padaku,” ujar Cliff dengan suara baritonnya yang mulai tumbuh. Walau bagaimanapun sekarang dia telah berusia 12 tahun, mungkin karena dia seorang vampir sehingga pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan manusia normal. Tubuhnya sangat tinggi menyamai tinggi Clara meski dia hanyalah anak berusia 12 tahun. Tanda-tanda kedewasaan seperti suaranya yang mulai memberat menjadi salah satu bukti betapa dia tumbuh dengan cepat. Parasnya pun terlihat semakin tampan dan mempesona, bisa dibayangkan jika gadis-gadis remaja melihatnya pasti akan berteriak histeris.
“K-Kenapa ibu harus takut padamu? Jangan bicara yang aneh-aneh, Cliff,” ucap Clara dengan suara yang bergetar, kentara sekali dia sedang menyembunyikan ketakutannya. Cliff tersenyum sinis menyadari kebohongan ibunya.
“Ibu pikir aku seorang bocah yang bisa dibohongi dengan mudah seperti dulu? Jangan berpura-pura lagi. Akuilah jika ibu memang takut padaku.”
“Sudahlah, jangan bicara seperti itu. Kau kasar sekali pada ibu, Cliff.” Clara terkekeh kali ini, dia berusaha meyakinkan putranya bahwa dia sama sekali tidak takut padanya. Tapi lagi-lagi reaksi Cliff membuat Clara ketakutan. Cliff mendengus kesal dan bangkit dari posisi berjongkok. Dia tatap Clara dengan tajam dan mulai melangkahkan kaki mendekatinya. Melihatnya spontan membuat Clara kembali melangkah mundur.
“Jika ibu tidak takut padaku kenapa ibu tidak mau mendekat? Ibu bahkan tidak pernah memelukku lagi sekarang. Aku ingat dulu ibu sering sekali memelukku. Aku bisa merasakan betapa ibu sangat menyayangiku.”
“Tentu saja ibu sangat menyayangimu. Selamanya ibu akan menyayangimu. Kau putra ibu, ibu yang telah mengandung dan melahirkanmu. Tidak ada seorang ibu yang tidak menyayangi putranya.”
“Buktikan!” Kedua mata Clara membulat sempurna mendengarnya. Sikap Cliff semakin berani melawannya, sejujurnya dia sangat merindukan sosok kecil putranya yang selalu menuruti semua perkataannya. Sosok putra tampannya yang selalu membuatnya terpesona dengan wajah lugu dan sikap polosnya. Sebenarnya Clara menyadari, putranya tidak akan selamanya kecil dan perlahan akan tumbuh dewasa. Dia hanya tidak menyangka Cliff tumbuh dengan cepat. Meski dia baru berusia 12 tahun, cara pikirnya sudah seperti remaja berusia 15 tahun. Dia sudah berani melawan bahkan membangkang pada ibunya.
“Kenapa, Ibu? Ayo, buktikan jika ibu masih menyayangiku seperti dulu. Buktikan jika ibu tidak takut padaku. Peluk aku ibu, aku sangat merindukan pelukanmu.” Cliff merentangkan kedua tangan seolah memberikan isyarat bahwa dia menantikan pelukan hangat dari ibunya. Clara meneguk saliva panik sebelum akhirnya dia melangkahkan kaki mendekati Cliff.
Perlahan namun pasti langkahnya semakin mendekati Cliff. Jantungnya berdetak semakin cepat bersamaan dengan setiap langkahnya. Lalu ketika akhirnya dia tiba tepat di hadapan Cliff, dia memeluk putranya itu yang tinggi badannya sudah menyamai dirinya.
Awalnya tidak terjadi apa pun, Cliff membalas pelukan Clara erat. Clara merasa telah melakukan hal bodoh karena sempat merasa takut pada putranya. Namun, Clara terbelalak ketika merasakan sesuatu menempel pada kulit lehernya. Dia melepaskan pelukannya pada Cliff dan betapa terkejutnya dia ketika melihat Cliff sudah membuka mulut, memperlihatkan taring-taring tajam yang nyaris mengoyak lehernya. Spontan Clara mendorong tubuh Cliff menjauh.
“A-Apa yang kau lakukan, Cliff? Apa kau ingin melukai ibu? Bagaimana mungkin kau melakukan ini pada ibu?!!” Tanyanya disertai bentakan. Dia hanya tidak menyangka nyaris dijadikan santapan oleh putranya sendiri.
“Maaf ibu. Aku masih lapar,” gumam Cliff dengan sangat pelan namun masih bisa tertangkap telinga Clara.
“Baiklah, tunggu sebentar. Ibu akan membawakanmu darah lagi.” Clara bergegas meninggalkan pondok itu. Niatnya hanya satu, dia akan kembali ke peternakan dan meminta darah hewan lagi untuk Cliff. Dia pergi dengan terburu-buru tanpa menyadari bahwa dia telah melupakan sesuatu. Ya, dia lupa mengunci pintu pondok itu. Cliff yang menyadarinya menyeringai seram. Sesuatu yang dia nantikan akhirnya bisa terwujud. Dia memang ingin sekali bisa keluar dari pondok itu.
Dia membuka pintu itu lebar. Namun kembali mundur ketika merasakan sinar matahari membakar kulitnya. Terlalu senang sehingga dia melupakan sebuah kenyataan bahwa kulitnya akan terbakar jika terkena sinar matahari. Cliff tidak kehilangan akal, dia berjalan ke arah lemari. Dia mengambil beberapa pakaian ibunya yang berada di dalam lemari itu. Dia menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian-pakaian itu sehingga sinar matahari tidak akan langsung mengenai kulitnya.
Kemudian ... dia memberanikan diri untuk berlari ke luar pondok. Pakaian-pakaian itu memang berhasil melindungi kulitnya dari sinar matahari, tapi tak dipungkiri dia masih merasakan panas yang teramat sangat dari teriknya sinar matahari di siang hari itu.
Dia berlari dengan cepat menuju sebuah rumah mewah yang berada paling dekat dengan pondoknya. rumah mewah yang tidak lain adalah rumah kediaman keluarga Huston. beruntung pintu rumah itu dalam keadaan terbuka sehingga Cliff bisa masuk dengan mudah ke dalam rumah.
Kosong ... tidak ada seorang pun di dalam rumah itu. Tetapi aroma yang menjadi candu bagi Cliff tercium hidungnya. Dia mencium bau anyir darah yang diyakininya berasal dari dalam rumah itu. Tanpa ragu dia bergegas menuju asal aroma itu berada. Hingga dia tiba di sebuah ruangan, didapatinya seorang wanita paruh baya tengah mencuci jarinya yang mengeluarkan darah, tampaknya tangan wanita itu teriris pisau karena dia tengah mengiris sayuran yang akan dimasaknya.
Cliff menggeram, nyaris tidak sanggup menahan hasrat untuk meminum habis darah wanita paruh baya yang tidak lain merupakan pelayan di rumah keluarga Huston.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrghh!!!” teriak pelayan itu ketika melihat sosok Cliff yang menggeram dengan memperlihatkan taring-taring tajamnya.
Suara teriakan pelayan itu rupanya didengar oleh Harry. Dia masuk ke dalam dapur dan betapa terkejutnya dia ketika melihat sosok anak remaja dengan bekas darah yang berlumuran di sekeliling bibir tengah menyeringai di depannya.