10. Berpisah
Kamal berjalan masuk ke lorong perawatan Ica. Dari kejauhan, ia melihat ibunya sedang termenung melihat pemandangan di luar gedung rumah sakit. Semakin lebar langkahnya mendekat pada wanita paruh baya itu.
"Bu, kok di luar?" tanya Kamal heran. Kepalanya sedikit menyembul dari balik pintu ruang perawatan yang tidak tertutup rapat.
"Ada orang tua Ica," jawab Bu Rani setengah berbisik. Punggung tangan yang mulai keriput itu menarik Kamal sedikit menjauh dari kamar.
"Ada apa, Bu?" tanya Kamal semakin terheran.
"Nanya mulu! Nih, dengerin. Kita harus jujur sama keluarga Ica, soal Alex yang menyiksanya lahir dan batin," ujar Bu Rani semangat.
"Setuju!" jawab Kamal mantap.
"Kita gak boleh takut sama Alex karena memang perbuatan Alex itu tak bisa ditolerir sama sekali."
"Setuju!" jawab Kamal lagi.
"Guru bahasa indonesia lu waktu SD siapa sih, Mal? Kosa kata lu irit amat. Setuju-setuju terus dari tadi," omel Bu Rani dengan bibir mencebik.
Kamal hanya bisa menggaruk rambutnya yang tak gatal. Sembari terus mengintip keadaan di dalam bilik perawatan Ica yang sangat sepi, seperti tidak ada kehidupan.
Sesaat, keduanya saling diam. Bu Rani sibuk dengan pikirannya, begitu pun juga Kamal. Keduanya tak tahu mau bicara apa, karena sudah ada orang tua Ica di dalam sana.
"Jadi, kita langsung pulang nih, Bu?"
"Pulang ke mana? Rumah kaga punya. Kontrakan belum nyari. Duit habis. Dahlah, kita numpang di masjid aja," kata Bu Rani dengan lemah. Belum pernah ia merasa luntang-lantung seperti ini di usianya yang semakin senja.
Dulu, saat Kamal bekerja di Surabaya, mereka hidup damai dan tentram. Dua bulan sekali Kamal pulang ke Bekasi untuk menjenguknya. Mengajaknya jalan ke mal makan es krim, belanja rinso, dan berfoto di depan restoran mahal. Hidup sederhana yang membuatnya begitu dekat dan sayang pada Kamal.
Sejak diminta Alex untuk menemani istrinya yang sedang hamil, di situlah awal mula keresahan hadir setiap malam. Khawatir akan ada peristiwa apa lagi jika Alex berada di rumah. Untunglah ada Kamal yang menurut dan selalu membantunya mengurus Ica. Kalau tidak, entah apa jadinya seorang istri yang masih sangat muda di dalam sana.
Suara langkah kaki mendekat, Kamal dan Bu Rani yang sedang menghadap ke jendela luar gedung, ikut berbalik badan dan terpana dengan dua orang dewasa di depan mereka.
"Kamu siapa?" tanya wanita paruh baya itu tanpa senyuman.
"Saya anak ibu ini, Bu," jawab Kamal sembari menunjuk Bu Rani.
"Saya yang menelepon ibu tadi. Saya Kamal," lanjut Kamal lagi, sembari mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangan mama dari Ica. Namun, wanita paruh baya itu enggan. Tangannya masih melipat di dada.
"Saya Dokter Alan, dan ini istri saya Miranti. Kami orang tua dari Annisa," suara berat lelaki putih berkaca mata membuat Kamal menoleh, lalu menunduk hormat.
"Maaf, Bu, Pak. Jadi, ceritanya seperti ini."
Kamal menceritakan kejadian yang sesungguhnya terjadi pada Ica. Mulai dari Alex yang tak pulang-pulang. Kemudian Ica memergoki Alex yang masuk ke apartemen bersama wanita. Sampai Ica keguguran dengan sangat menyedihkan. Bu Miranti sampai menangis karena merasa sangat iba dengan nasib anak bungsunya, yang memilih menikah dengan lelaki tidak baik.
"Maaf, Bu, Pak. Saya dan ibu saya hanya bisa membantu sebisa kami. Sekarang, Ibu dan Bapak ada di sini, jadi tanggung jawab kami selesai. Semoga Mas Alex cepat dapat ganjarannya," ujar Kamal sambil menutup ceritanya.
Tak ada suara yang keluar dari bibir papa ataupun mama dari Ica. Mereka masih tak percaya dan terlihat bingung, bagaimana nasib anaknya nanti. Apalagi di dalam sana kondisi Ica benar-benar tidak baik. Bahkan Dokter Rudi yang memeriksa Ica, sudah bicara pada mereka, bahwa Ica mengalami depresi. Sehingga wanita itu enggan merespon orang yang ada di sekitarnya.
"Baiklah Nak Kamal. Saya ucapkan terima kasih atas perhatian yang kamu dan ibu kamu berikan untuk putri kami. Semoga Allah membalas kebaikan ibu dan juga Kamal. Mungkin, Ica akan saya bawa keluar negeri untuk disembuhkan," terang Dokter Alan yang membuat hati Kamal bagaikan karang yang terhempas ke jurang.
Jujur, memikirkan berpisah dari Ica saja membuatnya tak tenang. Ditambah lagi Ica akan dibawa pergi jauh. Tentulah ia harus bersiap mengubur kembali perasaannya pada kakak iparnya itu.
"Baik, Pak. Semoga Ica lekas sembuh. Kami berdua ijin pamit kepada Ica ya, Pak, Bu?"
"Oh ya, silakan," jawab Pak Alan mempersilakan. Kamal dan Bu Rani masuk ke dalam bilik perawatan Ica. Memandang wanita itu dengan penuh iba. Matanya tertutup rapat, sama persis seperti bibirnya yang enggan mengeluarkan sepatah kata pun.
Bu Rani mendekat lebih dulu. Berpamitan, sekaligus mendoakan Ica agar lekas sembuh. Wanita paruh baya itu dengan penuh sayang, mencium kening menantu tirinya dengan pelan.
"Maafkan Ibu kalau banyak salah sama Ica ya. Sekarang Ica aman, karena mama dan papa Ica sudah ada di sini," bisik Bu Rani sambil meneteskan air mata.
Sekarang, Kamal yang mendekat pada Ica. Lelaki itu menarik kursi, lalu mendudukinya dengan pelan. Wajahnya sedikit ia dekatkan pada Ica, agar apa yang nanti ia bisikkan tidak terdengar oleh ibunya.
"Ca, gue juga pamit. Lu jaga diri ya. Cepat sembuh. Semoga ada jodoh kita bertemu lagi. Maafkan gue kalau suka cerewet ya. Mm ... Ca, maaf jika gue ternyata sayang sama lo, bukan karena lo ipar. Namun, karena emang gue sayang lo sebagai lelaki."
"Apa?!" Ica menyahut kaget, lalu membuka matanya lebar. Kamal memejamkan mata karena merasa sangat malu. Ia mengira Ica benar-benar tak sadarkan diri. Sehingga ia berani mengungkapkan perasaanya.
"Kamu sadar, Ca," suara Bu Miranti membuat semua menoleh ke sana. Wanita paruh baya itu memeluk Ica dengan erat. Ibu dan anak bertangisan penuh haru. Ada kerinduan di sana, yang kini sudah terlepas. Dokter Alan pun ikut memeluk anak dan istrinya. Suara tangisan ibu, anak, dan ayah yang melebur kesalahan di masa lampau.
"Maafkan Ica ya, Pa, Ma," bisiknya dengan gemetar.
Bu Rani dan Kamal undur diri. Keduanya meninggalkan ruang perawatan Ica dengan perasaan galau. Terutama Kamal. Lelaki itu diam saja sampai mereka masuk ke dalam lift.
"Jadi, lu jatuh cinta sama ipar lu?" tanya Bu Rani sembari mengusap lengan anaknya yang nampak bagai patah hati.
"Iya, Bu."
"Sabar ya. Kalau jodoh gak akan ke mana," ujar Bu Rani menguatkan. Kamal mengangguk paham. Jika tak berjodoh pun ia tak apa. Sudah terbiasa baginya, mencintai seseorang tanpa dicintai. Sudah terlalu sering juga ia ditolak oleh wanita yang ia cintai. Jadi, sekiranya luka patah hati saat ini, ia berharap akan segera sembuh seiring berjalannya waktu. Jomblo, siapa takut?
"Dek, tasnya jangan ditinggal!" seru satpam Imron yang berjaga di pintu lobi utama. Kamal menoleh, lalu berjalan mendekat. Satu tas jinjing ia berikan pada ibunya, dan satu koper ia tarik dengan sedikit berat.
"Terima kasih Pak Imron atas bantuannya," ujar Kamal sambil tersenyum sangat manis.
"Oh ya, Pak. Bapak jauh gak tinggal dari sini?" tanya Kamal tiba-tiba mendapat ide.
"Lumayan. Kenapa?"
"Mau cari kontrakan, Pak."
"Nyari doang, apa mau sekalian ditempati juga?" tanya Imron dengan polosnya. Sedangkan Kamal, mulai kembali bertanduk.
"Nyari, pas udah ketemu mau saya bakar!"
****