Ringkasan
Di acara reuni sekolah, dia datang dengan terlihat sangat sukses, ditemani pacarnya yang cantik. Namun, wajah pacarnya itu memiliki kemiripan denganku, hampir 60%. Semua orang pun mulai menggodaku, mereka berkata bahwa jika saja dulu aku tidak putus dengannya, mungkin sekarang yang akan menjadi Nyonya Wijaya adalah aku. Dia merangkul pacarnya itu dengan erat dan dengan ekspresi yang dingin berkata, "Aku dan Clarissa sudah saling kenal sejak kecil. Bulan depan kami akan menikah." Orang-orang disana pun langsung membicarakannya dengan heboh. Komentar mereka penuh dengan rasa heran dan iba, menurut mereka aku tidak tahu diri karena telah mencampakkannya. Aku hanya diam sambil menutupi bekas luka di pergelangan tanganku dan tersenyum pahit, "Selamat atas pernikahan kalian."
Bab 1
"Aku ingat, dulu bukankah Savira yang meminta putus dari Gavin?"
Di tengah-tengah acara reuni sekolah itu, saat minuman sudah beberapa kali dituang kembali, pacar Gavin pergi ke kamar mandi, dan beberapa teman-teman sekolah yang sudah mabuk itu pun mulai bergosip.
Aku adalah Savira Kusuma, dan Gavin Wijaya, pria yang datang bersama tunangannya di acara reuni sekolah hari ini adalah seorang pengusaha muda sukses lulusan universitas luar negeri.
Dia juga merupakan mantan kekasihku yang pernah bersamaku selama lima tahun.
Kini, Gavin bukan lagi pemuda sederhana dengan masa depan tidak menentu seperti dulu. Dia kini berdiri dengan gagah sambil mengenakan jas mahal. Wajahnya tampan dan berwibawa.
Jam tangan yang ada di pergelangan tangannya, dasi yang terpakai di lehernya, bahkan mansetnya pun semuanya adalah barang mewah.
Sebaliknya, aku, yang dulunya dikenal sebagai putri keluarga Kusuma yang kaya raya, kini pakaian yang kupakai bahkan harganya tidak sebanding dengan harga jepit rambutku dulu.
Gavin mendengar gosip teman-teman sekolah kami, lalu dengan nada datar dia berkata, "Ya, memang dia yang meminta putus duluan. Tapi itu semua sudah lama berlalu."
Dia melirik ke arahku tanpa ekspresi di wajahnya, lalu kembali berbicara dengan teman-temannya atau lebih tepatnya menerima pujian mereka.
Namun, ucapannya tadi "sudah lama berlalu" justru memunculkan spekulasi baru di antara mereka.
Mereka menatapku dengan tatapan penuh perhitungan, lalu kembali melihat Gavin sambil berbisik.
Tidak lain dan tidak bukan, mereka berasumsi bahwa aku materialistis, hanya memikirkan uang, dan akhirnya malah kehilangan semuanya.
"Savira sekarang benar-benar tampak terpuruk, ya? Bajunya sampai berbulu begitu."
"Lihatlah Savira, jangan-jangan dia punya banyak hutang, ya? Jangan sampai dia meminjam uang pada kita, aku tidak ada uang untuk dipinjamkan padanya."
Di tengah ejekan teman-teman sekolahku itu, aku tetap diam, tetapi aku merasa ada tatapan tajam yang tertuju padaku.
Aku mengangkat kepala dan melihat Gavin yang tampak sengaja mengalihkan pandangannya.
Tak lama kemudian, pintu terbuka dan pacar Gavin kembali masuk ke ruangan. Melihat teman-teman sekolah kami yang tampak berbincang dengan sangat seru, dia tersenyum dan bertanya, "Kalian sedang membicarakan apa? Kok sepertinya seru sekali?"
Ekspresi dingin Gavin langsung berubah menjadi lembut. Dia menggenggam tangan Clarissa, "Hanya bernostalgia saja."
Clarissa pun duduk dengan tenang dan melihat ke arahku, aku pun menatapnya balik.
Clarissa tampak sedikit terkejut, namun dia langsung tersenyum dengan ramah, "Gavin pernah bercerita tentangmu. Awalnya aku tidak percaya, tapi setelah melihatnya sendiri, ternyata benar. Kita terlihat mirip, ya!"
Mendengar itu, semua orang disana terkejut, lalu mereka bergantian menatapku dan Clarissa.
Dia tersenyum, "Namaku Clarissa Sudarma. Aku sepertinya harus berterima kasih padamu. Kalau dulu kamu tidak putus dengan Gavin, maka aku sekarang mungkin tidak akan menjadi Nyonya Wijaya."
Aku tetap diam, namun telingaku menangkap suara bisik-bisik di sekitarku.
Mereka bergosip tentang kemiripan wajahku dengan Clarissa, menduga mungkin Gavin masih belum bisa sepenuhnya melupakan aku dan mencari pasangan yang mirip denganku sebagai pengganti.
Gavin mendengar ucapan itu. Dia langsung merangkul Clarissa dan kemudian melirik orang-orang disana dengan ekspresi dingin dan berkata, "Aku dan Clarissa sudah saling kenal sejak kecil. Bulan depan kami akan menikah."
Ucapan itu membuat Clarissa tersipu malu dan dia pun bersandar dengan manja pada Gavin, sementara teman-teman sekolah lainnya disitu menatapku dengan tatapan sinis.
Gavin dan Clarissa adalah teman masa kecil, ternyata akulah yang datang terakhir.
Dari awal, akulah yang sebenarnya dijadikan sebagai pengganti.
Reuni yang canggung itu akhirnya usai. Satu per satu orang perlahan-lahan mulai meninggalkan rungan itu. Aku pun bersiap untuk pergi tanpa menarik perhatian banyak orang.
Namun, sebelum keluar dari aula, seseorang menghalangi langkahku.
Aku mengangkat kepala dan melihat Clarissa.
Namun, kali ini Clarissa menatapku dengan tatapan sinis, dan tanpa basa-basi, dia menjulurkan tangannya dan mencubit pipiku.
Clarissa mencubit pipiku dengan sangat keras. Aku menahan rasa sakit sambil meringis.
Setelah puas, Clarissa melepaskannya, lalu mengeluarkan sapu tangan dan mengusap tangannya seolah-olah membersihkan tangannya dari sesuatu yang kotor.
Sifatnya tiba-tiba berubah, dari yang tadinya lemah lembut menjadi dingin, dia berkata, "Apa-apaan ini, berani-beraninya kamu punya wajah yang mirip denganku."
"Cuma dicubit sedikit saja sudah teriak. Jangan-jangan wajahmu ini hasil operasi plastik, ya?"
"Dulu, saat aku sedang di luar negeri, kamu mengambil kesempatan untuk mendekati Gavin dengan wajah ini, ya? Sekarang, sebaiknya jangan pernah muncul di hadapanku lagi!"