CHAPTER 1. WARNING
"You don’t defy me, Seraphina. You survive me."
Blackhaven City, The Obsidian Club – Pukul 01.17 AM
Darah masih menggenang di lantai marmer hitam, merembes perlahan ke sela-sela ubin yang dingin. Bau anyir bercampur aroma whiskey memenuhi udara. Di tengah ruangan yang remang, Kevin Blackwood menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan kanannya masih menggenggam pistol berlapis emas.
Satu peluru. Satu nyawa.
Pria di depannya, yang beberapa menit lalu masih berani membuka mulut dengan sombong, kini tak lebih dari sekadar bangkai. Mati dalam diam.
Kevin menghela napas panjang, menyodorkan pistolnya ke bawah tanpa melihat. Seseorang dengan sigap mengambilnya, membersihkan larasnya yang masih hangat. Seolah pembunuhan ini hanyalah rutinitas biasa.
.
.
.
Di luar, lantai dansa tetap berdenyut, bass mengguncang dinding-dinding kaca The Obsidian Club. Kehidupan terus berjalan, seakan tak ada yang baru saja kehilangan nyawanya di dalam ruangan ini.
Kevin mengangkat gelas whiskey di tangannya, menyesapnya perlahan. Lalu matanya tertuju pada layar monitor di meja.
-Kamera 4 – Bar utama.
-Kamera 7 – Lantai VIP.
-Kamera 10 – Pintu belakang.
Semuanya normal. Hingga—
Kamera 3 – Koridor Timur.
Matanya menyipit.
Wanita itu.
Gaun merah darah membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambut hitam panjang tergerai di punggungnya, tetapi bukan itu yang menarik perhatiannya.
Matanya tajam. Waspada. Berbahaya.
Dia berjalan di antara tamu-tamu kelas atas dengan anggun, tapi caranya bergerak terlalu terlatih. Seolah setiap langkahnya telah diperhitungkan dengan cermat.
Dia bukan tamu biasa.
Kevin menyesap whiskey-nya sekali lagi, sudut bibirnya terangkat sedikit. Tanpa berpaling dari layar, dia berbicara dengan tenang.
"Siapa dia, sepertinya aku mengenalnya?”
Seseorang di belakangnya mengetik cepat di tablet, mencoba mencari data wanita itu.
“Seraphina Castillio. Putri bungsu dari keluarga Castillio—darah pengkhianat yang seharusnya tidak punya keberanian untuk mendekat.” jawabnya beberapa detik kemudian.
Kevin mendengus pelan. Tak banyak orang bisa memasuki The Obsidian Club tanpa lebih dulu mendapat persetujuan darinya. Dan wanita ini baru saja berjalan ke dalam sarangnya tanpa izin.
Permainan apa yang sedang dia mainkan?
Dia meletakkan gelasnya, lalu berdiri.
"Siapkan ruangan. Aku ingin bertemu dengannya."
Dari layar monitor, Kevin melihat bagaimana wanita itu berhenti di dekat bar, mengambil satu gelas sampanye. Tapi bukan itu yang membuatnya tersenyum kecil.
Itu karena, di detik berikutnya, wanita itu mengangkat kepalanya langsung ke arah kamera, menatapnya lurus seolah dia tahu Kevin sedang memperhatikannya.
Jemarinya mengusap bibir gelas sebelum akhirnya dia menyesap minumannya.
Dan di saat itu, Kevin tahu—malam ini akan jauh lebih menarik daripada yang dia bayangkan.
.
.
.
Seraphina kini berdiri di hadapannya sekarang.
Kevin menyesap whiskey di tangannya perlahan, tatapannya meneliti setiap inci gadis itu—dari dagunya yang terangkat menantang, hingga caranya berdiri seolah tidak gentar.
Kevin bisa membaca ketakutan dari bahasa tubuh. Namun yang dia lihat di Seraphina bukan ketakutan, Melainkan api.
Dalam satu gerakan cepat, dia mencengkeram dagu Seraphina, memaksa gadis itu menatapnya langsung. Mata mereka bertemu.
"Aku bisa saja membiarkanmu pergi malam ini,"
"Tapi aku bukan pria yang baik hati, Seraphina."
Kevin bisa merasakan rahang gadis itu mengeras dalam genggamannya.
"Aku tidak peduli siapa kau."
Kata-kata itu hampir membuat Kevin tertawa.
"Kau tidak tahu siapa aku?"
Dia mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang lebih rendah, lebih dalam. Lalu, perlahan, sebuah senyum kecil terbentuk di sudut bibirnya.
"Itu kebohongan yang buruk."
Dia bisa melihat denyut kecil di leher gadis itu—detak jantung yang mulai tidak stabil.
"Lalu kenapa aku di sini?" tantang Seraphina.
Oh, dia benar-benar ingin bermain api.
Kevin langsung menarik Seraphina lebih dekat—cukup dekat hingga napas mereka hampir menyatu.
"Kau di sini karena aku menginginkannya," bisiknya di telinga Seraphina.
"Dan aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan."
Dia menahan kontak mata sejenak sebelum akhirnya melepaskannya—membiarkan gadis itu jatuh kembali ke realitas.
"Peringatan pertama," katanya, suaranya kembali tenang, seakan tidak pernah ada ketegangan di antara mereka.
"Jangan pernah menatapku seperti itu lagi kalau kau ingin tetap hidup."
Dia mengambil whiskey-nya kembali, lalu berjalan menjauh.
"Kau boleh pergi."
.
.
.
Perintah Kevin jelas—Kau boleh pergi. Tapi gadis itu tetap berdiri di tempatnya, nyaris membatu.
Dia selalu bisa membaca kapan seseorang gemetar ketakutan. Bisa membaui aroma kepanikan dari jarak yang tidak kasat mata. Tapi yang dia lihat pada Seraphina adalah sesuatu yang lain.
Bukan keberanian. Bukan pula ketenangan. Tapi perhitungan.
Kevin menyeringai.
"Masih di sini?"
"Aku tak menyangka kau sepenasaran itu denganku, princess."
Julukan itu sengaja dia jatuhkan dengan nada mengejek. Dia ingin melihat apakah gadis itu akan bereaksi.
Seraphina menegakkan punggungnya, rahangnya mengeras.
"Aku hanya ingin tahu satu hal," katanya.
Kevin mengangkat alisnya. "Dan itu adalah?"
Seraphina menatapnya lurus, tanpa ragu. "Kenapa aku?"
Dan kini masalahnya adalah Kevin tidak suka pertanyaan yang menantang otoritasnya.
Dia menghela napas pelan lalu kembali melangkah mendekati Seraphina. Kali ini lebih lambat. Lebih terukur.
Saat dia akhirnya berdiri tepat di hadapan gadis itu, dia merendahkan suaranya.
"Kau ingin tahu kenapa?" bisiknya, nada suaranya nyaris seperti racun yang merayap di udara.
Kevin mendekat lebih lagi, nyaris menyentuh bibir gadis itu.
"Karena kau mengundangnya," katanya, tangannya terangkat untuk menyelipkan sehelai rambut dari wajah Seraphina. Sentuhan ringan, nyaris lembut.
"Tidak ada yang bisa mendekatiku tanpa konsekuensi."
Dia bisa merasakan detak jantung gadis itu. Lebih cepat dari sebelumnya.
"Apakah itu menjawab pertanyaanmu?"
Seraphina masih diam. Napasnya sedikit tertahan, tapi dia tetap tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah.
"Tapi kau harus ingat satu hal, Seraphina," lanjutnya, kembali mengambil gelas whiskey-nya. "Siapa pun yang masuk dalam lingkaranku..."
Dia menatap gadis itu dengan sorot dingin
"...tak pernah bisa keluar dengan utuh."
Seraphina menahan napas…
Kevin menyunggingkan senyum kecil.
"Selamat datang di neraka, princess."
.
.
.
Seraphina menegakkan bahunya, memaksakan dirinya untuk mengabaikan sorot tajam pria itu.
"Aku tidak takut padamu."
Senyum pria itu merekah, tapi tidak ada kehangatan di dalamnya.
"Tentu saja tidak," katanya pelan, suaranya lebih merupakan bisikan licik yang merayap di udara. "Itulah yang paling aku sukai darimu, princess."
Sebelum dia bisa membalas, Kevin kembali bergerak semakin mendekatinya
"Jika kau tidak takut..."
Kevin mengangkat tangannya, ujung jarinya menelusuri sisi rahang Seraphina, turun ke lehernya, dan berhenti tepat di atas denyut nadi yang berdetak cepat.
"...lalu kenapa jantungmu berdebar seperti ini?"
Detak yang tidak stabil.
Kegelisahan yang mulai merayap ke dalam pikirannya.
Dia menelan ludah, mencoba mengendalikan dirinya.
"Aku tidak takut," ulangnya, meskipun kali ini suaranya lebih lemah.
Kevin tersenyum menikmati bagaimana gadis itu mencoba berbohong padanya.
Dia menyukai ini.
"Bagus," bisik Kevin, membiarkan tangannya bertahan sedikit lebih lama di leher Seraphina sebelum akhirnya menjauh.
"Karena jika kau takut..." Kevin mengangkat gelasnya sekali lagi, menyesap whiskey dengan santai.
"...maka aku harus menghabisimu sekarang juga."
Seraphina menahan napas.
Tanpa menunggu lebih lama, dia membalikkan badan dan melangkah menuju pintu.
Tapi sebelum dia bisa meraih gagang pintu, suara Kevin kembali terdengar.
"Seraphina."
Langkah gadis itu terhenti.
"Jangan pernah mencoba menipu aku," katanya, dengan senyum kecil yang tidak sampai ke matanya.
"Karena aku akan selalu lebih cepat menangkap kebohonganmu sebelum kau sempat menyadarinya sendiri. Lalu kini, kau ingin keluar begitu saja setelah datang ke hadapanku?"
Seraphina merapatkan jemarinya, mencoba menekan emosi di dadanya.
"Aku tidak punya urusan denganmu, Kevin."
Pria itu hanya tersenyum tipis dari balik gelas whiskey-nya, memiringkan kepala sedikit saat menatapnya.
"Lucu,"
Langkahnya mulai mendekat. "Karena dari sudut pandangku, kaulah yang datang kepadaku."
Seraphina menelan ludah.
Benar.
Dialah yang datang.
Dialah yang melangkah ke dalam permainan ini tanpa menyadari bahayanya.
Tapi tidak seperti orang lain, dia bukan seseorang yang bisa diintimidasi begitu saja.
Jadi dia menegakkan bahu, mengangkat dagu sedikit lebih tinggi.
"Kesalahan yang tidak akan aku ulangi lagi."
Kevin berhenti tepat di hadapannya, matanya yang tajam dan gelap menelusuri wajah Seraphina dengan penuh minat.
Lalu, dalam gerakan cepat yang bahkan tidak sempat dia hindari, Kevin mengangkat tangannya.
Seraphina tersentak ketika jari-jari pria itu melingkar di lehernya.
Tidak menekan.
Tidak menyakiti.
Hanya sekadar menyentuh—tapi cukup untuk membuat napasnya tercekat.
"Aku penasaran," gumam Kevin, suaranya lebih rendah, lebih halus.
"Apakah kau benar-benar ingin pergi… atau kau hanya mencoba meyakinkan dirimu sendiri bahwa kau tidak tertarik bermain lebih lama denganku?"
Jari-jarinya sedikit bergerak di sepanjang kulit Seraphina, menciptakan sensasi yang sulit diartikan.
Dia menatap mata pria itu, mencoba menemukan retakan dalam kendali dirinya.
Senyum Kevin semakin melebar.
"Jawab aku, princess."
Seraphina menggigit bibirnya.
"Aku tidak tertarik bermain denganmu."
Kali ini, Kevin tertawa pelan.
Dan itu berbahaya.
Karena tawa itu terdengar seperti seseorang yang tidak mempercayai kata-kata yang baru saja dia dengar.
"Benarkah?"
"Kuberi waktu," katanya, nada suaranya kembali santai. "Sampai kau jujur pada dirimu sendiri."
Dia melangkah mundur, kembali mengambil gelas whiskey-nya dan menyesapnya perlahan.
"Pergilah, sebelum aku berubah pikiran."
Dia meraih gagang pintu dan membukanya dengan cepat, membiarkan udara malam menyambutnya.
Tapi sebelum dia melangkah keluar, suara Kevin kembali terdengar.
Lembut.
Namun memiliki efek yang menghantam lebih keras dari apapun.
"Kita akan bertemu lagi, Seraphina."
Seraphina menegang di ambang pintu.
"Tidak akan."
Kevin tersenyum.
"Tentu saja akan."
Tatapan mereka bertemu untuk terakhir kalinya sebelum Seraphina melangkah pergi, membiarkan pintu tertutup di belakangnya.
Tapi bahkan saat dia berjalan menjauh…
Dia tahu Kevin benar.
Mereka akan bertemu lagi.
Dan saat itu terjadi
Seraphina tidak yakin dia masih bisa keluar dari permainan ini tanpa kehilangan dirinya sendiri
