11. Tak Enak Tidur, Tak Enak Makan
Kamal sudah berada di alamat yang diberikan oleh satpam Imron. Sebuah kontrakan tiga petakan tidak terlalu kecil. Ruangan tengahnya juga sedikit lega dengan dapur dan kamar mandi cukup terawat. Hanya ruang depan saja tak terlalu besar. Cukuplah untuk ditinggali olehnya dan juga ibunya.
"Gak kurang lagi, Bu?" tanya Bu Rani pada ibu asisten pemilik kontrakan. Si ibu betubuh tambun itu hanya tersenyum, lalu menggeleng tipis.
"Dikit, Bu. Masa gak bisa goyang dikit sih," tambah Bu Rani lagi. Wanita paruh baya itu terus merayu agar harga kontrakan bulanan itu sedikit dikurangi.
"Kata siapa saya gak bisa goyang?" suara si ibu tampak sewot. Kamal hanya bisa menyeringai sambil menggelengkan kepalanya.
"Maksud ibu saya, harga kontrakannya gak bisa didiskon gitu, Bu?" terang Kamal yang kini sudah ikut duduk di samping ibunya.
"Bisa sih dikurangin, tapi gak pake kamar mandi. Mau?"
"Ya, jangan Bu. Ya udah, ini tujuh ratus ribu uang kontrakan bulan ini, Bu." Kamal menyerahkan uang kontrakan pada si ibu. Wanita bertubuh tambun itu menerima dengan wajah penuh kegembiraan. Tanpa berbasa-basi lagi, ia pergi meninggalkan Kamal dan ibunya.
"Ada duit lu?" Bu Rani masuk ke dalam rumah sambil menarik koper milik Kamal.
"Lah, ada Bu. Masa ia tadi bayarnya pakai daun," sahut Kamal sambil menurunkan ranselnya dengan hati-hati, di atas lantai. Kemudian ia mengunci pintu, tetapi membuka jendela rumah dengan lebar.
Bu Rani membuka koper, ia ingin mengganti bajunya yang terkena noda darah Ica sewaktu membawa menantu tirinya itu ke rumah sakit. Namun, bukannya baju yang ada di salam koper, melainkan mie instan, gula, teh, tepung, kopi, beras, rinso, biskuit, mentega, roti sobek, minyak goreng, kentang frozen, nugget, gelas, piring, mangkuk dan masih banyak lagi yang lainnya. Alis Bu Rani beradu. Otaknya seakan berpikir keras, kapan anaknya membelanjakan ini semua. Bukannya uang Kamal tinggal satu juta delapan ratus? Batin Bu Rani masih tergugu menatap isi koper.
"Mal, sini lu!" panggil Bu Rani tak sabar. Kamal yang sedang rebahan di lantai, buru-buru bangun lalu menghampiri ibunya.
"Ada apa, Bu?" Kamal menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Seringainya begitu lebar, saat ibunya meliriknya dengan sengit.
"Katanya uang lu gak ada. Nah, ini kenapa malah belanja bulanan?"
"Ha ha ha ...." Kamal terbahak keras hingga memegang perutnya. Bu Rani semakin keheranan. Diceknya suhu kening Kamal dengan punggung tangan. Tidak panas, biasa saja, tetapi kenapa seperti sedang tidak sehat.
"Kok ketawa sih? Kesambet lu?" tanya Bu Rani lagi dengan rasa penasaran yang masih belum terbayarkan.
"Dah, insyaAllah ini halal, Bu. Kita tinggal beli magic com di warung elektronik di depan sana, sama kompor, gas. Eh, alah. Banyak juga ya." Kamal menggaruk lagi rambutnya. Begitu banyak perabotan yang harus ia beli untuk mengisi kontrakan, sedangkan uangnya tersisa tak banyak. Ia harus segera bekerja agar ibunya tak kelaparan.
"Beli magic com yang paling kecil aja. Sayurnya kita beli saja untuk sementara. Gimana?" usul Bu Rani akhirnya.
"Terserah ibu deh. Tunggu, Bu! Di dalam ransel Kamal ada sabun,sampo, dan gayung. " Kamal berjalan ke ruang depan, lalu mengambil ranselnya. Bu Rani membuka ransel anaknya, dan betapa terkejutnya ia saat melihat ada banyak telur, ada gayung, ada sampo dan juga sabun yang dimasukkan dalam wadah plastik sendiri.
"Habis berapa lu belanja bulanan banyak banget gini?" tanya Bu Rani dengan polosnya.
"Kamal mah gak habis, Bu. Paling Alex noh yang kehabisan. Ha ha ha ...." Kamal terbahak sembari melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Di kepalanya sudah membayangkan betapa marahnya nanti Alex padanya.
****
Sementara itu, keesokan harinya, Alex sudah tiba di pekarangan rumahnya bersama Susan. Ya, istri muda yang belum sepekan ia nikahi, ia ajak turut serta. Wanita itu memandang takjub rumah minimalis Alex, selagi suaminya sibuk membuka pintu. Susan bahkan mengambil potret dirinya berselfie, dengan latar belakang rumah besar milik suaminya.
"Waduh, bau banget!" Alex menutup hidungnya saat pintu rumah terbuka lebar. Susan ikut menyusul Alex masuk ke dalam rumah, dan betapa kagetnya ia melihat rumah suaminya sangat berantakan dan bau busuk.
"Uueek ....!
"Uueek ....!
Alex dan Susan merasa sangat mual karena bau pesing yang sangat busuk. Susan lebih memilih keluar lagi, sambil memuntahkan isi perutnya. Lontong sayur sarapannya yang belum lama ia lahap, sudah keluar semua. Ya, Susan tak tahan bau pesing yang sangat menyengat.
"Kamu gak papa, Yang?" Alex menghampiri Susan, lalu membantu istrinya itu memijat tengkuk.
"Mas, gak tahan baunya. Beresin ya, Mas. Aku gak mau masuk rumah kalau masih bau," rengek Susan manja. Alex hanya bisa mengangguk, sambil menghela napas kasar. Kakinya melangkah lebar masuk ke dalam rumah. Lalu mulai membersihkan rumah. Dimulai dari kamarnya.
"Uueek ....!
"Jin keparat! Ngapain lu malah kencing di rumah gue?!" umpat Alex begitu kesal.
Mau tak mau, ia harus tetap membersihkannya. Walau harus menutup hidungnya dengan masker.
Alex kembali merasakan mual di perutnya saat masuk ke dalam kamarnya. Lelaki itu membuka seprei yang masih ada noda darah Ica yang telah mengering. Seprei dan semua sarung bantal dan gulingnya ia masukkan ke dalam plastik besar untuk ia buang. Semua barang make up Ica juga sudah ia singkirkan juga. Seprei baru ia pasang seadanya, karena ia tak pernah memasang seprei sebelumnya.
Alex membuka lemari, lalu mendapati susunan baju istri pertamanya yang tampak sedikit berantakan. Langsung saja Alex memasukkan semuanya ke dalam plastik besar yang lainnya. Kemudian ia simpan ke dalam gudang.
Butuh waktu tiga jam Alex membersihkan semuanya sampai benar-benar bersih dan tak bau pesing lagi. Lelaki itu bahkan mengepel sampai tiga kali bolak-balik, agar aroma pesing jin segera hilang dari rumahnya.
"San, ini sudah bersih. Masuk deh, masakin nasi, ceplok telur. Mas lapar nih, habis beres-beres," seru Alex dari dalam rumah.
"Oke, Sayang. Terima kasih," kata Susan dengan senyuman merekah. Kaki telanjangnya masuk ke dalam rumah yang sudah bersih, rapi, dan wangi. Wanita itu tersenyum sangat puas.
Langsung saja Susan berjalan ke dapur, lalu membuka semua laci kitchen set yang ada di sana. Tak ada makanan apapun di dalamnya.
"Mas, berasnya di mana? Gak ada nih!" seru Susan dari dapur. Alex dengan sangat terpaksa, bangun dari rebahannya. Lalu menghampiri Susan di dapur. Lelaki itu ikut membantu mencari di mana keberadaan beras. Sayang sekali tidak ketemu.
"Kayaknya beras habis, Yang. Dah, masak mie instan aja. Sekalian buatkan kopi," ujar Alex akhirnya.
"Gak ada mie instan ataupun telur di dalam semua laci ini, Mas. Beras, gula, teh, kopi. Semua gak ada. Kosong. Coba lihat! Itu selang gas juga terlepas. Mas bisa pasang gas gak?" oceh Susan panjang lebar sembari menunjuk tabung gas tanpa selang dengan dagunya.
"Takut aku pasang gas, Yang. Kamu bisakan?" Alex sangat berharap kepala Susan mengangguk, tetapi sangat disayangkan Susan menggeleng keras. Lagi-lagi Alex hanya bisa menggaruk kepalanya kasar.
***
Sudah sepuluh menit, Kamal mengaduk-aduk terus nasi di piringnya. Napsu makannya benar-benar tak ada sejak kemarin. Setiap makanan yang masuk ke dalam mulutnya terasa sangat hambar. Bu Rani memperhatikan kelakuan anaknya sejak kemarin. Kamal bahkan tidak dapat tidur dengan nyenyak. Makan pun bagai dipaksakan.
"Makan, Mal. Ntar lu sakit kalau seperti ini terus. Lu kan harus cari kerja. Lu emangnya kenapa? Coba cerita sama Ibu, kali aja Ibu bisa bantu." Bu Rani menyentuh pundak anaknya dengan lembut.
"Kamal rindu Ica, Bu."
Byuurr!
Bu Rani menyemburkan air yang baru saja mendarat di mulutnya.
"Jangan aneh! Ica itu ipar lu!" Bu Rani memandang tak suka dengan ucapan anaknya barusan. Tangannya sibuk mengeringkan air yang ada di lantai.
"Kamal bisa mati kalau begini, Bu." Lelaki itu bangun dari duduknya. Lalu dengan langkah seribu keluar dari kontrakannya.
"Mal, mau ke mana?!" teriak Bu Rani dari depan pintu.
"Mau lihat calon ibu anak-anak Kamal, Buu!"
****
~Kamal, kamu sweet banget siihh??~