Bab.2. Insiden Mati Lampu
Hari-hari di kampus sungguh amat sibuk, Laura merasa agak kewalahan dengan tugasnya sebagai dosen pengganti Profesor Bambang Gunawan.
Bimbingan skripsi sudah menumpuk di meja kerjanya, dia harus mereview file-file skripsi anak mahasiswa bimbingannya. Laura tidak ingin menunda-nunda pekerjaannya karena dia pernah merasakan menjadi mahasiswa yang mengerjakan skripsi bertahun-tahun yang lalu.
Sore ini dia telah menyelesaikan 3 putaran gelombang praktikum anak semester 6 yang sungguh melelahkan. Dia butuh massage dan tidur nyenyak malam ini. Teh chamomile hangat dengan madu telah menari-nari dalam benaknya.
Tok tok tok.
"Ya masuk," seru Laura.
"Prof. Laura saya pulang dulu ya," pamit Bu Linda laboran di Lab. Patologi Anatomi yang hanya melongokkan kepalanya di pintu ruang kerja Laura.
"Silakan, Bu Linda. Saya masih ada beberapa tugas, tanggung ...," jawab Laura singkat, dia tahu Bu Linda juga pasti capek seharian bekerja di Lab.
Laura meneruskan membaca naskah skripsi penelitian gambaran kanker paru-paru pada tikus putih yang diinduksi dengan asap rokok selama 90 hari. Dia tertawa kecil membayangkan tikus sebagai perokok pasif. 'Hmmm ... penelitian yang menarik,' batinnya.
Tiba-tiba ruangannya gelap gulita. Oh tidak sepertinya mati lampu, padahal hari sudah gelap! batin Laura dengan cemas. Dia pun menyalakan senter ponselnya lalu terburu-buru berjalan keluar ruang kantornya dalam kondisi ketakutan.
Brukk.
"Aaahhhh!" pekik Laura terkejut dan panik dalam kegelapan bertubrukan dengan keras hingga terjerembab ke lantai bersama sosok besar yg dia tubruk. HP nya terjatuh entah dimana, kondisi lobi Lab. PA gelap gulita. Dia terdiam tak berani bergerak sedikit pun karena tidak tahu harus melakukan apa.
"Prof. Laura?" gumam pria yg dia timpa itu.
"Ya ... maaf ... tolong lepaskan tubuh saya." Laura merasa tidak nyaman didekap erat dengan posisi woman on top dalam kegelapan yang membutakan.
Pria itu diam tak bergerak lalu melepaskan dekapannya pada Laura seperti enggan. Namun, dia terduduk masih memangku tubuh Laura.
Laura terdiam dan merasa wajahnya menghangat karena pipinya merona, dia malu berada dalam posisi yang janggal dengan pria yang tidak dia kenali. Dalam kegelapan sepertinya detak jantung pria itu terdengar begitu kuat dan cepat.
"Saya James. Tenanglah saya tidak akan bersikap kurang ajar pada Profesor Laura. Kita tunggu listrik menyala saja dulu, jangan kemana-mana."
Dalam kegelapan justru indera selain penglihatan menjadi lebih sensitif. Dan itu pula yang mereka berdua rasakan. Aroma tubuh Laura yang seperti green tea dan chamomile berpadu dengan aroma tubuh James yang seperti kayu pinus dan musk. Cenderung aroma yang menenangkan dibanding jantung keduanya yang berdetak kencang.
Laura merasa bokongnya menduduki sesuatu yang keras dan berdenyut. Bila lampu menyala wajahnya pasti sudah memerah seperti kepiting rebus.
"Eh bisakah aku turun dari pangkuanmu James? Ini sungguh posisi yang tidak nyaman untuk kita berdua, kan?" ucap Laura dengan gugup.
James tersenyum menahan tawanya dalam kegelapan. "Maafkan saya Prof, yang tidak peka. " James memindahkan tubuh Laura yang ringan dari pangkuannya ke sebelahnya.
"Kenapa kamu belum pulang James? Bukankah praktikum sudah selesai dari tadi?" tanya Laura sembari menenangkan dirinya dan merapikan roknya yang tersibak.
"Saya mengerjakan penelitian untuk skripsi, Prof," jawab James.
"Oohh pantas belum pulang sampai selarut ini. Sendirian saja?" balas Laura.
"Iya, hari ini jatah saya yang harus mengambil data hewan probandus lab dan memberi makan mereka." James menjelaskan keberadaannya di Lab Patologi Umum hingga larut malam.
"Aduh kok lama sekali mati listriknya," keluh Laura lagi, tubuhnya agak menggigil karena duduk di lantai dengan baju yang tipis dan rok selutut. Perutnya juga lapar, sepertinya darah rendahnya kumat.
James menyadari wanita di sebelahnya seperti kedinginan. Dia pun mencopot jaket bombernya yang cukup tebal dan membungkus tubuh Laura dengan jaketnya itu.
"Prof. Laura kedinginan, ya? Pakai jaket saya dulu saja. Belum makan juga pasti, ya?" James menghela nafas prihatin.
Dia pun teringat cokelat silver queen yang dia beli di kantin tadi siang ada di saku jaketnya. "Makan cokelat dulu sedikit, Prof," ujar James sambil memotong seruas cokelat dan menyuapkannya ke mulut Laura.
Laura membuka mulutnya menerima cokelat dari James. Jari James terkulum beberapa detik sebelum ditarik oleh James. Rasanya seperti tersengat listrik. James berdehem.
James sebenarnya belum pernah berpacaran satu kalipun seumur hidupnya. Dia ingin sekali bisa berpacaran dengan wanita yang ada di sebelahnya saat ini. Cantik dan briliant, tipe wanita idamannya.
Rasanya begitu lama sekali listrik padam, apa tidak ada satpam atau penjaga Lab yang berpatroli di kampus malam ini. Itu yang Laura pikirkan sedari tadi.
Beruntung ada James yang menemani dan menjaganya dengan sangat baik. Sungguh perhatian James ini karena sudah meminjamkan jaketnya dan membaginya cokelat bahkan menyuapkannya sendiri beberapa kali sampai rasa dingin yang tadi menyerangnya mulai tergantikan dengan rasa hangat di tubuhnya.
Sayang sekali usia mereka tentunya berjarak sangat jauh, pikir Laura. Mungkin James baru berusia 21 sedangkan Laura 32 tahun ini. Wow 11 tahun, mungkin ia lebih cocok jadi tante nya James daripada jadi pacarnya. 'Wake up Laura!' batinnya menegur dirinya sendiri.
"Prof. Laura tinggal dimana?" tanya James penasaran sekalipun nadanya begitu ringan.
"Eh ... saya tinggal di Royal Heritage Apartment. Sekitar setengah jam dari kampus," jawab Laura tanpa curiga.
"Sendiri atau dengan siapa?" selidik James.
"Sendiri sih. Keluarga besar tinggal di Godean. Saya ingin privasi saja jadi lebih memilih tinggal sendiri di apartment," jawab Laura sekali lagi tanpa curiga sedikit pun meski lebih mirip diinterogasi oleh James.
James tersenyum mendengar bahwa Laura masih single dan tinggal sendiri di apartmentnya. Sebenarnya apartment Laura itu jaraknya dekat dengan apartment James hanya 5 menit berjalan kaki, Intercontinental Residence, nama apartment tempat James tinggal.
Keluarga besar James sebenarnya tinggal di Jakarta. Ayah James adalah seorang pengusaha di bidang properti, 2 saudaranya yang lebih tua meneruskan usaha ayah mereka di kantor Jakarta. James memiliki passion yang berbeda dengan kakak-kakaknya untuk dia jalani sendiri.
Malam semakin larut dan listrik tak kunjung hidup. James merasa kuatir dengan Laura yang nampaknya belum makan entah sedari kapan. Dia pun berharap dalam hatinya agar listrik segera menyala.
"Prof. Laura apa Anda baik-baik saja?" tanya James memastikan keadaan Laura karena wanita di sebelahnya terdiam beberapa saat.
"Iya, aku baik-baik saja James. Tenanglah. Aku tak serapuh kelihatannya," jawab Laura meyakinkan James.
Suara perut Laura keroncongan terdengar kencang di telinga James, dia pun mendengkus menahan tawanya.
"Saya rasa Ascaris lumbricoides Anda berdemo di dalam perut," tukas James seraya tertawa.
Wajah Laura merona karena malu mendengar sindiran James.
Sial sekali memang terperangkap dalam kegelapan dengan kondisi kelaparan seperti korban penculikan saja. Tapi penculiknya tampan sekali seperti idolanya Oppa Park Seo Joon, sungguh melegakan, Laura pun terkikik.
Dari beratus-ratus aktor drakor yang tampan hanya Oppa Park Seo Joon yang begitu dia idolakan sehingga sering membuat Laura histeris karena baper dan bucin setiap kali menonton film atau drama yang dibintangi Park Seo Joon.
Sebetulnya Laura lebih suka aktor western yang macho dan kekar seperti Liam Hemworth untuk kriteria pacar, mirip dengan mantannya selama berkuliah di Australia, Philip Landon. Masa lalu biarlah masa lalu. Laura mengusir memorinya yang muncul tanpa permisi itu.
"Ahh akhirnya lampu menyala," seru Laura dengan bahagia.
James memandangi Laura yang begitu ceria menyambut terang di ruangan Lab Patologi Anatomi. 'Aduh senyum itu damagenya setara bom atom Nagasaki Hiroshima!' rutuknya dalam hati. James pun membantu Laura untuk berdiri, hari sudah malam dan sebaiknya mereka pulang.
"Prof. Laura, saya antar ke parkiran, ya? Saya tunggu di depan Lab," ujar James yang seperti tidak ingin menerima bantahan dan Laura menganggukkan kepalanya dengan patuh.
"Saya ambil tas dan blazer dulu ya. Eh ini jaket kamu, James. Terima kasih."
Tak lama kemudian Laura menghampiri James yang sedang berdiri menyandar di tiang bangunan di depan Lab Patologi sembari menatap ke arah Laura.
"Duluan, Prof," kata James singkat lalu membuntuti Laura sampai ke samping mobil HRV merah milik Laura. James melihatnya, ban mobil itu kempes parah. 'Agak mencurigakan!' batinnya.
"Wah ... hari yang sial buat Prof Laura sepertinya," ujar James prihatin.
Laura begitu kecewa melihat ban belakang mobilnya kempes parah, hilang sudah impiannya untuk pulang makan malam, berendam di bathtub dan tidur nyenyak malam ini. Dia bingung harus bagaimana!
James lalu berkata, " Prof Laura ikut mobil saya saja ya? Besok biar diurus teknisi bengkel. Sudah terlalu malam untuk mengganti ban." Digandengnya tangan Laura menuju ke mobilnya yang terparkir di pojok dekat pohon palem.
Laura menurut saja dengan kemauan James karena dia ingin segera pulang dan beristirahat, tak ada tenaga untuk membantah.
Pemuda itu membukakan pintu mobil Fortuner putihnya untuk Laura dan segera menuju ke bangku pengemudi. Tidak lupa dia memakaikan seat belt ke tubuh Laura.
"Mau mampir dulu ke apartment saya untuk makan malam? Mau makan apa malam ini, Prof Laura?" tanya James dengan pede padahal Laura belum mengiyakan mau bertamu ke apartment nya.
Laura benar-benar tidak punya ekstra tenaga untuk berdebat dan memasak malam ini. "Oke, saya sepertinya harus merepotkanmu lagi, James. Gimana kalo nasi ayam hainan dan mie shecuan?"
"Oke, saya pesankan di Gofood. Jangan sungkan, Prof." James mengetikkan orderannya di HP. Done. Sekarang dia hanya tinggal berkendara ke apartmentnya.
Sesampainya di Intercontinental Residence, James pun segera memarkir mobilnya di basement dan naik lift ke lobi untuk mengambil pesanan makan malam mereka di resepsionis. Lalu dia mengajak Laura naik ke unitnya di lantai 12, lantai teratas dan termewah di bangunan apartment itu.
"Silakan masuk, Prof Laura," ujar James setelah memasukkan kode keypass unitnya. Lampu dan AC pun otomatis menyala.
Laura pun masuk ke apartment James, dia lalu bertanya, "Tinggal sendiri saja atau dengan room mate?"
"Sendiri saja," jawab James singkat sambil menata makanan pesan antarnya di meja makan. Sesekali dia curi-curi pandang ke arah Laura yang sedang berkeliling di dalam apartment nya. "Cuci tangan dulu yuk terus makan, Anda pasti lapar."
Mereka berdua makan dengan hening. Laura menikmati sajian makan malamnya dan menghabiskan seporsi nasi ayam hainan dengan cukup cepat dan berbagi mie shecuan dengan James, hingga tandas tak bersisa.
Setelah itu James tidak mengizinkan Laura mencuci peralatan makan mereka, katanya ada cleaning service yang datang setiap pagi membersihkan apartmentnya.
"Bisa tunggu saya mandi sebentar Prof Laura? Setelah ini saya antar pulang," ujar James seraya menghidupkan home theatrenya dan menyerahkan remotenya pada Laura.
Laura menerima remote itu dan mengangguk setuju, dia duduk di sofa yang sangat empuk di depan Home Theater. Dan dia pun tertidur karena kelelahan.
James mandi dengan shower air dingin untuk mengusir rasa gerah di tubuhnya. Tubuhnya memang dambaan kaum hawa, six-pack tanpa lemak dengan biseps padat.
Dia sebenarnya ingin memiliki hubungan spesial dengan Prof. Laura, tapi dia rasa gadis itu agak out of his league. Terlepas dari latar belakang keluarganya yang tajir melintir, dia merasa hanya mahasiswa biasa yang sedang berjuang mendapatkan gelar sarjana kedokteran hewan sebelum koas profesi.
Setelah mengeringkan tubuhnya dengan handuk dan memakai kaus katunnya dan celana kain selutut, James pun menuju ke ruang tengah.
Dia melihat Laura tertidur nyenyak dengan posisi telentang yang menurutnya agak lucu, asal-asalan sekali dan bibirnya terbuka sedikit, dadanya naik turun teratur membuat James teringat saat tubuh itu menimpanya tadi, membangkitkan hasrat lelakinya yang biasanya tenang tanpa gejolak.
James berjalan mendekati tubuh Laura dan merapikan rambut yang menutupi wajah cantik gadis itu. 'Lelap sekali,' batinnya. Wajahnya mendekat ke wajah Laura dan mencium lembut bibir yang merah merekah itu. Cup.
Otaknya seperti meleleh ketika menerima sensasi ciuman pertamanya setelah 21 tahun dia hidup. Sepertinya James sudah kehilangan akal.
Itu adalah dosennya, Profesor. Laura!
Bulu mata lentik itu bergetar seperti sayap kupu kupu dan matanya terbuka, bola mata biru sewarna langit senja itu menatapnya tenang. "Oppa," ucapnya.