CHAPTER 11
Cliff membelalak dengan mulut menganga ketika melihat pemandangan yang berada tepat di balik hutan terlarang. Dia tidak pernah menyangka bahwa ada pemukiman mewah di balik hutan yang dengan sekilas saja terlihat menyeramkan. Pemukiman itu dipenuhi banyak rumah dengan gedung yang bisa dikatakan mewah dan kokoh, sangat jauh berbeda dengan keadaan Desa Tussand yang bisa dikatakan masih kuno. Rumah-rumah penduduk di Desa Tussand masih tampak sederhana meski ada beberapa rumah mewah yang dimiliki oleh segelintir orang kaya di desa. Salah satu keluarga kaya di desa itu tidak lain adalah keluarga Huston. Sedangkan di pemukiman itu nyaris semua rumah terlihat mewah. Pemukiman itu lebih cocok disebut sebagai kota dibandingkan pedesaan. Lampu-lampu menyala membuat suasana di pemukiman menjadi terang benderang.
Cliff memandang sekeliling pemukiman dengan ketakjuban yang terlihat jelas di wajahnya. Seumur hidupnya bisa dikatakan inilah pengalaman pertamanya melihat gedung-gedung tinggi seperti ini, sesuatu yang wajar mengingat selama 12 tahun ini dia terpenjara di dalam pondok.
Cliff berjalan tepat di belakang pria yang mengaku sebagai ayahnya, pria itu melangkah tanpa sepatah kata pun dan Cliff pun mengikutinya dalam kebisuan. Mereka mengambil jalan yang sepi meski ada beberapa orang yang tanpa sengaja berpapasan dengan mereka. Cliff mengernyit heran ketika melihat orang-orang itu berhenti melangkah dan sengaja memberikan jalan untuk mereka. Orang-orang yang berpapasan dengan mereka tiba-tiba diam berdiri dan menundukan kepala mereka seolah tengah memberi hormat pada seseorang. Setiap orang yang sedang berjalan kaki seketika berhenti dan memberikan jalan untuk Cliff dan pria itu. Cliff menatap heran ketika melihat semua orang menundukan kepala mereka hanya karena dirinya dan pria itu melangkah di depan mereka.
Merasa semakin heran dengan sikap orang-orang itu akhirnya Cliff memutuskan untuk bertanya pada pria di depannya yang terlihat sama sekali tidak terganggu dengan sikap orang-orang itu.
“T-Tuan,” panggil Cliff yang membuat pria itu menoleh ke arahnya tapi tak menghentikan langkahnya sama sekali.
“Kenapa?” Pria itu menjawab dengan tatapan datar pada Cliff.
“Orang-orang itu ... kenapa mereka berhenti berjalan dan berdiri sambil menunduk hanya karena kita berjalan di depan mereka?”
“Itu bentuk sopan santun mereka,” jawab pria itu yang membuat dahi Cliff semakin mengernyit tak mengerti. Menurutnya ini aneh, sudah banyak buku yang dibacanya selama ini ... tak ada satu pun yang menjelaskan tentang bentuk sopan santun seperti itu. Sebenarnya Cliff ingin meminta penjelasan lebih terperinci tapi melihat pria itu kembali memalingkan wajah, dia pun memutuskan untuk diam dan kembali mengikutinya dalam kebisuan.
Langkah mereka terhenti ketika tiba di depan sebuah bangunan yang begitu luas dan mewah. Sebuah bangunan yang lebih pantas disebut istana dibandingkan rumah.
“T-Tuan,” panggil Cliff dengan tatapan yang masih tertuju pada bangunan mewah di depannya.
“Sudah kukatakan aku ini ayahmu. Berhentilah memanggilku seperti itu.” Mendengarnya, Cliff mengalihkan tatapan. Kini dia sedang menatap intens pria yang menurutnya terlalu muda untuk dipanggil ayah olehnya itu. Sejujurnya dia masih belum mempercayai sepenuhnya jika pria di sampingnya itu adalah ayahnya.
“A-Apa kita akan masuk ke dalam bangunan ini?” Memutuskan untuk mengabaikan perkataan pria itu, Cliff memilih untuk melontarkan pertanyaan yang memang sedang mengganjal di kepalanya.
“Mulai sekarang kastil ini adalah rumahmu.” Cliff terhenyak mendengarnya. Pria itu kembali melangkahkan kaki memasuki kastil yang tentu saja langsung diikuti oleh Cliff. Sebenarnya dia ragu untuk masuk ke dalam bangunan mewah itu tapi mengingat keputusannya untuk mengikuti pria itu akhirnya dia pun memberanikan diri melangkahkan kaki masuk ke dalam.
Cliff semakin takjub ketika melihat kemewahan di dalam kastil. Tatapannya tak berpaling sama sekali dari semua sudut yang dilewatinya.
“Ayah ...”
Hingga sebuah suara berhasil menarik atensinya. Kini seorang pria muda yang terlihat seusia dengan ayahnya berdiri tepat di hadapan mereka. Pria itu memanggil ayahnya dengan sebutan ayah membuat Cliff berpikir mungkinkah pria muda di depannya ini adalah kakaknya? Sosok pria itu memiliki rambut gelap dan iris mata merah sama persis dengan Cliff, membuat Cliff semakin yakin bahwa dia adalah kakaknya.
“Siapa yang ada di belakang anda itu, Ayah?” tanya pria itu lagi dengan tatapan yang tertuju pada Cliff.
“Dia adikmu, namanya Cliff Dawson. Dan Cliff ... dia ini kakakmu, namanya Nick Dawson. Aku harap kalian bisa saling menyayangi sebagai saudara.” Baik Cliff maupun kakaknya yang baru diketahui bernama Nick, hanya diam membisu tak menyahuti perkataan ayah mereka. Mereka saling menatap satu sama lain dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
“Nick, temani adikmu.”
“Baik, Ayah,” jawab Nick patuh. Pria itu pun melenggang pergi meninggalkan kedua putranya. Sedangkan Cliff merasa dirinya gelisah, entah perasaan apa yang sedang dirasakannya itu, dia hanya merasa tidak nyaman dengan tatapan pria yang baru dia ketahui adalah kakaknya. Tapi di saat bersamaan dia pun telah mengenyahkan semua kecurigaannya, kini dia percaya sepenuhnya bahwa pria yang ditemuinya di dalam hutan dan membawanya ke kastil mewah ini memang adalah ayahnya. Jika kakaknya yang terlihat seumuran dengan ayahnya itu saja memanggilnya ayah maka Cliff pun bertekad akan memanggilnya ayah suatu saat nanti.
“Menggelikan sekali, ayah bilang kau adikku.” Cliff terhenyak mendengarnya terutama ketika dia melihat tatapan penuh intimidasi dari kakaknya. Nick berjalan mengelilingi tubuh Cliff dan sesekali dia mengendus aroma tubuh Cliff.
“Aku bisa mencium bau darah ayah yang sama denganku mengalir di dalam tubuhmu. Tapi ada bau darah lain di dalam tubuhmu. Bau darah makhluk lemah yang bernama manusia. Jadi, kau darah campuran?” Cliff hanya diam membisu, dia sama sekali tidak mengerti maksud dari darah campuran yang dikatakan kakaknya itu. Tapi tak dipungkiri, ibunya memang seorang manusia dan wajar saja jika bau darah manusia mengalir di dalam tubuhnya.
“ Ibuku memang manusia,” jawab Cliff akhirnya.
“Menjijikkan. Aku tidak menyangka ayah melakukan dosa besar seperti ini. Dia membawa anak haram sepertimu ke dalam kastil ini. Kau aib keluarga Dawson.” Cliff terlonjak, matanya membulat. Hatinya berdenyut nyeri mendengar hinaan dari kakaknya sendiri.
“Cih, aku tidak sudi menerimamu sebagai adikku. Jika bukan karena ayah yang membawamu, aku pasti sudah membunuhmu detik ini juga. Aku muak mencium bau darah campuran di dalam tubuhmu itu.” Setelah meludah tepat di depan Cliff, Nick pergi meninggalkannya. Meninggalkan Cliff dengan rasa sakit hati dan kebingungannya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya di dalam rumah sebesar ini terutama setelah mengetahui kehadirannya tidak diterima oleh salah satu penghuni rumah itu.
Nick melangkah dengan penuh amarah menuju sebuah ruangan. Dia membuka pintu yang menjulang tinggi di depannya tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Seorang wanita dengan paras yang cantik serta penampilan yang anggun hanya menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara seseorang memasuki kamar pribadinya. Setelah mengetahui Nick yang datang, dia kembali melanjutkan aktivitas yang tengah menyisir rambut panjangnya. Rambut hitam legam yang panjang hingga mencapai pinggang itu terlihat selaras dengan kulit yang putih bersih bagaikan porselen. Bibir ranum yang mengkilat berwarna merah serta riasan tipis yang menghias wajahnya, membuat kecantikan yang dimilikinya terpancar sempurna. Pria mana pun pasti akan bertekuk lutut di hadapannya karena kecantikan sempurna yang dimiliki vampir wanita itu. Gaun indah yang membalut tubuh rampingnya menambah kesan anggun dan elegan pada penampilannya.
“Ada apa dengan wajahmu itu, Nick? Kau terlihat kesal,” tanyanya, melirik wajah Nick yang tengah tertekuk. Nick mendudukan diri pada sofa yang terletak tepat di belakang meja rias wanita itu.
“Seharusnya Ibu melihat apa yang dibawa ayah ke kastil ini.” Wanita itu yang diketahui bernama Rose Dawson memutar tubuh dan kini dia sedang berhadap-hadapan dengan putra sulungnya.
“Apa maksudmu?”
“Ayah membawa anak laki-laki hasil dari hubungan gelapnya dengan wanita lain. Lebih menjijikannya lagi wanita itu adalah manusia. Apa ibu mengetahui hal ini? Ayah telah mengkhianatimu, Bu. Dia telah melakukan dosa besar.” Rose mengepalkan tangan erat. Giginya bergemeretak menahan marah.
“Di mana anak itu?” tanyanya dengan suara serak kentara sekali dirinya sedang disulut emosi.
“Tadi aku meninggalkannya di ruang keluarga.” Tanpa kata Rose bangkit dari duduknya, dia berjalan dengan cepat meninggalkan kamar. Sedangkan Nick memasang seringaian ketika melihat wajah ibunya yang memerah karena amarah.
“Bersiaplah anak haram, kastil ini akan menjadi neraka untukmu,” gumamnya pelan dengan wajah yang masih dihiasi seringaian.
Sedangkan Rose berjalan dengan langkah lebar menuju ruang keluarga yang dimaksud Nick tadi. Matanya membulat lebar dan amarahnya memuncak ketika dari kejauhan dia melihat anak laki-laki yang dikatakan Nick tadi sedang duduk di sofa ruang keluarga. Meski dari jarak yang cukup jauh, Rose masih bisa melihat wajah anak itu yang tidak lain adalah Cliff dengan jelas. Pahatan wajah Cliff yang menurutnya sangat mirip dengan paras suaminya itu entah mengapa membuatnya tak sanggup lagi menahan emosi.
Dia kembali melangkahkan kaki menuju suatu tempat. Ketika sebuah ruangan sudah terpampang di depan mata, dia menghentikan langkahnya. Dia buka pintu ruangan itu dan masuk ke dalam tanpa ragu. Tatapannya dia edarkan ke seluruh penjuru ruangan, dan terhenti ketika dilihatnya sosok seorang pria tengah berbaring di ranjang king size di ruangan itu dengan satu tangan pria itu menutupi kedua matanya.
Rose menghampirinya disertai amarah yang masih meluap di dalam dirinya.
“Rowan, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ucapnya pada pria bernama Rowan Dawson yang merupakan suaminya. Tangannya semakin terkepal erat ketika sang suami justru mengabaikannya.
“Aku tahu kau tidak tidur, Rowan!” ucapnya dengan suara yang cukup tinggi.
“Jangan ganggu aku.” Hanya kata-kata itu yang meluncur mulus dari mulut sang suami. Sebuah kata-kata yang sukses membuat Rose rasanya ingin membakar tubuh suaminya sendiri. Tapi beruntung akal sehatnya masih membuatnya tetap waras untuk tidak melakukan hal gila itu.
“Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting denganmu. Ini tentang anak yang kau bawa itu.” Rowan menurunkan tangan kanan yang menutupi matanya, dia bangkit dan kini posisinya tengah duduk di ranjang. Tatapannya tajam ke arah Rose.
“Kau ... kenapa kau menyembunyikan hal ini dariku?” Rowan mengernyit mendengarnya, kentara dia tidak memahami maksud perkataan istrinya.
“Apa maksudmu?”
“Berani sekali kau berselingkuh di belakangku. Apa kau sadar dengan perbuatanmu itu? Kita bangsa vampir menjunjung tinggi kesetiaan pada pasangan hidup. Apa yang kau lakukan ini? Kau telah melanggar adat bangsa vampir yang seharusnya hanya memiliki satu pasangan seumur hidup. Kau bahkan menghamili wanita murahan itu.” Rowan memasang tatapan tajam pada Rose. Dia tidak terima Rose menyebut wanita yang telah mengandung dan melahirkan anaknya sebagai wanita murahan. Rowan tahu persis bahwa wanita itu yang tidak lain adalah Clara merupakan wanita baik-baik yang telah dia rusak hidupnya. Sungguh Rowan sangat menyesali perbuatan kejinya pada Clara dulu.
“Dia bukan wanita murahan. Dia jauh lebih baik dibandingkan dirimu,” ujarnya sambil tersenyum sinis. Sebuah kata-kata yang sukses membuat emosi Rose semakin tersulut.
“Berani sekali kau membandingkanku dengan manusia rendahan itu. Apa kau pikir aku akan memaafkan semua kesalahanmu ini?”
“Aku sama sekali tidak membutuhkan kata maaf darimu. Enyahlah dari hadapanku, kau berani mengganggu waktu istirahatku hanya karena masalah seperti ini.” Mungkin Rowan mengatakannya tidak dengan suara tinggi tapi semua yang dikatakannya telah membangkitkan sebuah kebencian yang tak terbendung di dalam benak Rose.
“Kau menganggap masalah ini sepele, padahal yang kau lakukan ini adalah sebuah dosa besar. Terlebih lagi kenapa kau harus membawa anak itu ke sini?”
“Dia anakku, tentu dia akan tinggal bersamaku.” Rowan bangkit berdiri dari posisi duduk, sebenarnya dia sangat malas menghadapi Rose. Lebih tepatnya dia memang tidak pernah merasa nyaman ketika Rose berada di dekatnya.
“Anak itu sangat mirip denganmu. Sepertinya kau memperlakukan wanita murahan itu dengan penuh cinta. Berbeda sekali dengan sikapmu padaku, kau selalu bersikap kasar padaku padahal aku ini istri sahmu. Tidak pernah sekali pun kau memberikan cintamu padaku padahal aku tulus mencintaimu, selama ini aku selalu setia padamu. Sebaliknya kau memberikan cintamu pada manusia rendahan itu. Memangnya apa kelebihan wanita itu dariku? Kujamin wajahku jauh lebih cantik darinya. Aku seorang vampir darah murni, aku seorang vampir bangsawan. Aku tidak bisa dibandingkan dengan manusia rendahan seperti dia. Aku tidak bisa menerima perlakuanmu ini.” Rowan tertawa lantang mendengar perkataan Rose, membuat dahi Rose mengernyit tak suka pasalnya dia merasa suaminya itu tengah mengejek semua yang dikatakannya.
“Percuma saja memiliki wajah cantik jika hatimu busuk. Sudah kukatakan dia jauh lebih baik darimu. Satu lagi, jangan mengatakan sesuatu yang menggelikan seperti cinta, wanita berhati keji sepertimu tidak pantas mengatakannya. Kau bilang mencintaiku dengan tulus? Jangan membuatku tertawa. Hubungan kita tidak lebih dari interaksi mutualisme. Aku menikahimu demi kelangsungan keturunan darah murni dan kau menikahiku karena menginginkan kekuasaan. Sejak awal tidak ada cinta di dalam pernikahan kita.” Rose menggeram murka, iris matanya berkilat penuh amarah. Taring-taring tajamnya bahkan terasa gatal ingin mengoyak leher seseorang.
“Aku tidak akan pernah menerima anak itu. Akan kupastikan dia pergi dari kastil ini!!” teriaknya. Rose terlonjak ketika tiba-tiba Rowan bergerak dengan cepat, dia merasakan sesak ketika tangan Rowan menyambar dan mencengkram lehernya kuat. Rowan mendorong Rose hingga tubuhnya ambruk di lantai, suara benturan terdengar nyaring menandakan Rose terjatuh ke lantai dengan sangat keras. Rowan menindih tubuh Rose dengan cengkeraman tangannya masih erat di leher Rose. Rose meronta mencoba melepaskan diri, iris matanya berkilat tajam terarah tepat ke tangan Rowan yang mencengkeram lehernya. Seketika api muncul dan membakar tangan Rowan, tapi tampaknya usahanya sia-sia karena Rowan tak bergeming sama sekali. Sebaliknya, cengkeramannya pada leher Rose semakin kuat membuat wanita vampir itu mulai kesulitan untuk bernapas.
“Jangan membuatku marah, Rose. Kau tahu aku bisa menghancurkan tubuhmu dengan mudah.”
“M-Maaf ... kan aku.” Rose sangat ketakutan saat ini terutama ketika dilihatnya kedua iris mata Rowan yang kapan pun siap melepaskan kekuatannya. Melihat air mata yang mulai keluar dari kedua mata Rose, Rowan pun akhirnya melepaskan cengkeramannya. Dia menyingkir dari tubuh Rose dan memadamkan api yang masih membakar tangannya. Sedangkan Rose masih tergeletak di lantai, dia masih berusaha mengatur napasnya yang nyaris terputus. Dia segera bangkit berdiri ketika dilihatnya Rowan hendak pergi meninggalkan ruangan itu.
“Tunggu! Pembicaraan kita belum selesai.” Seketika Rowan menghentikan langkah dan kembali menatap tajam istrinya yang kini sudah kembali berdiri dengan sombong di hadapannya.
“Baiklah, aku akan mengizinkan anak itu tinggal di sini, tapi dengan satu syarat.” Sebelah alis Rowan terangkat mendengarnya.
“Mari kita buat sebuah kesepakatan,” tambah Rose.
“Kesepakatan?”
“Aku akan mengizinkan anak itu tinggal di sini dengan syarat kau pun mengizinkan Nick melakukan apa pun yang dia suka. Jangan melarangnya atau menghukumnya jika dia melakukan sesuatu yang tidak kau sukai. Bagiku ini bentuk keadilan untukku. Aku janji tidak akan mengungkit masalah perngkhianatanmu lagi, asal kau mau menerima kesepakatan ini.” Rowan terkekeh mendengarnya, dari raut wajahnya terlihat jelas dia sama sekali tidak merasa tertarik dengan kesepakatan itu. Dia hendak melanjutkan langkah tapi kembali terhenti ketika Rose kembali berucap.
“Kau seorang pemimpin klan, bagaimana tanggapan dari semua bawahanmu jika mereka tahu pemimpin mereka telah melanggar adat bangsa vampir dengan berselingkuh di belakang istrinya? Seorang pemimpin adalah contoh dan teladan bagi bawahannya, mungkin adat yang sudah dijunjung tinggi berabad-abad oleh bangsa vampir itu akan diabaikan karena ulahmu. Aku yakin kau tidak mengharapkan hal itu terjadi, bukan? Aku akan mengatakan pada semua anggota klan bahwa aku mengetahui hubunganmu dengan manusia rendahan itu dan aku sama sekali tidak mempermasalahkannya.” Rowan terdiam dengan tangan yang terkepal erat dalam posisi tubuh membelakangi Rose. Rose yang melihatnya, menyadari bahwa kata-katanya telah berhasil mempengaruhi Rowan.
“Bagaimana? Bukankah ini kesepakatan yang menguntungkan? Aku hanya memintamu untuk membiarkan Nick melakukan semua yang dia sukai dan jangan menghukumnya seandainya dia melakukan suatu kesalahan. Hanya itu yang kuminta darimu dan kupastikan perselingkuhanmu aman di tanganku dan anak itu juga akan menetap dengan tenang di kastil ini.” Rowan menghela napas panjang sebelum akhirnya kembali melangkahkan kaki menuju pintu.
“Baiklah, aku terima kesepakatan ini.” Kata-kata terakhirnya sebelum dia menghilang di balik pintu. Sebuah kata-kata yang membuat Rose menyeringai puas mendengarnya.
“Aku memang tidak bisa menyakitimu karena kekuatanku tidak sebanding denganmu, tapi akan kupastikan anak itu yang akan menerima semua pembalasanku,” gumam Rose pelan dengan senyuman licik di wajahnya.