Bab 15 Di Balik Sikap Fellycia
Bab 15 Di Balik Sikap Fellycia
“Sayang, aku lagi di mal dekat kantormu, mau makan siang bersama?”
Gio menghela napas sesaat mendengar suara kekasihnya dari balik ponsel. Ekor matanya melirik arah jarum dinding. Sudah jam makan siang. Ia tidak pernah sadar jika wanita itu tidak menelepon dirinya. Selalu saja begini. Ia juga melewatkan sarapan untuk mengejar meeting dengan ayahnya pagi tadi. Setelah ini ... ia juga masih ada urusan.
“Aku ada meeting setelah ini. Sepertinya tidak keburu untuk menyusulmu makan siang.”
“Akan kutunggu,” sergah Fellycia. “Aku cari restoran favoritmu di sini, ya?” Wanita itu akan selalu mencari cara agar dirinya bisa sedikit meluangkan waktu di luar pekerjaan hanya untuk makan.
“Tidak, Fell. Waktu yang kau gunakan untuk menungguku lebih baik kau gunakan untuk makan siang segera,” sahut Gio. Ia tidak mau membuat wanita itu menunggu. Pekerjaan di kantor pun masih membutuhkan dirinya.
Di sisi lain, Fellycia meringis sambil menirukan gaya pria itu--kekasihnya yang bicara seperti biasanya seorang Giovanno Valery Lyxn. Namun, setelahnya Fellycia kembali mengalah dan balas bicara lemah lembut.
“Oh, baiklah, Sayang. Tapi, kau juga harus segera makan siang setelah ini, ya? Kau 'kan melewatkan sarapan tadi.”
Gio hanya balas bergumam dan segera mengakhiri teleponnya. Seketika itu, Fellycia hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Kekasihnya itu selalu sibuk. Tapi bukan Fellycia namanya, jika ia tidak bisa menikmati waktunya dengan baik. Ia lantas pergi berjam-jam ke salon untuk merawat dirinya, jalan-jalan dan bertemu teman-temannya hari ini. Hingga pada saat sore tiba, ia segera kembali ke rumah. Ia khawatir Gio pulang dan ia belum siap-siap menyambut kedatangan pria itu. Namun, saat tiba di rumah, Gio belum pulang. Apakah lembur lagi?
Fellycia lantas menelepon pria itu, tapi nomornya sedang sibuk. Ia beralih mengirim pesan dan duduk di tempat tidurnya.
Gio selalu saja begitu. Sebelum tinggal dengannya pun, setiap kali ia menelepon pria itu malam hari pasti Gio tidak sedang di rumahnya. Fellycia yang bosan lantas memainkan ponselnya di balkon sembari menunggu balasan pesan Gio.
Tak lama usai ketukan pintu di luar memberitahu bahwa makan malam sudah siap, ponsel Fellycia berdenting, memunculkan sebuah pesan singkat di sana. Sekejap senyumnya merekah. Itu bukan pesan yang ditunggunya dari Gio, tapi justru dari orang lain. Seseorang itu menanyakan apakah jadwalnya kosong malam ini?
Fellycia lantas kembali menelepon Gio. Kali ini beruntung, nada panggilan itu tersambung. Pria itu pun langsung menjawabnya.
“Sayang, kau pulang jam berapa malam ini?” Fellycia tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk bertanya langsung. Seperti biasa nada bicaranya dibuat-buat seperti sedang merengek.
“Aku ada lembur.”
Fellycia tersenyum kecut, lalu kembali bicara dengan nada biasa. “Aah, sayang sekali! Kita lagi-lagi melewatkan makan bersama hari ini.” Ia berusaha untuk terdengar kecewa dengan natural.
“Maaf, Fell. Aku harus menutup telepon sekarang.”
Wanita itu meringis lalu menjawab, “Baiklah, Sayang, selamat kembali bekerja.”
“Jangan menungguku,” sahut Gio.
Fellycia mengiakan. Wanita itu menutup teleponnya lalu berdecak menatap layar ponselnya. “Siapa juga yang mau menunggumu? Kau tidak pernah tahu waktu jika sudah lembur begitu.”
Fellycia sudah hapal betul perangai kekasihnya. Ia lantas menelepon seseorang yang tadi mengirimkan pesan padanya.
“Malam ini aku kosong, mau bertemu di tempat biasa?”
***
Akira sedang melamun di dekat jendela kamarnya. Baru sehari di rumah ini, ia sudah begitu diperlakukan seperti pelayan pribadi kekasih suaminya sendiri.
Ami lantas muncul dari balik pintu, memintanya untuk makan malam. Akira menoleh pada jam dinding. Ah, ia sampai lupa makan memikirkan nasibnya!
Gadis itu mengangguk dan mengikuti Ami berjalan ke arah meja makan. Di sana tidak ada siapa pun. Sekejap langsung mempertanyakan ke mana orang-orang?
“Tuan Giovanno sepertinya lembur berkerja malam ini,” kata Ami, mengisyaratkan pada Akira. “Tuan sering seperti itu.”
“Lalu ... Heli?”
Ami tersenyum tipis. “Nona itu sedang pergi.”
Ami mengernyit. Belum pulang juga sejak tadi siang? Akira bertanya lagi.
“Sudah, tapi kemudian pergi lagi.”,
Akira mengangguk lalu menarik lengan Ami.
“Kita makan bersama saja,” usulnya sambil menunjuk ke meja makan.
Sontak, Ami geleng-geleng kepala. “Jangan, Nona. Saya juga masih ada pekerjaan di dalam.”
Akira mengerti. Ia akhirnya makan malam sendiri di meja makan yang besar dan mewah dengan hidangan yang tidak kalah mewahnya. Namun, batinnya terasa sepi. Untuk apa ia makan di meja makan mewah ini dengan perasaan yang tidak nyaman ini? Terasa aneh sekali.
Dalam keheningan itu, Akira hanya bisa menghabiskan makan malamnya dengan cepat. Ia lalu kembali ke kamarnya setelah maid melarangnya mengurus meja makan.
Di dalam kamarnya, Akira pun hanya duduk termenung. Lagi-lagi memandang ke arah langit yang gelap bermenit-menit. Bulan masih menggantung di sana seperti malam lalu. Namun, cahayanya terkadang tertutup awan. Ia tidak bisa menikmatinya dengan baik. Ia lalu menatap jam dan teringat pada Gio. Apa pria itu sudah pulang? Ini sudah larut malam.
Akira lantas keluar dari kamarnya. Koridor di depannya sudah gelap. Ia menyusuri ruang demi ruang hingga pandangannya tertuju pada jendela yang belum tertutup tirainya. Akira lantas beranjak dan menarik tirai itu, tapi jemarinya berhenti sesaat matanya menangkap sebuah mobil baru saja berhenti di depan rumah besar ini.
Itu pasti Gio! Syukurlah ia sudah kembali. Senyum Akira mengembang. Ia lantas keluar hendak menyambutnya. Namun, yang ia lihat bukanlah Gio melainkan wanita itu—kekasih Gio yang turun dari mobil dalam keadaan sempoyongan. Mobil itu pun langsung pergi meninggalkan wanita itu yang hampir terjatuh ke tanah.
Dengan wajah khawatir, Akira lekas-lekas menghampirinya. Wanita itu benar-benar tidak bisa berdiri dengan baik. Akira lantas membantunya berdiri dan memapahnya.
“Hei—“ Wanita itu mengerang. “Berani sekali kau menyentuhku!” Akira terdorong, tapi wanita malah yang terjatuh lebih dulu. Akira mengernyit khawatir hingga akhirnya kembali membantunya berdiri. Dari jarak sedekat ini, hidung Akira mengendus bau alkohol yang pekat sekali. Ia sudah hapal, ayahnya sering kali juga pulang mabuk-mabukan dan berjalan sempoyongan seperti ini. Bahkan pernah muntah di dekatnya. Ia berharap wanita ini baik-baik saja.
Akira dengan susah payah memapah wanita itu naik ke kamarnya dan merebahkan tubuh semampainya di atas ranjang.
“Heung!”
Wanita itu bergelung sambil menggerunyam di atas tempat tidur lalu memeluk selimutnya. Akira lantas membenahi selimut wanita itu dengan baik menutupi seluruh tubuhnya. Setelahnya, Akira keluar dari kamar itu dan bertemu Gio di muka pintu.
“Kenapa kau ada di sini?”
Gio berdiri di dekat pintu kamarnya sesaat Akira baru menutup pintu kamar kekasih pria itu.
“Kenapa kau memegang gagang pintu Fellycia?” Gio kembali bertanya sambil menunjuk pintu kamar kekasihnya.
Akira mengernyit. Ia tidak mungkin memberitahu Gio keadaan wanita itu di dalam. Kasihan! Ayah angkatnya sering kali dimarahi oleh ibu angkatnya jika begitu. Akira tidak ingin Gio selalu marah-marah setiap saat. Lelaki itu sudah lelah dengan pekerjaannya. Lihat! Ia baru pulang selarut ini. Wajahnya juga tampak begitu lelah.
“Ah, sudahlah. Apa pun yang kau lakukan di sana, kuharap kau tidak melakukan hal bodoh,” ujar Gio.
Akira lantas menawarkan apakah Gio hendak minum sesuatu sebelum tidur? Pria itu tidak menjawabnya dan melengos masuk ke kamar begitu saja. Akira menghela napas. Bahunya turun. Sepertinya komunikasi dengan Gio butuh ekstra lebih. Pria itu tidak langsung mengerti apa yang ia maksud.
Akira melirik ke arah pintu kamar Gio sebelum pergi. Ia berharap lelaki itu baik-baik saja dan bisa istirahat dengan tenang tanpa mengetahui kekasihnya baru saja kembali entah dari mana.
Akira bertanya-tanya, kenapa wanita itu mabuk-mabukan, ya? Apa ada masalah yang dipikirkannya? Sepertinya hidup wanita itu baik-baik saja bahkan lebih baik dari dirinya.
***